Rabu, 19 Desember 2012

Bagi Rapor

Pagi ini cerah. Matahari bersinar lembut, semilir angin membawa hawa sejuk sisa hujan tadi malam. Diiringi alunan merdu 'Rossa', aku melajukan my little picanto perlahan-lahan menuju sekolah. Hari ini acaranya adalah pembagian rapor semester I. Meskipun bukan wali kelas yang bertugas membagi rapor, sebagai wakil kepala, aku mesti hadir di setiap kegiatan sekolah.

Sesampai di sekolah sudah mulai ramai. Rupanya orang tua/wali murid cukup antuasias mengetahui hasil belajar putra-putrinya selama satu semester. Beberapa orang tua  bahkan sudah ada yang menenteng rapor putra/putrinya. Ah ya.. ternyata aku sudah agak terlambat tiba di sekolah jam 8.15. Sedangkan acara pembagian rapor dimulai jam 08.00WIB.

Setelah  memarkir kendaraan, aku berjalan menuju ruanganku di lantai 2. Dalam perjalanan ini aku menemui wajah-wajah sumringah dan penuh harap para orang tua/wali murid ingin mengetahui hasil rapor putra-putrinya. Aku menyalami dan menyapa setiap orang tua/wali yang kebetulan berpapasan. Beberapa diantaranya adalah wajah-wajah yang sudah cukup familier. Aku berbincang singkat menanyakan kabar bapak/ibu orang tua yang dimataku wajah-wajahnya nampak begitu cerah dan bahagia. Sejujurnya aku juga berbahagia bertemu mereka.

Dalam pendidikan, keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh tiga pilar guru, orang tua, dan masyarakat, dan tentu saja siswa itu sendiri. Untuk pendidikan menengah setingkat SLTA, anak akan menghabiskan waktunya dari jam 6.30 hingga jam 15.30 di sekolah. Dengan demikian nyaris separoh hari kehidupan seorang anak adalah bersama kami para guru di sekolah sebagai pengganti orang tuanya. Maka, ketika menemui mereka, aku seperti menemui diriku sendiri. Selama ini kami para guru dan orang tua telah mendidik anak yang sama dalam waktu dan konteks yang berbeda.

Di ujung tangga lantai dua, aku berpapasan dengan seorang bapak yang wajahnya cukup familier. Hanya saja karena jumlah orang tua siswa cukup banyak, aku tentu tak hafal nama beliau. Aku ingat bapak ini salah satu dari orang tua yang sering datang memenuhi panggilan kami untuk mendiskusikan masalah anaknya. Saat berpapasan bapak ini nampak sumringah dan langsung menyalamiku. Nampaknya beliau seperti sudah sangat mengenalku sebagai guru anaknya. Aku menyapa beliau dan menanyakan kabar sambil dalam hati mengingat-ingat bapak ini orang tua siapa kelas berapa.

Dalam perbicangan singkat, si bapak mengungkapkan kegembiraannya bahwa anaknya sudah banyak kemajuan sekarang. Bahwa anaknya sudah tidak minta pindah sekolah, bahwa anaknya sudah mau belajar, dan merasa nyaman sekolah disini. Aku mendengarkan cerita beliau sambil masih mereka-reka siapa anak bapak ini. Namun memperhatikan ceritanya sepertinya anaknya cukup bermasalah. Sambil masih terus mengingat siapa anak yang sedang kami perbicangkan, aku mengatakan kepada bapak ini bahwa sekecil apapun kemajuan yang diperoleh anak maka itu sebuah prestasi yang harus kita apresiasi. Aku menemukan binar kebahagiaan ketika bapak ini akhirnya berpamitan. Ah..senangnya melihat orang tua senang. Sambil berjalan menyusuri lorong kelas, dalam hati aku perbaiki janjiku untuk mendidik anak-anak muridku ini seperti mendidik anak-anak sendiri. Mengingatkan jika mereka salah, memberi dukungan saat mereka tak bersemangat, memujinya atas kebaikan yang mereka lakukan.


 



The Finland Phenomenon 1 4 2011 Full documentary



Kamis, 13 Desember 2012

Guru yang Pedulikah?

Setelah absen hampir 2 minggu baik karena halangan maupun kesibukan panitia UAS, pagi ini aku kembali melaksanakan shalat dhuha dan hajat bersama-sama dengan murid-murid di masjid. Kewajiban melaksanakan shalat dhuha dan hajat bersama-sama setiap hari adalah kegiatan pembiasaan diri bagi siswa madrasah ini. Dengan harapan, pembiasaan shalat dhuha dan hajat meski awalnya barangkali dilakukan dengan enggan, lambat laut akan terbiasa. Pagi ini pesertanya hanya siwa klas XII yang sedang Try Out Ujian Nasional, sementara klas X dan XI belajar di rumah.  Dari barisan belakang aku mengamati tingkah polah murid-muridku yang mayoritas berada dalam tahap remaja akhir alias sebentar lagi beranjak dewasa awal. Di mataku tingkah polah mereka masih sama saja seperti ketika melihat mereka pertama kali menjadi siswa baru klas X.

Kali ini aku memilih berdiri di shaf terdepan shaf putri, di belakang shaf siswa laki-laki. Posisi ini memudahkan untuk mengawasi siswa putra dan putri sekaligus. Aku juga sengaja memulai belakangan shalat setelah semua siswa sudah shalat. Ketika saatnya sholat dhuha dan salah seorang siswa putra sebagai imam sudah menggaungkan takbiratul ihram aku perhatikan masih banyak siswa yang bahkan belum berdiri dari duduk. Dan, seperti biasa kami lakukan para guru sejak mereka siswa baru, kami mulai menyuruh mereka shalat. "Ayo semua bangun, shalat-shalat", ajak kami para guru. Dan merekapun berdiri meski diantaranya kelihatan enggan. Namun, diantara itu masih ada beberapa siswa yang masih duduk. Akhirnya aku sebut nama-nama siswa yang masih duduk itu. Rupanya manjur, dengan langsung disebut nama, mereka langsung berdiri. Inilah pentingnya guru mengenali semua murid-muridnya, tak sekedar kenal nama namun juga terbiasa menyebut nama siswa-siswanya.

