Senin, 25 Februari 2013

Teori Hidup


Seorang teman mengomentari blog saya ini sebagai yang menyajikan berbagai permasalahan riil kehidupan, mulai masalah remaja, sekolah, suami istri dan lain-lain. Teman saya yang boleh dibilang tak pernah terpuaskan dahaga keilmuannya dan terus mempertanyakan tentang makna hidup itu juga mengajukan pertanyaan untuk dikomentari di blok ini tentang berbagai teori kehidupan. Apakah psikologi, filsafat, atau agamakah teori hidup yang tepat untuk diterapkan. Dia sendiri memilih agama, meski agama juga multi tafsir.

Filsafat dan psikologi memberi kita pengetahuan tentang berbagai hal dalam hidup ini. Psikologi sendiri, ilmu yang sedikit banyak, pernah saya pelajari, memberi tahu kita tentang gejala-gejala jiwa. Dari itu kita  memiliki pengetahuan agar bisa mensikapi dengan tepat gejala jiwa yang muncul. Demikian juga filsafat, saya kira. Namun demikian sebagai teori yang dihasilkan dari generalisasi suatu sikap yang teramati, psikologi dan filsafat pasti tidak selalu tepat penerapannya. Hal itu karena sebesungguhnya setiap jiwa adalah unik.  Agama bukan teori, tapi panduan langsung dari Tuhan untuk menuntun hidup manusia agar selamat dunia dan akhirat. Meski penafsiran tentang petunjuk agama seringkali berbeda-beda, namun petunjuk agama menurut saya lebih bersifat universal. Universalitas agama meliputi ruang dan waktu.

Tentu saja, saya sendiri tidak hendak mengkonfrontir berbagai teori hidup dengan agama. Karena, dalam hal tertentu, teori hidup dapat memperkaya petunjuk agama sehingga upaya kita mensikapi berbagai permasalahan hidup menjadi lebih kaya. Sebagai misal, jika psikologi mempelajari gejala-gejala jiwa, maka agama memberikan petunjuk tentang hakikat jiwa. Jadi, hakikat jiwa bisa lebih mudah dipahami melalui gejala-gejala jiwa.

******
Namun demikian di atas segala teori itu, hidup terus berjalan dengan atau tanpa berbagai teori hidup maupun petunjuk agama. Bahkan seringkali berjalan tidak linier sesuai yang direncanakan dan diharapkan. Gejolak kehidupan menuntut kita tidak sekedar berteori namun menemukan teori/teknik sendiri dalam mengatasi gejolaknya. Kehidupan tidak seperti sekolah formal yang akan diuji setelah kita belajar. Namun seringkali keduanya seiring sejalan bahkan berjalan terbalik, dari ujian maka kita belajar.

Saya sendiri lebih senang menganggap hidup ini sebuah petualangan (life is the adventure). Dengan itu, saya mempersiapkan diri untuk menikmati setiap episodenya sebagai bagian dari petualangan yang tidak akan berhenti sebelum kita dipanggil olehNya. Saya menyadari medan kehidupan yang akan saya lalui dalam petualangan hidup ini tidak selalu mudah, bahkan cenderung penuh tantangan. Namun saya tidak akan berhenti atau menyerah di tengah jalan. Barangkali sesekali saya akan berkemah di suatu tempat yang indah untuk sejenak melepas lelah dan menikmati keindahan alam sekitar. Namun,  kehidupan akan memberi tanda saat seharusnya saya kembali melanjutkan perjalanan.

Saya tahu tujuan akhir petualangan hidup ini adalah kembali ke haribaanNya dengan ridho dan diridhoiNya seperti disebut dalam QS. Al Balad (90); 27-28, “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoiNya.” Untuk bisa kembali dengan hati yang ridho, tentunya kita harus menjalani hidup ini dengan ridho apapun episode yang sedang kita jalani. Agama memberi petunjuk dengan dua sikap: bersyukur ketika mendapat nikmat, dan bersabar ketika mendapat musibah. Petunjuk yang singkat sangat singkat meskipun akan sangat panjang pembahasannya.

Namun, kehidupan juga mengajarkan bahwa keduanya akan dipertukarkan di sepanjang perjalanan. Tidak ada yang menetap abadi salah satunya. Jadi, ini menguatkan kita untuk penuh harap saat ditimpa musibah, dan tidak berlebihan  bersuka cita saat mendapat karunia. What a lovely life.

