Selasa, 04 November 2014

Nurture vs Nature

"Bu, apakah kalau orang tuanya berbuat sesuatu anaknya akan berbuat sama seperti orang tuanya?", tanya seorang anak dengan ekspresi takut dan cemas. Saya berusaha untuk membesarkan hatinya dengan menjawab bahwa perbuatan baik atau buruk bukanlah warisan. Itu adalah murni tanggung jawab dan pilihan pribadi masing-masing pelakunya. Saya tidak tahu apakah kata-kata saya saat itu dapat meringankan kecemasannya, namun pertanyaan itu menjadi bahan renungan saya berhari-hari sejauhmana perilaku/sikap orang tua berpengaruh terhadap anak. Di saat lain seorang teman menceritakan kecemasannya karena anak gadisnya yang masih SMP sudah mulai berpacaran. Di akhir cerita dan setengah bertanya teman saya ini berkata, "apakah ini karena faktor keturunan, karena dulu ibunyapun mulai berpacaran saat SMP".

Sebagai seorang guru, saya juga sering menemukan berbagai perilaku anak yang ekstrem dari berbagai sudut pandang. Ada ekstrem pemalu, ekstrem pemarah, ekstrem penggembira dan sebagainya.  Anak yang ekstrem pemarah, maka cenderung akan mengekspresikan kemarahannya melalui kata-kata bahkan perbuatan fisik yang merugikan temannya seperti memukul, mencakar, dan serangan fisik lainnya. Sedangkan anak yang ekstrem pemalu maka dia bisa bertahan dalam kesendiriannya di lingkungan sekolah.

Seringkali menghadapi sikap tersebut kita mencoba menganalisisnya dengan cara merunut bagaimana pendidikan pertama yang dia terima di rumah. Dalam banyak kejadian, sikap-sikap anak yang ditampilkan terutama saat mereka sudah remaja adalh refleksi sikap yang pernah dia terima di keluarganya, dalam hal ini adalh orang tuanya. Anak yang mengekspresikan kemarahannya secara berlebihan baik kata-kata maupun fisik 'biasanya' pernah diperlakukan dengan cara yang sama oleh orang tuanya di rumah. Demikian juga anak yang pemalu berlebihan, bisa jadi karena pendidikan masa kecil yang diterimanya tidak menumbuhkan rasa pervaya diri dia.

Dari beberapa hal di atas pertanyaannya adalah apakah nurture (pola asuh) atau nature (keturunan) yang paling berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Apakah kedua-duanya berpengaruh. Apakah seorang anak yang pemarah karena dididik dan dilahirkan dari orang tua pemarah? Dan, orang tua yang pemarah karena juga dididik dan dilahirkan oleh orang tua pemarah, dan seterusnya kakek-buyut yang juga pemarah. Lalu sifat pemarah itu menjadi nature yang turun temurun dan menjadi nurture yang dikembangkan dalam pola asuh di keluarga tersebut sehingga melahirkan generasi-generasi berikutnya yang juga pemarah? Jika demikian manusia tak ubahnya robot masa lalu yang hanya mengulang-ngulang cetak biru orang tuanya.

Sebagai guru dan juga orang tua yang merasa perlu untuk terus menerus menanamkan optimisme kepada anak-anak tentu saja saya menentang dan tidak mau percaya dengan hal itu. Bagi saya setiap anak adalah unik dan baik. Bisa jadi faktor keturunan dan pola asuh yang diterimanya berpengaruh terhadap karakternya saat ini tapi tidak seluruhnya. Seorang anak masih sangat mungkin berubah menjadi jauh lebih baik dari apa yang diterimanya dari orang tua yang telah mendidiknya dengan cara yang salah.

Manusia adalah makhluk berkesadaran. Lingkungan yang mendidiknya tidak saja lingkungan keluarga. Orang-orang baik yang ditemuinya di lingkungan yang lebih luas dapat menjadi teladan bagi perubahan perilakunya.  Manusia yang berkesadaran  tidak akan membiarkan apa yang tidak disukainya akan diterima oleh orang lain. Seorang anak yang lembut hatinya bisa jadi dibesarkan oleh orang tua pemarah namun dia tumbuh berkesadaran bahwa sikap pemarah tidak disukainya sehingga dia tidak memperlakukan orang lain dengan marah-marah.

Dalam Islam sendiri kisah keluarga Nabi Nuh dapat menjadi contoh bagaimana sikap baik bahkan keimanan tidak dapat diturunkan. Kan'an yang lahir dan dibesarkan seorang nabipun tidak otomatis tumbuh dan besar menjadi anak yang berakhlak baik. Bahkan Allahpun kemudian menegur nabi Nuh yang mengiba memohon pertolongan Allah untuk anaknya. Bahwa meskipun Kan'an anak biologis nabi Nuh, namun pada hakekatnya dia bukan anaknya.