Setelah selesai shalat dan berdo'a serta seluruh siswa beranjak menuju kelas masing-masing, aku ada waktu untuk duduk iktikaf sebentar di masjid. Sambil duduk aku memikirkan peran guru dalam pendidikan murid-muridnya. Aku sadari menjadi guru tidak bisa main-main, meskipun bisa saja jika mau main-main dan cuek tidak mau tahu selain hanya mengajar bidang studi. Kita tidak boleh diam dan cuek melihat perilaku siswa. Mereka masih perlu diingatkan, tanpa bosan, tanpa henti sampai saatnya mereka lulus dan melanjutkan jalan hidup masing-masing.

Seperti kasus 5 siswa yang kemarin tertangkap basah merokok di warung dekat sekolah, mereka memang boleh dibilang sudah kecanduan rokok. Pernah ketika acara rihlah ke Jogja saat mereka kelas XI, diantara 5 siswa tersebut adalah yang aku pergoki merokok di kamar ber AC! Waktu itu, malam sekitar jam 12.00, sambil sweeping terakhir memastikan seluruh siswa sudah tidur/berada di kamar masing-masing, aku mendengar suara-suara setengah berbisik dari kamar mereka. "Eh..ada bu Anna, ada bu Anna". Dan ketika aku ketok pintunya tidak ada yang menjawab. Salah seorang siswa pura-pura baru bangun, membuka pintu ketika pintu kugedor. Dan setelah lampu aku nyalakan ketahuan seluruh kamar dipenuhi asap rokok. Alamak..dan malam itupun mereka aku suruh keluar kamar semua, hingga asapnya keluar.

Begitulah kejadian-kejadian yang tiap saat kita temui bersama siswa. Andai kita mau membuka mata, hati, dan telinga kita akan menemukan banyak hal yang selain ada yang lucu dan menarik, ada juga hal-hal yang perlu diperingatkan. Apalagi dalam kondisi kemudahan akses informasi dan komunikasi seperti sekarang. Kemudahan ini bisa berakibat positif maupun negatif. Positifnya, menjadi sumber ajar alternatif bagi siswa. Negatifnya, memudahkan akses ke situs-situs tertentu yang seharusnya dilarang. Yang terakhir ini mesti diwaspadai.

Menjadi guru memng tidak boleh main-main apalagi cuek. Harus disadari, pentingnya peran kita sebagai pendidik generasi.


Rabu, 12 Desember 2012

Lagi-lagi Merokok

Tak sempat melarikan diri, kelima siswa klas XII itu tertangkap basah sedang mengepulkan asap rokok di warung dekat sekolah. Saat itu jam istirahat ke-dua setelah shalat dhuhur. Siswa kelas X dan XI setelah shalat dhuhur sudah boleh pulang karena jadwal UAS telah selesai. Sementara kelas XII masih ada satu lagi pelajaran yang akan diujikan. Kelima anak tersebut menyelip diantara siswa-siswa yang sudah pulang sehingga luput dari perhatian penjaga. Dan 'peradilan' siang itu dimulailah.

'Tahukah kalian apa kesalahan kalian' , tanya bapak wakasis. "Iya pak" jawab salah seorang dari mereka, sementara yang lain diam menunduk. Namun tiba-tiba salah seorang diantaranya menjawab "tapi saya kan tidak merokok di sekolah pak', katanya sedikit menantang. Ah beginilah salah satu tipikal remaja, sudah tahu bersalah masih juga mau berkelit, menantang lagi. Lalu bapak wakasis yang hampir tidak pernah marah itu mengambil tata tertib sekolah. "Ayo kamu baca pasal ini, yang keras biar semua dengar", suruhnya kepada si siswa yang menantang. "Jadi perbuatanmu melanggar tata tertib apa tidak?" tanya si bapak setelah siswa tersebut selesai membaca. "Sudah tahu  apa sanksinya?", tanya si bapak lagi. "Iya pak" jawab mereka serempak. Si anak yang mencoba berkelit itupun diam tak berkutik.

 Aku yang juga mengikuti 'peradilan' itu sementara tidak ikut bicara. Aku kenal anak-anak ini memang agak sering membuat ulah. Namun hanya kenakalan-kenakalan yang normal, bukan kriminal. Bahkan, ketika aku mengajar mereka di kelas XI, prestasi dan semangat belajar mereka sebagai anak IPS lumayan bagus. Tetapi, 'merokok' perbuatan yang hampir lazim dilakukan banyak orang ini membuatku sering senewen dan tak habis fikir. Inilah perbuatan tidak berguna yang dilakukan oleh orang berakal. Bagaimana mungkin orang yang berakal melakukan perbuatan tak berguna ini??

Satu persatu aku tanyakan ke mereka apakah orang tua (ayah) mereka merokok? Mereka semua menjawab ya. Lalu ketika aku tanya, kapan mulai merokok, mereka menjawab rata-rata mulai merokok tamat SMP. Dan rata-rata merokok 2 batang sehari. Tempat dimana mereka merokok adalah di jalanan antara sekolah dan rumah. Dengan latar belakang seperti itu, menyuruh mereka tidak merokok sama halnya seperti menggarami air laut. Hampir tak berbekas. Namun, tugas kami para guru dan siapapun orang tua memang sebatas memberi peringatan. Maka setengah bertanya aku berkata, 'apakah kalian mati jika tidak merokok'? Salah seorang dari mereka menjawab: "enggaklah bu". "Saya pernah mencoba berhenti berhasil selama seminggu, dan tidak mati", jawabnya. "Lah iyalah, kalo mati kamu gak bisa ngomong sekarang", kataku.