Duhai Allah yang Maha Kasih, ajarkan hambaMu ini untuk mencintaiMu di atas segalanya, dan mencintai segalanya hanya karenaMu… Aamiin.

Wallahu’alam

Kamis, 14 Februari 2013

Kasih Sayang yang Sesungguhnya

Kemarin, tanggal 14 Februari, anak-anak murid saya meminta diskusi tentang valentine day.  Meski sekolah sudah melarang perayaan ini, tapi rasa ingin tahu anak tak bisa dibendung. Akhirnya  saya bilang, “mari kita diskusi tentang kasih sayang saja, bukan valentine day”. Maka mengalirlah jawaban riuh rendah siswa ketika saya tanya apa makna kasih sayang menurut kalian.  Sebagian mengatakan cinta kepada lawan jenis, ada yang mengatakan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, atau sebaliknya cinta anak-anak kepada orang tua.

Dalam keriuhan itu tiba-tiba salah seorang murid laki-laki saya bertanya: “bu, bagaimana caranya mengungkapkan perasaan pada orang yang kita sukai?”. Kontan saja pertanyaan itu mengundah komentar riuh rendah teman-temannya. Sayapun terhenyak dengan pertanyaan polos dan berani itu. Remaja tanggung usia 15-an itu nampak tersipu ketika teman-temannya akhirnya ramai-ramai menggodanya. Saya berusaha menenangkan suasana kelas dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu sebenarnya mewakili sebagian besar kegalauan remaja, jadi mari kita diskusikan.

Saya kembalikan pertanyaan tersebut kepada siswa, “bagaimana caranya mengungkapkan perasaan pada orang yang kita sukai?”. Sebagian besar murid saya klas X  yang kisaran usianya 15 tahunan itu hanya tersenyum malu-malu. Di mata saya mereka masih terlihat polos kekanakan. Yah mereka adalah remaja awal. Namun justru pada usia-usia ini banyak hal masih bisa diluruskan dengan lebih mudah. Pada usia remaja lebih tinggi, mereka tak kan mudah menerima begitu saja suatu penjelasan.  Menyadari itu, saya takkan menyia-nyiakan kesempatan ini, mereka membuka peluang diskusi jadi ini momen yang tepat untuk berbicara dengan mereka.

Akhirnya saya katakan bahwa fitrah kita sebagai manusia adalah memiliki rasa cinta kepada lawan jenis. Begitulah memang Allah menciptakan manusia agar manusia berkembang biak. Jadi rasa cinta kepada lawan jenis adalah perasaan normal yang dialami semua manusia normal. Tak bisa dielakkan tak bisa dihindari. Perkembangan biologis dan psikologis memungkinkan rasa cinta kepada lawan jenis berkembang di usia remaja seperti kalian. Anak-anak nampak tekun menyimak kata-kata saya.  Pertanyaan salah seorang teman kalian itu sebenarnya bisa diawali dengan pertanyaaan, “apakah rasa cinta kepada lawan jenis harus diungkapkan ?” Saya tidak menunggu jawaban murid-murid saya, kerena dilihat dari pandangan mata, mereka masih menunggu kata-kata saya.

Saya lanjutkan kata-kata saya, bahwa tidak salahnya rasa cinta itu diungkapkan. Yang menjadi salah adalah ketika gayung bersambut, dan hubungan cinta antara dua lawan jenis itu membutakan mata sehingga mengganggu kegiatan utama di sekolah yaitu belajar atau bahkan melakukan hal-hal yang dilarang agama. Saya perhatikan mereka masih menyimak.  Jadi ungkapkan saja misalnya, “saya suka kamu, karena kamu baik, atau “saya suka kamu, karena kamu manis, dan karena kita masih sangat muda maka kita bersahabat saja. Insya Allah di saat yang tepat,jika memang kita berjodoh maka Allah akan mempersatukan kita.” 

Jika kita benar-benar mencintai seseorang maka kita pasti mengharapkan  yang terbaik dari orang yang kita cintai. Bukan malah merusaknya, mengganggunya, membuat prestasi belajar merosot, dan seterusnya. Ingat ya, jika memang benar orang itu mencintai kalian seharusnya rasa cinta membaikkan diri. Jika sebaliknya maka itu pasti bukan cinta.

Begitulah, namun dalam hati saya masih bertanya-tanya, khawatir kata-kata saya berpengaruh buruk terhadap siswa.

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...