Kisah itu menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tetap optimis dengan segala kondisi yang saat ini kita hadapi. Khususnya, bagi yang kurang beruntung pernah mendapat pendidikan yang tidak tepat di keluarganya. Bahkan tetap menjadi kesadaran dan bahan refleksi bagi siapapun yang berasal dari keluarga baik-baik.


Wallahu'alam






Selasa, 10 Juni 2014

Balada T*i Kucing

Ini adalah salah satu kisah di keluarga kami, yang saat mengingatnya kami bisa tertawa geli sendiri, namun ada pelajaran yang bisa dipetik. Bahwa segala apa yang ada di sekitar kita dapat menjadi pelajaran adalah benar adanya. Firman Allah; "bahkan tidak sehelai daunpun jatuh, kecuali atas ijin Allah". Kisah ini adalah kejadian nyata yang kami alami khususnya suami saya alami di rumah. Dan, suami saya khususnya mendapat pelajaran dari super bau tak sedap t*i kucing. Kisahnya begini.

Malam itu lepas Maghrib, suami baru pulang dari menunaikan shalat Maghrib berjama'ah di mushola dekat rumah. Sampai di rumah, suami meminta saya untuk menelpon anak pertama yang belum pulang. "Tolong bilang ke Aul agar hati-hati melalui jalan di depan rumah karena banyak bertebaran t*i kucing", begitu pesannya. Suami merasa perlu mengingatkan untuk berhati-hati, karena jika si "kuning" itu terlindas roda motor maka akan berceceran sepanjang garasi dan meninggalkan aroma "semerbak" yang luar biasa dan tahan lama. Sayapun segera menghubungi Aul dan menyampaikan pesan ayahnya. Selesai menelpon, kami beraktivitas seperti biasa, dan merasa tenang. Begitulah, karena di sekitar rumah kami banyak berkeliaran kucing liar dan piaraan tetangga, maka kamipun harus ikut menanggung akibatnya yaitu t*i kucing itu.

Selang beberapa waktu, terdengar deru motor Aul melalui jalan depan rumah. Entah mengapa terdengar ngebut dan terburu-buru. Refleks kamipun saling memandang, dan bertanya-tanya gerangan apa yang terjadi. Suami segera beranjak untuk membukakan pintu garasi. Dan ternyata apa yang dipesankan ayahnya agar berhati-hati, malah benar-benar terjadi. Roda motor Aul melindasi beberapa onggok t*i kucing dan menyebarkannya dari halaman samping hingga ke garasi. Aroma menyengat itu langsung menguar kemana-mana.

Tak tergambarkan ekspresi kesal suami menyaksikan hal itu. Dan terjadilah percakapan seru karena Aul sibuk membela diri. Whatever, aroma itu tak mungkin dibiarkan saja. Suami segera mengambil ember dan meminta Aul dan adiknya membatu membersihkan ceceran t*i kucing itu. Aul yang pulang sudah dalam kondisi lelah dan berasa mau muntah mencium aroma itu, menyatakan tak sanggup ikut membersihkan. Saya sebenarnya ingin diam saja tidak ikut campur. Namun mendengar semua itu saya keluar untuk menengahi dan menyampaikan bahwa hari sudah malam maka membersihkannya besok saja. Namun, suami bersikukuh untuk membersihkannya saat itu juga. Saya tak tega melihatnya capai sendirian, akhirnya turun tangan mengambil pel dan pembersih lantai. Selesai membersihkan lantai, suami mencuci motor Aul. Sungguh malam yang sibuk untuk hal yang sangat-sangat sepele t*i kucing. Selesai membersihkan semuanya,  kami semua diam. Suami tidak saja capai tapi juga lelah. Aul diam merasa bersalah tak tahu harus berbuat apa. 

Esok harinya, seperti biasa saya dan suami selalu memperbincangkan segala hal. Tentunya termasuk peristiwa t*i kucing itu. Tiba-tiba suami berkata, "saya salah, seharusnya saya langsung membersihkan t*i kucing itu, bukan cuma sekedar mengingatkan." "Akibatnya malah semakin banyak yang harus dibersihkan, juga rasa kesal", ujarnya melanjutkan. Saya mendengarnya sambil diam-diam menyimpan rasa geli mengingat peristiwa tadi malam. Kata suami, "t*i kucing itu sebenarnya bisa jadi simbol kemungkaran. Ketika melihat kemungkaran sikap seseorang ada 3; 1) melawan kemungkaran dengan perbuatan/perkataan; 2) sekedar mengatakan oh ini ada kemungkaran; atau 3) mendiamkan saja melihat kemungkaran. Sikap terbaik adalah yang pertama. Subhanallah, suami bisa menarik pelajaran bahkan dari barang yang menjijikkan.