Akhirnya aku ceritakan bahwa salah seorang guru kalian di sekolah ini, yang sekarang menderita paru-paru akut hingga tergantung dengan tabung gas oksigen dan gagal ginjal sehingga harus cuci darah adalah perokok berat. Dan penyakitnya inilah yang memaksanya berhenti merokok. Semoga mereka mengambil pelajaran.

Selasa, 11 Desember 2012

Rabu, 12-12-12

Hari ini hari Rabu, kebetulan tanggal 12 bulan 12 tahun 2012, disingkat 12-12-12. Angka ini terlihat istimewa dalam kaca mata manusia. Meskipun hari berjalan sama seperti biasa. Bahkan, karena musim hujan, dari pagi matahari tak tampak sinarnya alias mendung. Namun demikian kesibukan berjalan seperti biasa. Di Jakarta, jalanan juga masih macet, denyut nadi kota terus berjalan. Anak-anak bergegas berangkat ke sekolah, khawatair terlambat. Sementara ayah dan ibu juga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. So nothing different in this day...

Tetapi, kehidupan tidak melulu apa yang terlihat kasat mata. Kita tidak mengetahui hati apa yang ada dibalik fisik manusia. Hati yang penuh syukurkah, atau hati yang kufur, naudzubillah. Alangkah baiknya jika setiap hari berbeda, bukan secara fisik, tetapi ruhiah kita yang berbeda berubah menjadi lebih baik. Mampu mensikapi setiap momen sebagai karuniaNya dan pelajaran dariNya untuk kita menjadi lebih baik. Mensyukuri setiap hari baru, sebagai anugerah dan kesempatan untuk semakin menyadari siapa kita dan untuk apa kita dilahirkan.

Aku sendiri, tadi pagi  seperti biasa  terbangun jam 3.20, dan setelah 10 menit menyesuaikan mata, badan dan kesadaran, aku sepenuhnya bangun dari tidur. Alhamdulillah,  atas nikmat sehat dan kehidupan yang masih diberikanNya kepadaku. Setelah gosok gigi dan berwudhu, aku gunakan waktu menjelang subuh untuk menghadapNya. Sungguh aku memerlukan waktu-waktu ini. Bermunajat, mengadukan segala gembira dan dukaku, resah dan yakinku. Berduaan dengan Allah tidak ada yang mengganggu. Aku yakin Engkau melihatku, memperhatikanku, mendengarkan curhatku, dan kemudian menghiburku, meyakinkanku, dan menggembirakanku dengan keadilan dan nikmat-nikmatMu yang berlimpah. Ah nikmatnya pagi ini, tenteramnya hati ini, bersamaMu aku tenang.


Depok, Rabu, 12-12-12
.

Rabu, 05 Desember 2012

Mendidik Remaja

Anak itu, sebut saja namanya Rina, mulai berkaca-kaca saat ditanya guru tentang foto-foto mesranya bersama pacar ditemukan di hand phonenya yang disita. "Kalau kamu sudah menikah, kamu boleh berfoto seperti itu dengan suamimu", tandas pak guru yang juga ustadz itu. "Kalau cuma pacaran, perbuatanmu itu dosa". tandas pak guru. "Kamu kan juga anak OSIS harusnya bisa jadi teladan teman-teman kamu".  "Sudah sekarang kamu ke ruang BK, temuin pembimbing akademik dan guru BK". Ujar pak guru itu mengakhiri.

Itu bukan penggalan kisah dalam sinetron, itu kisah nyata. Aku yang duduk di seberang meja pak guru, mendengar semua pembicaraan itu. Dan itu bukan hanya kali ini saja. 'Fenomena' ini tentu mencemaskan kami para guru dan tentu lebih-lebih orang tua para remaja. Jika ditanyakan kepada remaja, mungkin jawabannya lebih banyak yang pernah atau sedang berpacaran dibanding yang tidak. Bagaimana kita para guru dan orang tua mensikapi fenomena ini.

Melarang remaja sama saja dengan memyiram bensin ke dalam api yang membuatnya makin berkobar. Membiarkannya tentu saja salah. Tugas orang tua dan guru adalah mendidik anak-anak/siswanya menjadi waladun sholih yang pahalanya kekal hingga akhirat. Disebut waladun bukan bintun/bin menandakan tugas mendidik tidak saja kewajiban orang tua kandung tetapi juga orang tua bukan kandung termasuk guru yang mendapat amanah pendidikan seorang anak.

Kembali ke fenomena pacaran seperti di atas, bagaimana mensikapinya. Mengamati beberapa siswa yang menunjukkan perilaku berpacaran berlebihan, dapat diketahui bahwa faktor pendidikan dari kecil, kualitas hubungan ortu-anak, juga pandangan orang tua tentang pacaran cukup berperan. 'Kasus' Rina di atas, menurut pengakuan anaknya, orang tua menyetujui anaknya berpacaran bahkan memberi ijin jika mereka hendak pergi berduaan. Setelah dikonfirmasi ke orang tua, mereka membenarkan meskipun tidak menyangka dan menyesalkan perilaku berpacaran anaknya seperti ditunjukkan dalam foto-foto itu.

