Senin, 27 Februari 2012

Konsep Diri

Sebagai guru dan orang tua kita sering menemui ada anak yang minder disamping anak-anak lain yang percaya diri. Rasa minder atau percaya diri seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep diri seseorang. Tulisan ini mencoba mengupas apa konsep diri dan bagaimana konsep diri terbentuk.

Konsep diri adalah persepsi/pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan. Persepsi/pandangan diri tersebut diperoleh dari hasil pengalaman diri yang dihayati oleh diri orang tersebut dengan penuh kesadaran. Pengalaman tersebut membentuk keyakinan diri mengenai apa yang diharapkan orang lain (significant others) terhadap dirinya. Oleh karenanya konsep diri sangat penting peranannya dalam perkembangan setiap individu khususnya remaja.


Fitts (1971), mendefinisikan konsep diri sebagai suatu konstruk sentral untuk memahami manusia. Konsep diri menurut Fitts bersifat fenomenologis, dalam arti aspek penting yang memegang peranan adalah dirinya sendiri, yaitu diri sebagaimana diamati (observed), dipersepsikan, dialami, dihayati dan dinilai oleh diri orang tersebut sendiri.

Konsep diri seseorang terbentuk dan dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.Pemahaman kita terhadap dua dimensi tersebut sedikit banyak memudahkan kita dalam memahami bagaimana seseorang dapat memiliki konsep diri yang positif atau negatif. Dimensi internal konsep diri sebagaimana dikemukakan Fitts (1971)terdiri-dari:

a. Identity Self

Identity self (diri identitas), merupakan aspek yang paling mendasar dari konsep diri. Dari aspek ini, simbol-simbol atau label-label yang digunakan pada diri seseorang akan membentuk identitas dirinya. Simbol atau label ini akan berbeda-beda pada tingkatan usia seseorang. Pada saat masih anak-anak maupun menjelang remaja simbol-simbol yang digunakan masih sederhana. Misalnya, anak melabelkan dirinya sebagai anak pandai, anak nakal, anak penakut dan sebagainya. Dari simbol atau label yang dikenakannya tersebut, seseorang akan bertindak menyesuaikan dengan label yang melekat pada dirinya.

Simbol atau label tersebut dapat diperoleh dari dalam dirinya dan dari luar dirinya. Semakin meningkat usia seseorang, semakin luas pergaulan dan ’dunia’ yang dikenal dan dialami seseorang maka semakin bertambah simbol-simbol yang dikenakan pada dirinya. Dengan demikian, semakin bertambah pula pengenalan terhadap diri identitasnya.

Memahami bagaimana simbol/label yang diterima anak akan melekat dan membentuk konsep diri si anak, maka penting bagi orang tua dan guru untuk memastikan bahwa si anak mendapatkan label-label yang positif dari lingkungannya. Bagaimanapun kekurangan dimiliki anak, penting bagi guru/orang tua menemukan sisi positif dari setiap anak.

b. Behavioral Self (diri pelaku)

Behavioral self (diri pelaku) merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah lakunya sendiri apakah akan dipertahankan atau tidak. Ada hubungan timbal balik antara identity self dengan behavior self (diri pelaku). Dalam arti, apabila seseorang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu maka dia harus berbuat sesuatu, dan untuk dapat berbuat sesuatu seseorang harus menjadi sesuatu.

Perilaku seseorang akan dipertahankan atau tidak cenderung tergantung pada konsekuensi yang diperoleh dari perilakunya tersebut. Misalnya, ketika seseorang berkeinginan mendapat prestasi bagus di sekolah, dan dia berperilaku agar mendapatkannya dan pada akhirnya dia berhasil mendapatkannya, maka perilaku tersebut akan dipertahankannya. Keberhasilan dan kesadaran akan kemampuannya mendapat prestasi bagus akan menjadi label baru bagi identitas dirinya.

c. Judging Self (diri penilai)
Diri penilai (judging self) adalah bagian dari dalam diri yang berfungsi sebagai penilai, pengamat, pengatur dan pembanding bagi diri sendiri. Diri penilai menunjukkan kapasitas manusia untuk menyadari dirinya sendiri. Judging self juga merupakan mediator antara identity self dan behavioral self. Dalam hal ini judging self akan memperhatikan dan membuat penilaian terhadap identity self dan behavioral self.