Sejak itu, setiap ada ta* kucing di jalanan depan rumah maupun di halaman, suami langsung membersihkan. Bahkan, terkadang saat pulang dari kantor dan melihat t*i kucing ada di jalanan suami langsung membersihkan dengan sukarela. Tentu saja tidak sekedar tentang si kuning itu, dalam segala hal; got mampet, sungai meluap, sampah berserakan, suami langsung berinisiatif untuk berbuat. Ya, mulai dari kecil, dari yang dekat, dan mulai dari sekarang. Sekarang saya bisa tertawa mengingat balada t*i kucing di malam itu.

Wallahu'alam bii showab





Kamis, 01 Mei 2014

Refleksi Hardiknas 2014

Menjelang hari pendidikan 2 Mei 2014 ini dunia pendidikan di tanah air kembali dihentakkan oleh kasus tragis kekerasan seksual terhadap anak TK. Kita semua terhenyak, marah, dan pilu mengikuti perkembangan kasus tersebut. Anak usia TK yang seharusnya mengalami pendidikan yang menyenangkan justru menjadi korban oleh orang yang sehari-hari berinteraksi dengannya. Tentu tak bisa kita bayangkan trauma psikologis yang dialami anak tersebut, selain dampak penyakit yang harus dideritanya. Bagaimana kegeraman dan kepedihan hati orang tuanya yang tentunya telah berharap banyak dengan menyekolahkan anaknya di sekolah mahal, namun yang dialaminya justru sebaliknya.

Berbagai pertanyaan memenuhi benak kita; bagaimana kasus tragis ini terjadi di sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak? Lebih-lebih lagi di sekolah dengan fasilitas wooww sekaliber JIS yang bayarannya per bulan $2.500 atau sekitar Rp. 27.000.000,00. Secara fisik JIS tidak saja memiliki kelengkapan sarana prasara pendidikan kelas internasional, bahkan juga sistem pendidikan yang tentunya juga berkelas internasional. Bahkan, informasi yang saya peroleh, orang luar yang tidak berkepentingan langsung dengan pendidikan tidak mudah ke sekolah tersebut tanpa ada janji sebelumnya. Ini berarti, sistem keamanan di sekolah tersebut cukup rapi. Namun, kembali ke pertanyaan di atas,  ancaman itu ternyata berasal dari dalam lingkungan sekolah sendiri, oleh orang yang sama sekali tidak diduga akan melakukan kejahatan terhadap anak-anak.

Pendidikan yang Sesungguhnya

Konsep pendidikan menerapkan tiga ranah pendidikan yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif (didalamnya adalah pendidikan moral dan akhlak keagamaan atau dikenal dengan pendidikan karakter). Sekolah sebagai lembaga pendidikan mesti mengusung ketiga ranah ini dalam proses pendidikan di sekolah. Namun demikian secara umum ranah kognitif menjadi prioritas dan tolok ukur keberhasilan sekolah. Prosentase kelulusan, kemenangan dalam kompetisi akademik, diterimanya sisa di sekolah/universitas terbaik pada jenjang pendidikan sekolah selanjutnya menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah. Dan semua itu adalah domain kognitif. Orang tua-pun cenderung melihat keberhasilan pendidikan anak-anaknya dari angka-angka yang tertera di rapor. Maka tak jarang orang tua sibuk memasukkan anak-anaknya di lembaga bimbingan belajar untuk menambah jam belajar anak. Orang tua yang mampu berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit berbayar mahal seperti JIS dengan harapan anaknya memperoleh prestasi akademik membanggakan.

"Kesalahan" paradigma pendidikan yang kognitif minded tersebut terjadi dimana-mana. Sekolah-sekolah mahal semacam JIS cukup banyak bertebaran di tanah air. Bahkan sebelumnya sekolah-sekolah negeri-pun dengan label SBI (sekolah berstandar internasional) juga mengenakan  biaya pendidikan yang cukup mahal. Biaya pendidikan mahal tersebut untuk membiayai seluruh operasional pendidikan seperti gaji guru, belanja sarana/prasara sekolah, pemeliharaan sarpras, pemenuhan kelengkapan media pembelajaran dsb.