Remaja, sesuai dengan perkembangan fisik dan psikologisnya memang wajar jika mulai tertarik dengan lawan jenis. namun tertarik dengan lawan jenis tidak harus dilalui dengan pacaran. Tugas orang tua dan guru dari sejak anak-anak masih kecil adalah menanamkan mana perbuatan yang boleh mana yang dilarang. Lebih dari itu, orang tua/guru harus menjadi teladan perilaku bagi anak-anaknya. Tidak mungkin melarang anak yang sudah remaja tanpa diawali pendidikan dari kecil. Selain itu orang tua/guru perlu mempersiapkan kelebihan energi yang akan dialami anaknya ketika sudah remaja dengan membekali anak-anak kegiatan-kegiatan yang positif. Khusus untuk anak-anak laki-laki dari kecil harus dilatih untuk aktivitas fisik yang rutin, sehingga di saat remaja mereka bisa menyalurkan kelebihan energi pada aktivitas fisik yang menguras energi.

Pada akhirnya jika remaja menunjukkan tanda-tanda berpacaran, alangkah baiknya jika ortu/guru tak segan mengingatkan mereka untuk tidak berduaan. Jika tahapnya sudah sulit dikendalikan, ada baiknya menawarkan 'pernikahan dini'. Dalam kondisi ini ortu memang mau tidak mau masih harus membantu ekonomi keluarga kecil mereka. Meski ekstrim, keselamatan di akhirat lebih utama daripada sekedar menerima pandangan manusia.

Lebih dari itu, mari para orang tua dan guru untuk senantiasa memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan bagi anak-anak/murid kita. Tak lupa, mari kita selalu memohon pertolongan dan perlindungan Allah agar anak-anak kita terhindar dari godaan setan dan senantiasa dalam lindungan dan kasih sayang Allah.

Wallahu'alam





Senin, 26 November 2012

Pulau Bungin

Pulau Bungin, bagi saya dan sebagian besar kita barangkali merupakan nama pulau yang baru pertama kali didengar. Begitulah nama pulau kecil di Sumbawa yang konon paling padat penduduknya sedunia. Saat mendengar cerita teman tentang keunikan pulau ini, saya memilih mengunjungi pulau ini ketika berada di Sumbawa  awal november lalu.

Pulau Bungin merupakan salah satu desa di kecamatan Alas kabupaten Sumbawa Besar. Terletak sekitar 70 sebelah barat kabupaten Sumbawa Besar, perjalanan menuju kesana dapat ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit dengan mobil. Transportasi umum yaitu bus juga tersedia. Jalanan beraspal cukup bagus sehingga perjalanan ke pulau Bungin cukup lancar. Setelah melewati kecamatan Alas, perjalanan ke pulau Bungin dapat dilanjutkan dengan kapal kecil melalui Labuhan Alas atau dengan mobil, ojek, dan cidomo. Yang terakhir ini adalah singkatan cikar-dokar-motor, kendaraan khas NTB mirip dokar yang ditarik kuda namun rodanya seperti roda mobil. Rombongan kecil kami memilih tetap melanjutkan perjalanan dengan mobil. Meskipun jalan menuju pulau Bungin dari kecamatan Alas tanah dan berbatu.
Pulau Bungin dari Kejauhan
Menjelang jam 10.00 pagi ketika rombongan kami memasuki kawasan pulau Bungin. Dari kejauhan pulau ini tampak kecil namun padat. Pulau yang tak jauh dari daratan itu, saat ini sudah dapat dilalui dengan jalan. Jalan ini dibuat dengan menimbun laut yang memisahkan pulau Bungin dengan daratan kecamatan Alas. Adanya jalan ini memudahkan akses keluar-masuk warga maupun pendatang ke Pulau Bungin.

Pulau Bungin berpenduduk sekitar 3000-4000 jiwa. Pulau ini dikenal sebagai pulau terpadat di dunia. Dengan luas pulau sekitar 1,5 kilometer persegi, seluruh daratan di pulau ini dipenuhi rumah penduduk. Oleh karena itu, pulau yang didiami masyarakat keturunan suku Bajo ini punya tradisi unik yaitu setiap warga yang hendak menikah maka harus menyediakan lahan untuk membuat rumah dengan cara menguruk pantai di tepian daratan. Dari itu lambat laut pulau ini akan melebar luasnya.


Saking padatnya penduduk, hampir tidak dapat kita temui tanaman di pulau ini. Saya sendiri hanya menemui 3 batang pohon kelapa yang tumbuh di halaman SDN pulau Bungin dan beberapa tanaman hias di pot. Pagar SD terkunci rapat menghindari kawanan kambing memasuki halaman sekolah dan memakan tanaman. Di pulau ini, kambing cukup banyak dipelihara. Namun, karena tidak ada tanaman, maka kambing di pulau ini makan kertas, ikan, bahkan nasi. Berikut ini video kambing ketika disodori kertas.

                                                                     Video Kambing Makan Kertas

Ketiadaan tanaman  ini juga yang mengakibatkan suhu udara di pulau Bungin sangat panas. Jam 10 pagi ketika kami berada di sana, serasa jam 12.00 siang. Aktivitas masyarakat setempat di siang hari lebih banyak dilakukan di dalam rumah atau di kolong rumah panggung yang tingginya sekitar 1,5 meter di atas tanah. Di siang hari, perempuan-perempuan muda membedaki wajahnya dengan semacam masker/bedak dingin. Pada saat kondisi laut pasang, kolong rumah panggung tergenang air laut.

SD Negeri Pulau Bungin
Demikian sekilas kisah perjalanan ke pulau Bungin, pulau kecil di kepulauan Sumbawa NTB.

Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda

Hari ini 29 Oktober, di sekolah diadakan upacara peringatan Sumpah Pemuda. Karena 28 Oktober jatuh pada hari minggu, maka upacara peringatan hari sumpah Pemuda dilaksanakan hari ini Senin 29 Oktober, mundur sehari. jam 7.15 ketika upacara dimulai matahari sudah cukup tinggi dan sinranya sudah cukup panas. Sebagai pembina upacara saya segera menempati podium yang menghadap ke timur alias menantang sinar matahari. Saya berdoa dalam hati agar tidak pingsan, seperti kebiasaan saya waktu masih sekolah dulu sering pingsan saat upacara. Untuk amanat pembina upacara hari ini, saya sudah mempersiapkan diri dengan membaca beberapa literatur berkaitan dengan sejarah, keIslaman dan sebagainya. Saya akan usahakan menyampaikan amanat yang singkat tapi bermakna.

Untuk menyampaikan tema ini awalnya saya membaca bukunya cak Noer yang berjudul "Islam, kemodernan dan Keindonesiaan. Namun, saya fikir materi di buku ini terlalu berat untuk disampaikan di depan siswa-siswa setingkat SMA/MA. Meskipun demikian saya menggarisbawahi beberapa ide penting yang  memperkaya isi amanat yang akan saya sampaikan. Bahkan saya menemukan satu makna kekinian yang masih relevan diangkat sekarang dari Sumpah Pemuda yaitu bersatu dalam kemajemukan, dan itu diperlukan 'musyawarah'. 

Berikutnya saya membaca biografi Steve Jobs, pendiri raksasa komputer Apple, yang kisah hidupnya menginspirasi banyak orang. Saya menangkap perilaku alm. Steve Jobs sehingga karya inovatifnya dapat dinikmati banyak orang di dunia. Perilaku itu ialah kebiasaannya bercermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri "seandainya hari ini adalah hari terakhir hidup saya, apakah saya akan melakukan apa yang akan aku lakukan." Kesadaran ini membuat karyanya sempurna. Saya mengambil ide makna "perjuangan" dari biografi Steve Jobs.

Alhamdulillah akhirnya saya menemukan tema 'musyawarah dan perjuangan' sebagai makna yang masih relevan kita gali dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda. Pada tahun 1928, pemuda-pemuda Indonesia bahkan menurut riwayat banyak yang masih berusia 18 belasan mengadakan kongres pemuda. Konggres ini yang membidani adanya "Sumpah Pemuda". Ide persatuan dalam kemajemukan ini sungguh prestasi luar biasa setelah bertahun-tahun bangsa Indonesia selalu kalah dalam melawan penjajah Belanda. Karena, sifat perlawanan masih bersifat sporadis belum bersatu. Kemauan untuk bertanah air satu dan berkebangsaan satu yaitu Indonesia diantara ratusan suku dan kerajaan-kerajaan kecil waktu itu tentu memerlukan kebesaran hati dan kemauan bersatu yang kuat. Demikian juga ikrar berbahasa satu bahasa Indonesia (Melayu) waktu itu tentu bukan proses yang mudah. Namun pemuda-pemuda pelopor itu telah membuktikan bahwa semangat kebangsaan dan persatuan mampu mengatasi egosime suku, ras, maupun agama.

Saya mengangkat semangat itu menjadi anjuran dan kebiasaan bermusyawarah dalam setiap keadaan yang terjadi perbedaan. Karena di depan siswa madrasah saya ungkapan makna salah satu ayat dalam Al Quran yang artinya "Bahwa jika Allah menghendaki setiap manusia beriman, tentu sangat mudah bagi Allah, namun Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih apakah jalan kebenaran atau kesesatan". Ayat ini mengandung arti bahwa manusia secara sunatullah memiliki kebebasan/pilihan masing-masing. Kondisi fitrah ini memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Sebanyak orang berkumpul, bisa dimungkinkan sebanyak itu pulalah pendapat yang dikemukakan. Di sisi lain kebebasan itu berhadapan dengan keterbatasan manusia dan ketidakmampuannya untuk hidup tanpa orang lain. Keterbatasan ini menyadarkan manusia bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Tinggi dan Maha Benar. Kebenaran oleh manusia bersifat relatif, selalu ada ruang untuk diperdebatkan. Oleh karena, kita perlu berendah hati dengan ide-ide kita dengan cara mau mendengarkan pendapat orang lain. Siapa tahu pendapat orang lain lebih benar. Musayawarah yang dilandaskan oleh dua hal itu, kemamuan berpendapat dan berendah hati mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain Insya Allah akan menghasilkan mufakat yang diterima demi kebaikan bersama.

Selanjutnya, saya menyampaikan makna perjuangan yang masih relevan hingga sekarang. Peristiwa Sumpah Pemuda mengajarkan kepada kita bahwa dalam berjuang melawan penjajah-pun tidak semua mengangkat senjata. Terdapat pemuda-pemuda yang berjuang melalui gerakan pemuda pemersatu bangsa. Dalam setiap perjuangan kita harus paham siapa musuh kita dan bagaimana mengalahkannya. Dalam konteks sekarang dan paling kecil yaitu diri sendiri perjuangan generasi muda sekarang adalah perjuangan meraih cita-cita. Musuhnya adalah rasa malas, sifat menunda-nunda dan tiadanya kesungguhan untuk 'berjuang' meraih cita-cita. Saya sampaikan bahwa, keberhasilan meraih cita-cita dimulai dari sekarang. Tidak mungkin di masa muda bermalas-malasan lalu tiba-tiba ketika tua langsung sukses. Semua perlu perjuangan. Untuk lebih menyemangati, saya selipkan kisah singkat tentang Steve Jobs dan perjuangannya dalam melahirkan karya-karya inovatif dunia.

Pada akhirnya saya mengakhiri dengan ajakan agar masing-masing kita bersumpah terhadap diri sendiri untuk selalu melakukan yang terbaik dan berjuang meraih cita-cita menjadi manusia yang banyak manfaatnya. 