2. Dimensi Eksternal
Dimensi internal konsep diri meliputi lima komponen yaitu: physical self, moral ethic self, personal self, familial self, social self. Seperti halnya dimensi internal, kelima komponen dalam dimensi aksternal tersebut masing-masing saling berkaitan satu sama lain dalam membentuk keseluruhan konsep diri. Dimensi eksternal akan dikupas lebih lanjut.

Demikian semoga bermanfaat

Minggu, 26 Februari 2012

Penilaian Pendidikan Karakter

Setiap proses pendidikan memerlukan penilaian untuk mengetahui sejauhmana ketercapaian kompetensi yang diharapkan. Demikian juga dalam pendidikan karakter, perlu dilakukan penilaian untuk mengetahui sejauhmana nilai karakter yang dikembangkan dicapai oleh siswa. Penilaian pendidikan karakter di sekolah pada dasarnya adalah penilaian afektif untuk menilai respon emosi siswa pada mata pelajaran tertentu maupun kegiatan pembiasan diri.

Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah kognitif dan psikomotorik memerlukan data baik data kuantitatif maupun kualitatif sehingga hasil penilaiannya dapat dipercaya. Data kuantatif dan kualitatif dapat diperoleh melalui pengukuran atau pengamatan. Untuk itu guru perlu mengembangkan instrument penilaian afektif maupun pedoman pengamatan. Dalam hal ini pengembangan instrument penilaian afektif mengacu pada domain afektif yang dikenal di dunia pendididikan.

Jika dalam ranah kognitif dikenal domain kognitif Bloom atau dikenal dengan taksonomi Bloom, maka dalam ranah afektif dikenal domain afektif Krathwohl. Krathwohl, Bloom, & Masia, 1964 (dalam Santrock, 2004), mengemukan lima domain karakteristik afektif yang dikenal dengan taksonomi domain afektif Krathwohl. Dinamakan taksonomi karena kelima tingkatan domain tersebut menggambarkan suatu tahapan (sequence). Prinsip dari domain afektif Krathwohl adalah internalisasi nilai-nilai pada diri siswa mulai dari tingkatan umum sampai pada tingkatan tertinggi yaitu terinternalisasinya nilai afektif pada diri siswa. Taksonomi domain afektif Krathwohl adalah:
1. Receiving, pada tahap ini siswa mau menerima nilai-nilai yang disampaikan dan mau menggabungkan diri pada nilai-nilai tersebut.
2. Responding, dalam tahap ini siswa termotivasi untuk belajar tentang nilai-nilai baru yang diterima dan menampilkan perilaku baru sebagai hasil dari pembelajaran tersebut.
3. Valuing, dalam tahap ini siswa telah bersedia berkomitmen terhadap nilai-nilai yang dia terima atau menganggap penting nilai baru tersebut.
4. Organizing, dalam tahap ini siswa telah mengintegrasikan nilai baru tersebut dan menempatkannya sebagai prioritas.
5. Value Characterizing, dalam tahap siswa telah menginternalisasi nilai baru yang diterima ke dalam diri.

Domain afektif tersebut dapat menjadi panduan guru/sekolah dalam membuat instrument penilaian afektif/penilaian karakter.

Selain menggunakan instrument, penilaian karakter dapat dilakukan dengan pengamatan. Untuk ini guru menyiapkan lembar pengamatan yang berisi sikap-sikap tertentu yang dimunculkan siswa selama pembelajaran. Guru bisa mendeskripsikan salah satu nilai karakter tertentu yang akan diamati ke dalam beberapa indikator sikap yang dapat diamati.

Demikian, semoga bermanfaat.

Referensi

Balitbang., Pusat Kurikulum., (2010). Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas.

Mardapi., Djemari., (2011). Pendidikan Karakter, dalam Perspektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY Press.