Secara tidak langsung pendidikan berbiaya mahal itu seperti menciptakan paradigma money oriented di sekolah. Hal itu terlihat dari adanya divisi marketing yang bertugas "menjual" nama sekolah. Bahkan seperti contoh kasus JIS di atas, sekolah memanfaatkan tenaga kebersihan outsourcing yang notabene tenaga kebersihan tersebut adalah pihak luar yang diijinkan memasuki dunia keseharian sekolah. Jika sekolah itu ibarat rumah bagi seluruh penghuni sekolah, dengan tenaga outsourcing maka sekolah membiarkan orang asing menginap di rumah kita.

Jika sekolah memahami bahwa pengelolaan sekolah itu berbeda dengan pengelolaan perusahaan, maka pengelola sekolah akan menjadikan semua elemen di sekolah sebagai wahana pendidikan bagi siswa. Siswa tidak hanya belajar dari guru-gurunya, tapi juga belajar dari petugas kebersihan, satpam, penjual makanan di kantin sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sekolah dapat memfasilitasi model interaksi siswa dengan semua pihak tersebut melalui kegiatan pembiasaan diri. Misalnya, dalam masa orientasi siswa baru, sekolah tidak hanya mengenalkan siswa dengan guru-gurunya tapi juga mengenalkan kakak-kakak kelasnya, satpam sekolah, petugas kebersihan sekolah, kantin, dll. Selanjutnya siswa dapat dilibatkan dalam program kebersihan sekolah serta penegakan disiplin dan tata tertib sekolah.

Pendidikan di sekolah itu tidak hanya saat proses belajar mengajar di kelas, namun selama jam sekolah dari pagi sampai siswa pulang adalah proses pendidikan. Oleh karena itu pengelola sekolah harus memastikan bahwa semua yang terlibat di sekolah (satpam, petugas kebersihan, petugas kantin, dll) adalah orang-orang yang bisa menjadi teladan berperilaku. Mereka adalah orang-orang yang secara intens harus dimenej oleh kepala sekolah agar jalannya seirama dengan visi misi sekolah. Mereka adalah bagian dari proses pendidikan di sekolah yang dituntut untuk berperilaku mendidik.

Di sekolah-sekolah reguler (sekolah negeri secara umum dan sekolah swasta berbayar murah), biasanya siswa mengenal baik satpam sekolah, petugas kebersihan sekolah bahkan pedagang kantin di sekolahnya. Di madrasah tempat saya mengajar, anak-anak mengenal dan memanggil satpam sekolah dengan panggilan 'pak'e' karena akrab. Anak-anak juga mengenal 4 petugas kebersihan kami yang sudah bertahun-tahun bekerja di sini.

Kondisi tersebut barangkali tidak akan ditemui di sekolah berbayar mahal seperti JIS. Jangankan mengenal petugas kebersihan atau satpam, nama-nama seluruh gurunyapun bisa jadi mereka tidak kenal.Pendidikan yang kognitif dan money oriented tersebut telah mengasingkan siswa dari lingkungannya. Siswa hanya dituntut belajar dan belajar materi pelajaran di kelas. Siswa tidak diberi kesempatan untuk belajar dari lingkungannya termasuk lingkungan terdekatnya yaitu sekolah. Sungguh sangat disayangkan, bisa jadi mereka akan menjadi anak-anak yang pandai secara akademik, namun jiwa mereka kering dan terasing.

Kasus JIS  menjadi tamparan yang keras bagi dunia pendidikan. Sudah seharusnya kita kembali berbenah dan berubah, sudah benarkah arah pendidikan kita.

Wallahu'alam





Senin, 10 Februari 2014

Teacher Ana

Pertama mendengar panggilan ini terasa ada yang aneh.  Yaa.. teacher Ana adalah panggilan baru yang saya terima dari rekan-rekan baru saya dari SKTelcom Korea Selatan. Dengan bahasa Inggris ke-Korea-Korea-an Suan Eoh, Peter, Alex dan Ms Yuunhee (dibaca Yuni) memanggil saya dengan teacher Ana. Lambat laun panggilan ini terasa akrab dan ramah di telinga saya. Thanks a lot friends.
at smart class with Suan Eoh, Ryan Kim, and pak Doko

Tentunya yang mengesankan saya tidak sekedar masalah panggilan 'teacher Ana'. Namun panggilan ini membuktikan kepada saya sekali lagi  bahwa "yang terjadi bisa jadi sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan apalagi impikan".  Saya tidak pernah membayangkan akan berinteraksi dan bekerja sama dengan orang Korea. Dari pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kerjasama pendidikan biasanya dilakukan dengan Amerika, Eropa, Australia atau Jepang untuk wilayah Asia. Korea adalah sesuatu yang jauh dari bayangan tapi inilah yang terjadi, sekolah kami mendapat bantuan satu ruang kelas yang dinamai sesuai isi dan fungsinya "smart class dan IT center". Bantuan senilai Rp. 600 juta ini seperti manifestasi bahasa agama "rejeki itu bisa datang dari arah yang tak disangka-sangka". Bisa jadi ini adalah terkabulnya do'a-do'a yang selalu kami panjatkan (guru dan siswa) di dhuha rutin harian kami. Alhamdulillah

Dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan saya berhasil menjembatani komunikasi diantara kami. Jadilah sejak persiapan ruangan, launching, dan pemanfaatan ruang, teacher Ana menjadi contact person rekan-rekan Korea. Komunikasi baik melalui verbal (telepon dan saat bertemu) maupun tulisan (email/bbm) dapat kami lakukan dengan baik. Walhasil dialek Korea yang pernah saya akrabi melalui drama serial "junggem" sekitar 10 tahun silam kini hadir secara nyata.
 Yah, serial yang mengisahkan kehidupan juru masak istana kerajaan Korea itu adalah serial yang saya suka waktu itu. Lokasi cerita yang Korea itu dan pakaian tradisional Korea yang selalu dipakai pemainnya,serta dialeg Korea yang kental membekaskan memori yang cukup kuat tentang Korea. Sungguh tidak disangka bahwa obrolan dan dialek Korea itu benar-benar saya dengarkan dan saksikan di depan mata sendiri.
Menyenangkan memiliki teman dari negeri yang berbeda. Membuat kita kaya wawasan dan lebih toleran dengan perbedaan.

Ah, hidup memang misteri. Namun seperti ungkapan 'bahkan keajaibanpun perlu sebab' tugas kita adalah memperbanyak sebab. Yaitu dengan  bertindak dan terus bertindak yang terbaik apapun, kapanpun. Karena, kita tidak pernah tahu tindakan mana yang akan menjadi titik ungkit kita di masa yang akan datang, yang menentukan kejadian yang tak terduga di masa yang akan datang. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap kejadian.

Wallahu'alam


Senin, 20 Januari 2014

"Smart Class": Ruang Kelas Idaman

Sore itu aku terpukau dengan ruang kelas baru di sekolah kami. Ruang kelas bantuan dari Korea itu  membuatku bertanya-tanya apakah aku benar-benar sedang berada di ruang kelas Madrasah Aliyah atau di salah satu ruang kelas di Singapura yang pernah aku kunjungi. Ruangan bercat putih bersih dengan pencahayaan terang membuat ruangan ini nampak bersih dan elegan. Desain jendela, pintu, plafon, dan perabot di dalamnyapun bernuansa putih. Bapak-bapak di depan yang memberi trainingpun putih-putih dan bermata sipit. Kesadaranku bahwa ini adalah ruang kelas di madrasah aliyahpulih karena di sekelilingku adalah ibu-ibu guru berjilbab dan bapak-bapak guru yang berkulit coklat.

Ya inilah ruang kelas yang setelah renovasi berhari-hari baru aku dan teman-teman lihat. Tidak saja desain interior yang menjadikan ini ruang kelas idaman, namun fasilitas di dalamnyapun dipersiapkan sesuai dengan namanya "smart class". Di dalam ruang kelas idaman itu sudah tertata 35 personal computer terbaru yang dikoneksikan dengan wifi, "interactive white board', dan 20 samsung tablet berwarna putih yang berharga Rp. 9.000.000,00 per tabletnya. Wowwww..kamipun terpukau. Tidak pernah membayangkan kami memiliki ruang kelas dengan fasilitas semodern ini. Lebih lagi kelas ini didesain dengan"system konfigurasi for smart class", memungkinkan koneksi antar siswa dan guru melalui kecanggihan teknologi.

Training sore itu adalah satu paket bantuan untuk mempersiapkan para guru agar mampu menggunakan ruang kelas ini kelak untuk kegiatan pembelajaran. Kami dilatih tentang hardware dan software yang ada dan bisa dimanfaatkan di ruang kelas ini. Alih-alih mempertanyakan motif dibalik bantuan Korea ini, kami para guru lebih antusias untuk mempelajari apa dan bagaimana "smart class".  Jangan sampai kecanggihan teknologi dan kelengkapan fasilitas smart class ini mubazir karena guru tidak bisa menggunakannya alias gaptek.

Aku membayangkan bagaimana pembelajaran yang interaktif dan menarik di ruang kelas ini kelak. Dan, membayangkan lagi seluruh ruang kelas kami seperti smart class ini. Aamiin. Mimpi di pagi hari. 






Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...