Begitulah, matahari sudah sangat panas ketika saya menyampaikan dan mengakhiri amanat pembina upacara. Peluh membasahi sekujur badan, dan sinar matahari seperti membakar muka saya. Amanat  kali ini memang singkat dan sederhana. Tidak mengangkat masalah ke-Indonesiaan, hanya masalah diri sendiri. Namun demikian, semoga ada diantara siswa yang mengambil manfaat dari amanat ini. Wallahu'alam.




Minggu, 14 Oktober 2012

Makkah Al Mukarramah

Perjalanan darat dari Madinah ke Mekkah hampir sama waktunya dengan perjalanan Jeddah-Madinah sekitar 5 jam.  Kami berangkat pagi-pagi habis sarapan pagi  menuju Mekkah. Waktu itu kami sudah menggunakan kain ihram dan berniat umroh sebelum melanjutkan ke Arafah melaksanakan ibadah haji. Ini adalah perjalanan spiritual. Sepanjang perjalanan tak henti kami mengumandangkan talbiyah. Labbaik Allohumma Labbaik.

Perjalanan siang membuat kami bisa melihat panorama di sepanjang jalan Madinah-Makkah. Sepanjang jalan yang terlihat di kanan kiri jalan adalah batu dan batu. Batu-batu berbagai bentuk dan ukuran berganti-gantian sepanjang jalan. Ada gunung batu yang seolah hanya terdiri satu batu besar sebesar gunung. Ada gunung batu yang tersusun dari batu-batu sebesar kepala, atau sebesar kerikil dan sebesar butiran pasir. Melewati padang pasir adalah pemandangan yang mempesona. Jadi terbayang perjalanan kafilah hijrah Rasulullah. Subhanallah sejauh ini Mekkah-Madinah melalui hamparan batu dan pasir. Sesekali terlihat rumpun pohon korma diantara belantar batu. Pertanda di sekitar itu ada oase. Sebelum memasuki kota Makkah, kami berhenti di miqat, kalau tidak salah di Bir Ali untuk melaksanakan shalat dua rakaat dan niat melaksanakan ibadah umroh.

Memasuki kota Mekkah hatiku mulai bergetar. Dari kejauhan tampak keramaian orang lalu lalang di kota yang padat. Subhanallah, Allahu Akbar, ditengah padang yang tandus terbangun kota yang tidak pernah tidur. Kota ini tidak sembarang kota. Kota yang beribu abad tak pernah hilang dari siklus sejarah bahkan semakin ramai dan maju. Terbayang Siti Hajar dan putranya Ismail kecil yang memulai meramaikan padang tandus ini menjadi sebuah kota. Kegigihan dan keyakinannya kepada Allahlah yang menghidupkan kota ini. Subhanallah..Allahu Akbar.

Jalanan dipenuhi orang-orang yang lalu lalang berpakaian putih atau hitam. Toko-toko sepanjang jalan menjual beragam macam barang , berderet berselang-seling dengan bangunan mirip apartemen. Bangunan dicat dengan warna yang sama krem, dan tidak terlihat bangunan bercat warna warni.  Rombongan kami langsung menuju hotel ‘Ajyad’ sekitar 100 meter dari Masjidil Haram. Ini adalah salah satu hotel terbaik waktu itu tahun 1993. Namun jika kita pergi kesana sekarang, sudah banyak hotel-hotel bertaraf internasional berdiri di sekitar Masjidil Haram. 

Setelah meletakkan barang-barang di kamar hotel, kami beristirahat sejenak sebelum menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh. Kami berjalan beriringan menuju Masjidil Haram. Jalanan berdebu. Angin padang pasir bertiup kencang menerbangkan debu-debu jalanan. Udara cukup panas. Dalam kondisi ini lebih nyaman jika kita menggunakan pakain yang tertutup bahkan menutup muka. Barangkali ini salah satunya, selain keyakinan, yang membuat wanita-wanita Arab selalu bercadar. Karena dengan tertutp rapat, badan kita terlindungi dari sengatan panas. Akhirnya kami sampai di depan Masjidil haram.

Aku segera menyungkur sujud , mensyukuri nikmat Allah hingga aku bisa sampai di tempat ini. Tempat yang dimuliakan Allah sejak ribuan tahun yang silam. Kami mencari pintu Babbussalam, pintu yang senantiasa dilalui  Rasulullah ketika memasuki Ka’bah. Teringat sejarah, ketika pembesar Qurays sebelum Islam bertengkar tak bisa menentukan siapa yang akan meletakkan Hajar Aswad. Mereka akhirnya memutuskan yang akan meletakkan adalah siapa yang pertama kali melewati pintu Babbussalam. Dan, Subhanallah yang memasuki Ka’bah melalui pintu Babussalam pertama kali adalah Rasulullah. Lalu dengan bijaksana Rasulullah mengusulkan agar batu hitam itu diletakkan di atas kain dan diangkat bersama-sama oleh para pemimpin kabilah yang bertikai. Maka kejadian itu berakhir damai. 

Subhanallah, dan kali itu untuk pertama kalinya aku melalui pintu yang sama yang dilalui Rasulullah. Airmataku seketika bercucuran tak terbendung. Rasa sesak membuncah memenuhi rongga dada. Rasanya aku ingin berlari memasukinya, seolah tak sabar hendak berjumpa dengan entah sesuatu yang telah lama terpendam dan dirindukan.  Mungkin inilah yang dinamakan fitrah. Kita merindukan sesuatu darimana kita berasal. Ruh kita berasal dari Allah, dan perjalanan spiritual ini, menujuNya.  Inilah puncak kerinduan kita tanpa kita sadari. Bukan dunia dan segala isinya yang kita inginkan dan rindukan. Kita sejatinya merindukan asal kita, fitrah kita yaitu Allah.