Irawati., Intan & Manisih., Susiana., (2011). Implementation of Moving Class System on The Establishment of Student’s Character. Conference Proceeding: The International Conference on Psychology of Resilience. Jakarta: Universitas Indonesia.

Santrock., John.W., (2004). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Pendidikan Karakter

Meskipun pendidikan karakter seolah menjadi isu terkini dalam dunia pendidikan, tapi sebenarnya bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Pendidikan karakter ini sebelumnya dikenal sebagai pendidikan dalam ranah afektif, atau pendidikan nilai. Apapun namanya, pendidikan karakter di sekolah/madrasah memang wajib dilaksanakan. Kasus maraknya tawuran antar pelajar, praktek-praktek bullying di sekolah, dan berbagai perilaku siswa yang seolah bebas nilai menjadi alasan mengapa pendidikan karakter di sekolah/madrasah kembali digaungkan. Namun demikian, apa dan bagaimana pendidikan karakter harus diterapkan di sekolah/madrasah masih menimbulkan perbedaan di kalangan guru maupun sekolah/madrasah. Tulisan ini bertujuan untuk menyemarakkan wacana pendidikan karakter di sekolah/madrasah.

Karakter

Karakter adalah seperangkat trait yang menentukan sosok seseorang sebagai individu (Kurtus, 2010, dalam Mardapi, 2011). Karakter menentukan apakah seorang dalam mencapai keinginan-keinginannya menggunakan cara yang benar menurut lingkungannya dan mematuhi hukum dan aturan kelompok. Jadi, ‘karakter merupakan sifat dan watak seseorang yang bisa baik dan bisa tidak baik berdasarkan penilaian lingkungannya (Mardapi, 2011).

Karakter berkaitan dengan trait personalitas seseorang, namun berbeda dengan trait yang merupakan sifat bawaan, karakter adalah sifat individu yang diperoleh dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Pengembangan karakter hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Namun demikian, karena setiap individu hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Karakter berkaitan dengan penilaian oleh lingkungan, karakter tidak sekedar sifat baik semata, namun sifat baik yang diterima oleh lingkungan. Sebagai contoh seseorang yang dikenal baik dan santun, namun seringkali ragu dan tidak tegas dalam menentukan sikap, akan sulit diterima oleh lingkungan. Orang seperti ini dinilai kurang berkarakter.

Nilai-nilai karakter di sekolah/madrasah sebanyak 18 nilai karakter. (Kemdiknas, 2010). Masing-masing sekolah/madrasah disarankan untuk memilih nilai-nilai karakter tertentu yang diutamakan dan secara bertahap seluruh nilai karakter dapat dididikkan.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Sekolah/Madrasah sebagai lingkungan sosial siswa menjadi sarana efektif pengembangan karakter siswa. Apa yang dilakukan, dilihat, dan didengar siswa di sekolah lambat laun akan membentuk karakter individu siswa. Proses pengembangan karakter di sekolah dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan baik dalam pembelajaran maupun pembiasaan diri. Dalam kegiatan pembelajaran, pendidikan karakter tidak perlu dijadikan mata pelajaran tersendiri namun diinternalisasikan dalam setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran sebenarnya mengandung nilai-nilai afektif tertentu yang sesuai dengan jenis mata pelajaran. Pembelajaran sains/ilmu-ilmu alam selain menuntut kompetensi kognitif juga memerlukan kompetensi afektif seperti rasa ingin tahu, menghargai prestasi dan cinta alam. Sedangkan dalam pembelajaran ilmu social, nilai karakter yang dapat dikembangkan diantaranya cinta tanah air, toleransi, demokratis, komunikatif, dan sebagainya. Demikian juga dalam pembelajaran bahasa, seni budaya dan agama sarat dengan nilai-nilai karakter yang bisa dikembangkan.

