Seorang teman mengomentari blog
saya ini sebagai yang menyajikan berbagai permasalahan riil kehidupan, mulai
masalah remaja, sekolah, suami istri dan lain-lain. Teman saya yang boleh
dibilang tak pernah terpuaskan dahaga keilmuannya dan terus mempertanyakan tentang
makna hidup itu juga mengajukan pertanyaan untuk dikomentari di blok ini tentang
berbagai teori kehidupan. Apakah psikologi, filsafat, atau agamakah teori hidup
yang tepat untuk diterapkan. Dia sendiri memilih agama, meski agama juga multi
tafsir.
Filsafat dan psikologi memberi kita
pengetahuan tentang berbagai hal dalam hidup ini. Psikologi sendiri, ilmu yang
sedikit banyak, pernah saya pelajari, memberi tahu kita tentang gejala-gejala
jiwa. Dari itu kita memiliki pengetahuan
agar bisa mensikapi dengan tepat gejala jiwa yang muncul. Demikian juga
filsafat, saya kira. Namun demikian sebagai teori yang dihasilkan dari
generalisasi suatu sikap yang teramati, psikologi dan filsafat pasti tidak
selalu tepat penerapannya. Hal itu karena sebesungguhnya setiap jiwa adalah
unik. Agama bukan teori, tapi panduan
langsung dari Tuhan untuk menuntun hidup manusia agar selamat dunia dan akhirat.
Meski penafsiran tentang petunjuk agama seringkali berbeda-beda, namun petunjuk
agama menurut saya lebih bersifat universal. Universalitas agama meliputi ruang
dan waktu.
Tentu saja, saya sendiri tidak
hendak mengkonfrontir berbagai teori hidup dengan agama. Karena, dalam hal
tertentu, teori hidup dapat memperkaya petunjuk agama sehingga upaya kita mensikapi
berbagai permasalahan hidup menjadi lebih kaya. Sebagai misal, jika psikologi
mempelajari gejala-gejala jiwa, maka agama memberikan petunjuk tentang hakikat
jiwa. Jadi, hakikat jiwa bisa lebih mudah dipahami melalui gejala-gejala jiwa.
******
Namun demikian di atas segala
teori itu, hidup terus berjalan dengan atau tanpa berbagai teori hidup maupun
petunjuk agama. Bahkan seringkali berjalan tidak linier sesuai yang
direncanakan dan diharapkan. Gejolak kehidupan menuntut kita tidak sekedar
berteori namun menemukan teori/teknik sendiri dalam mengatasi gejolaknya.
Kehidupan tidak seperti sekolah formal yang akan diuji setelah kita belajar. Namun
seringkali keduanya seiring sejalan bahkan berjalan terbalik, dari ujian maka
kita belajar.
Saya sendiri lebih senang
menganggap hidup ini sebuah petualangan (life is the adventure). Dengan
itu, saya mempersiapkan diri untuk menikmati setiap episodenya sebagai bagian
dari petualangan yang tidak akan berhenti sebelum kita dipanggil olehNya. Saya
menyadari medan kehidupan yang akan saya lalui dalam petualangan hidup ini
tidak selalu mudah, bahkan cenderung penuh tantangan. Namun saya tidak akan
berhenti atau menyerah di tengah jalan. Barangkali sesekali saya akan berkemah
di suatu tempat yang indah untuk sejenak melepas lelah dan menikmati keindahan
alam sekitar. Namun, kehidupan akan memberi
tanda saat seharusnya saya kembali melanjutkan perjalanan.
Saya tahu tujuan akhir
petualangan hidup ini adalah kembali ke haribaanNya dengan ridho dan
diridhoiNya seperti disebut dalam QS. Al Balad (90); 27-28, “wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoiNya.”
Untuk bisa kembali dengan hati yang ridho, tentunya kita harus menjalani hidup
ini dengan ridho apapun episode yang sedang kita jalani. Agama memberi petunjuk
dengan dua sikap: bersyukur ketika mendapat nikmat, dan bersabar ketika
mendapat musibah. Petunjuk yang singkat sangat singkat meskipun akan sangat
panjang pembahasannya.
Namun, kehidupan juga mengajarkan
bahwa keduanya akan dipertukarkan di sepanjang perjalanan. Tidak ada yang
menetap abadi salah satunya. Jadi, ini menguatkan kita untuk penuh harap saat
ditimpa musibah, dan tidak berlebihan bersuka cita saat mendapat karunia. What a
lovely life.
Duhai Allah yang Maha Kasih,
ajarkan hambaMu ini untuk mencintaiMu di atas segalanya, dan mencintai
segalanya hanya karenaMu… Aamiin.
Wallahu’alam