Memasuki masjidil Haram, dadaku makin sesak. Aku akan melihat ka’bah. Bangunan kubus berbalut kain hitam yang telah lama kita akrabi dari gambar dan sejarahnya.  Dan bangunan itu kini di depan mataku. Airmataku tumpah ruah. Ingin kuberlari merengkuhnya. Tak heran jika melihat jama’ah yang menangis sambil memegangi ka’bah. Itu adalah ekspresi fisik dari rindu dan cinta kepada Allah yang tak terlukiskan.  Aku menahan diri, meski air mataku tak henti mengalir. Suasana musim haji, Masjidil Haram penuh sesak. Mendekati Ka’bah perlu perjuangan tersendiri. Seperti cinta yang memerdekakan, biarkan ada jarak sehingga menyempurnakan pertumbuhannya, aku berusaha merasa cukup dengan mengangkat tanganku dari kejauhan searah hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar, kumulai thawaf pertamaku.

Thawaf itu seperti shalat, jika batal, maka kita harus berwudhu lagi. Dan seperti shalat yang memerlukan kekhusyu’an, demikian juga thawaf. Berputar mengelilingi Ka’bah 7 putaran berlawanan arah jarum jam, memerlukan waktu yang agak lama dibanding shalat. Apalagi dalam kondisi penuh sesak, maka jarak tempuh putaran makin jauh dari Ka’bah sehingga makin lama. Sangat penting dalam ibadah ini stamina fisik yang baik dan lebih dari itu kondisi spiritual yang tinggi. Pembimbing haji biasanya sudah menyiapkan buku-buku kecil tuntunan do’a yang digantung di leher untuk memudahkan dibaca. Aku sendiri terkadang memakai itu, namun lebih sering memusatkan hatiku pada Allah dengan membaca Subhannallah Walhamdulillah Walaa Illaha illallah. Disela-sela itu kupanjatkan do’a-do’a. Thawaf ini menguatkan hatiku bahwa Allah ‘memang’ pusat segala putaran hidup. Tidak lain, tidak bukan, hanya Allah semata. Ka’bah ini hanya simbol, simbol rumah Allah, tempat kita semua akan kembali.  Ini seperti salah satu bacaan dalam shalat, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya karena Allah.  Suka duka, tawa-tangis, marah-kecewa, bahkan setiap helaan nafas kita hanya karena Allah.

Selesai Thawaf, kami menuju bukit Shafa. Ah, terbayang kembali sejarah Ibunda Hajar yang berlari-lari mulai dari bukit ini. Pada tahun 1993, bukit Shafa masih kelihatan bentuknya. Bukit yang tak terlalu tinggi itu awal kita mulai melakukan sai’, berlari-lari kecil diantara bukit Shafa dan Marwa. Waktu itu kami masih bisa menaiki bukit Shafa, dan mengangkat tangan menghadap Ka’bah. Jarak antara kedua bukit itu sekitar 500 meter. Tujuh kali berarti 3500 meter. Cukup memerlukan kondisi fisik yang prima. Jika Thawaf, menggambarkan ibadah kita hanya kepada dan untuk Allah, maka Sai’ menggambarkan perjuangan hidup. Sai’ menggambarkan bahwa kita harus gigih berusaha dalam hidup, tidak boleh menyerah hingga apa yang kita harapkan terwujud bahkan melampui apa yang kita harapkan. Subhanallah.

Selesai melaksanakan ibadah sai’, ibadah umroh diakhiri dengan tahalul, menggunting sebagian rambut. Jamaah laki-laki biasanya bertahalul dengan mencukur gundul rambutnya.  Setelah menyelesaikan ibadah umroh, kami menuju ke sumur zam-zam.  Sumur zam-zam, sumber mata air yang tak pernah kering sejak ditemukan oleh kaki kecil Ismail ribuan tahun yang salam. Sumber air ini terletak tak jauh dari Ka’bah, masih di pelataran Ka’bah. Kami menuruni beberapa tangga di bawah pelataran Ka’bah . Pada tahun 1993, bentuk lobang sumur Zam-Zam masih bisa kita lihat, meski dari balik jeruji yang melindunginya. Banyak jamaah yang tidak sekedar meminum air zam-zam namun mengguyur sekujur badannya dengan air zam-zam. Aku cukup membasuh muka, tangan, kaki dan berwudhu. Tentu saja meminum airnya yang sejuk menyegarkan dan menyehatkan.  Subhanallah Walhamdulillah Walaa Illaha Illallah.

Rabu, 10 Oktober 2012

Thaif, kenangan yang memilukan

Pada perjalanan umrohku tahun 2010 yang lalu, biro perjalanan Khazanah Mandiri, tempat aku dan ibuku tergabung dalam jamaah umroh, mengagendakan perjalanan ke Thaif. Aku sejak berangkat sudah berniat tidak akan ikut perjalanan ke Thaif ini. Entah mengapa rasa hatiku tak nyaman harus bersenang-senang ke Thaif. Aku sampaikan ke ibuku, bahwa sebaiknya waktu kita yang terbatas di Mekkah kita manfaatkan untuk i'tikaf dan berlama-lama di Masijidil Haram. Perjalanan ke Thaif memakan waktu seharian. Karena disana banyak hal yang akan dilihat dan dilakukan

Bagiku dan bagi kita umat Islam yang membaca sejarah Nabi Muhammad, SAW, Thaif adalah sepenggal cerita yang memilukan. Tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah, Rasulullah diam-diam mendatangi kota Thaif. Sejak kepergian Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, penduduk Mekkah makin berani memerangi dakwah Nabi. Kepergian Nabi ke kota Thaif yang berjarak sekitar 100 km dari kota Mekkah dengan harapan akan mendapat perlindungan dari kekejaman kaum Qurays Mekkah. Namun yang didapatkan Nabi justru sebaliknya. Penduduk Thaif menolak dengan kasar bahkan mengusir Rasulullah dengan lemparan batu. Bersama Zaid bin Haritsah, Nabi bahkan harus bersembunyi  di kebun milih "Utbah bin Rabi'ah. Kekasih Allah ini berlindung dari lemparan batu. Masya Allah, begitu kejinya perlakuan penduduk Thaif. Bahkan malaikatpun tak tega, dan bertanya kepada Nabi apakah hendak dibalaskan perlakuan penduduk Thaif? Namun, manusia agung itu menolaknya dan berdo'a:
"Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Jika Engkau tidak murka kepadaku maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu."Tergambar betapa beratnya cobaan yang dialami Nabi pada masa itu.