Dalam rangka proses internalisasi nilai karakter dalam mata pelajaran, guru perlu membuat analisis nilai karakter yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan diusung dalam pembelajaran. Nilai karakter yang dipilih tersebut, selanjutnya diterjemahkan dalam silabus dan RPP sehingga dapat dioperasionalkan dalam kegiatan belajar mengajar. Sebagai contoh, guru mengembangkan nilai karakter ‘toleransi’ melalui metode pembelajaran diskusi. Selain itu, pemilihan system belajar tertentu melalui kelas menetap atau kelas berpindah (moving class) juga berpengaruh terhadap pengembangan karakter siswa (Irawati dan Manisih, 2011).

Pengembangan karakter di satuan pendidikan juga dapat dilakukan melalui program pembiasaan diri baik melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan lain yang terprogram. Kebiasan shalat dhuha dan tadarus yang dilaksanakan di madrasah dapat membentuk nilai karaktek religius siswa.

Kamis, 09 Februari 2012

Flores NTT (part 3); Labuhan Bajo

Selesai kegiatanku di Bajawa bukan berarti aku bisa langsung pulang ke Jakarta. Berbagai rute dapat dipilih untuk kita kembali ke Jakarta. Rute pertama melalui bandara Ende (1jam dai Bajawa) menuju Kupang baru ke Jakarta. Rute ke dua dari Bandara Bajawa ke Kupang lanjut Jakarta, rute ke tiga lewat Labuhan Bajo-Bali- Jakarta. Kantor di Jakarta mengatur jadwal kepulanganku ke Jakarta kembali melalui Labuhan Bajo. Jadilah aku kembali menempuh perjalanan darat selama 8 jam dari Bajawa menuju Labuhan Bajo. Jadwal pesawatku dari Labnuhan Bajo ke Bali jam 9 pagi, sehingga aku harus transit semalam di Labuhan Bajo.

Sesampai Labuhan Bajo sudah lewat Maghrib. Aku langsung menuju hotel yang direkomendasikan oleh temen yang pernah kesana. Hotel sederhana, bersih dan rapi di pinggir pantai Labuhan Bajo.

Paginya setelah shalat subuh aku jalan-jalan ke pantai. Waktu itu hari Jum'at, sehingga aku lihat kapal-kapal nelayan berjejer di pantai tidak melaut. Setelah aku tanya salah seorang nelayan pemilik kapal, katanya tiap hari Jum'at semua nelayan yang mayoritas berasal dari Bugis libur melaut karena tidak mau melewatkan sholat Jum'at. Iseng-iseng aku tanya kesediaan si bapak nelayan apa bisa kapalnya disewa untuk keliling ke pulau-pulau terdekat Labuhan Bajo. Alhamdulillah si bapak setuju, dan dengan biaya cuma Rp. 50.000,00, aku berkeliling dengan kapal nelayan ke pulau-pulau sekitar Labohan Bajo.


Subhanallah pemandangan pantai pasir putihnya sangat indah. Pulau-pulau kecil itu sudah banyak yang disewakan untuk resort-resort dengan fasilitas wisata yang memadai.


Sayang waktuku terbatas. Jika cukup longgar, kita bisa menyeberang ke Pulau komodo sekitar 4 jam perjalanan dengan kapal dari Labuhan Bajo.

Alhamdulillah, perjalanan yang menyenangkan. Semoga lain kali bisa ke pulau Komodo yang terkenal itu.

Salam

Flores NTT (part 2); Bajawa

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan pernah menginjakkan kaki di kota ini. Bajawa, yah, bahkan nama kotanyapun baru aku dengar setelah mendapat tugas berkunjung kesana.

Selesai kegiatanku selama dua hari di Manggarai, aku melanjutkan perjalanan ke kota Bajawa Flores. Kota ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam dari Manggarai. Kondisi jalan masih sama, bagus dan lancar. Berkelok-kelok melalui pegunungan Flores. Memasuki gerbang kota Bajawa yang terekam dalam benakku adalah ini kota yang dipenuhi rumpun bambu. Di kanan kiri jalanan dipenuhi rumpun bambu. Aku kembali membayangkan suasana kota-kota zaman dulu di Jepang yang aku baca dari novel-novel sejarah Jepang.