Thaif adalah kota di atas perbukitan yang berhawa dingin. Sungguh berbeda dengan kawasan jazirah Arab lainnya yang gersang dan tandus. Kota berhawa dingin ini menjadi lahan untuk tumbuh suburnya tanaman sayur dan buah-buah. Saat ini Arab Saudi sedang gencar-gencarnya membangun Thaif menjadi daerah tujuan wisata. Berbagai sarana dan fasilitas wisata dibangun. Dari cerita teman yang ikut ke sana, di Thaif mereka naik semacam gondola yang menghubungkan dua bukit sambil menikmati panorama hijau di padang pasir.

Aku tak sanggup melalui itu, terbayang Rasululllah, dan kepedihannya di Thaif. Aku lebih suka duduk di depan Ka'bah dan menikmati kedekatan bersama Allah bersama orang-orang yang tak henti berthawaf dan bermunajat.



One Moment in My Life (3)


Madinah Al Munawarah kota madani. Disini ribuan abad yang silam, Rasulullah membangun kota yang aman, nyaman bagi seluruh penduduk kota Madinah. Mayoritas muslim dan minoritas umat Yahudi dan Nasarani. Namun aturan yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan warga minoritas terlindungi hak-haknya. Bentuk kota Madinah di zaman Rasulullah menjadi kajian hingga kini sebagai contoh kota yang madani.

Madinah secara historis, kita kenal sebagai masyarakat yang menerima hijrah Rasulullah dengan tangan terbuka. Disaat keamanan dan keberlangsungan dakwah Rasulullah di Makkah terhambat, Rasulullah mendapat perintah untuk berhijrah. Beberapa kota di sekitar jazirah Arab sempat didatangi Rasulullah, namun semua menolak kehadiran beliau, bahkan di kota Thaif beliau diusir dengan kasar oleh penduduk Thaif. Madinahlah yang akhirnya menjadi pusat dakwah Nabi. 

Kultur masyarakat Madinah ramah. Secara fisik kita akan menumpai kesempurnaan wajah fisik ada di penduduk kota Madinah. Wajah laki-laki dan perempuan yang begitu sempurna ketampanan dan kecantikannya. Jika di Indonesia, mereka semua mungkin akan laris manis menjadi artis. Meski tertutup cadar, kita bisa menerka bentuk mata, hidung, yang sempurna. Demikian juga warna kulitnya yang putih kemerahan. Barangkali ini karena faktor cuaca. Meski udara di sana sangat panas, tapi kita hampir tidak pernah berkeringat. Bahkan, pakaian yang tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki menjadi pakaian yang paling nyaman di udara panas dariada menggunakan pakaian terbuka.  Warga Indonesia yang telah lama tinggal di Arab Saudi-pun, lambat laun kulitnya berubah menjadi putih kemerahan.

Disinilah, ditempat yang sama sekali baru aku kunjungi aku merasa seperti pulang kampung, tidak merasa asing.  Barangkali karena dari kecil kita mendengar dan membaca sirah Nabawi, sehingga tempat ini sudah begitu lekat dalam memori kita. Madinah kota yang bersih dan nyaman. Lebih banyak orang berjalan-jalan daripada naik kendaraan. Mereka menggunakan bentuk dan warna baju yang nyaris sama, hitam atau putih. Hari kedua dan seterusnya, aku berkesempatan untuk menyusuri tempat-tempat bersejarah di kota Madinah. 

Jabal Uhud, tempat terjadinya perang uhud dengan kisah fenomenal syahidnya Hamzah paman Nabi dan yang diambil jantungnya oleh Hindun. Seperti dalam riwayat, terdapat dataran rendah di tengah perbukitan uhud. Di sini sebagian tentara Islam diriwayatkan tidak patuh pada perintah sehingga mengakibatkan banyaknya korban. Jabal Uhud seperti gunung-gung di Arab Saudi adalah batu.

Selanjutnya kami menuju masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun di Madinah. Disanalah diriwayatkan Nabi menentukan tempat membangun masjidnya di tempat untanya berhenti. Masjid Quba berada agak di pinggiran kota Madinah. Setelah ke masjid Quba, kami menuju masjid Qiblatain, tempat Nabi menerima wahyu untuk mengubah arah kiblatnya ke Mekkah Al Mukaramah.

Selain masjid, di Madinah kita bisa mengunjungi kebon korma. Di sana juga terdapat pasar korma. Korma yang utama perlu kita beli adalah korma Ajwa yang konon pada awalnya ditanam oleh Rasulullah. Di Madinah juga terdapat percetakan Al Quran terbesar. Setiap jamaah (laki-laki) yang berkunjung disana pasti mendapat Al Quran. Pada waktu itu, belum ditemukan jabal magnetik, jadi kami belum menuju kesana.

Sungguh pengalaman yang mengesankan berada di Madinah. Dalam sujud-sujudku sebelum melanjutkan ke Mekkah, aku berdo'a khusyu' agar mendapat kesempatan mengunjungi masjid Nabawi lagi.




Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...