Gerbang Kota

Bajawa lebih dingin dibandingkan Manggarai. Alhamdulillah fasilitas hotel yang aku tempat fasilitasnya agak lumayan ada air panas dan ber AC meski selalu aku matikan karena sudah sangat dingin. Ini kota kecil, bahkan menurutku sangat kecil, bisa disusuri seluruh penjuru kota dalam tempo 15 menit dengan naik ojek. Lagi-lagi perdagangan dihidupkan oleh pendatang dari Jawa, Padang dan Sulawesi. Agak terkesima ketika memasuki warung Padang, penjualnya satu keluarga berdialog dengan bahasa Padang di Bajawa Flores, jadi serasa di Bukit Tinggi. Bagi muslim, di pusat kota dekat pasar berdiri satu-satunya masjid di kota ini.
Masjid

Di Bajawa terdapat kampung adat Bena. Kampung adat terletak sekitar 25km dari kota Bajawa. Karena penasaran, pagi-pagi diantar ojek aku sempatkan mengunjungi kampung adat Bena. Perjalanan selama 1 jam dengan motor lumayan jauh, namun terbayar dengan pemandangan langka kampung adat Bena. Kampung ini terletak di ketinggian, terdiri dari belasan rumah adat yang masih terjaga keasliannya. Rumah-rumah berjajar menghapap ke halaman yang ternyata adalah kuburan adat sejak ratusan tahun silam. Situs megalitikum, ditandai dengan batu-batu yang ditancapkan di atas kuburan.


kampung Adat Bena

Pekerjaan penduduk kampung adat ini adalah menenun kain Flores dan bercocok tanam. Selain itu, anak-anak mereka juga boleh bersekolah.

Batu Kubur

Bagi penduduk asli Bajawa yang mayoritas beragama katolik, kepercayaan terhadap adat dan nenek moyang masih sangat kuat. Menurut cerita tokoh setempat, dari sisi negatif ini salah satu yang membuat perekonomian masyarakat kurang berkembang. Karena hukum adat lebih dipercaya dibanding hukum formal baik perdata maupun pidana. Sehingga pihak luar yang ingin berinvestasi di daerah ini masih ragu.

Bersambung..

Flores NTT (part 1); Manggarai

Flores dan wilayah NTT dalam bayanganku adalah wilayah panas, kering, tandus dan gersang. Namun image itu buyar seketika ketika aku mendarat di Labuhan Bajo awal Januari 2010. Pulau Flores yang membentang dari Labuhan Bajo hingga Ende adalah daerah pegunungan yang subur, indah dan dingin.

Flores dapat ditempuh dengan pesawat berkapasitas sekita 60 penumpang dari bandara Bali selama kurang lebih 45 menit. Tujuanku kali ini adalah ke kabupaten Manggarai dan Bejawa. Perjalanan darat aku tempuh dari Labuhan Bajo menuju Manggarai sekitar 5 jam. Jalanan cukup bagus, mulus berkelok-kelok membelah pegunungan Flores yang subur. Berdasarkan info dari teman yang pernah kesana, daerah ini relatif aman. Bahkan kalaupun harus melalui perjalanan dengan mobil rental berdua dengan sopir yang asli orang NTT. Jadi cukup tenanglah.

Manggarai dan juga model kota-kota lain di Flores adalah kota yang menempati daratan di dataran tinggi. Setelah perjalanan berkelok dan mendaki diluar dugaan tiba-tiba dibalik itu kita akan menemui sebuah perkampungan atau kota. Bayanganku seperti kota-kota dalam cerita Mushashi dan novel-novel Jepang jaman dahulu lainnya. Manggarai adalah kota yang berhawa dingin lebih dingin dari Puncak atau Bandung. Bahkan hotel yang aku tempati tak ber AC pun sudah sangat dingin. Saking dinginnya, sebagai pembicara dalam workshop pengembangan sekolah terpadu, aku baru berani mandi setelah sesi break pagi (tapi gak bilang-bilang peserta..hehehe). Manggarai kota yang indah. Tanaman padi juga tumbuh subur di petak-petak sawah yang terbentang. Bahkan disebut sebagai salah satu lumbung padi di NTT.

Kota ini "dihidupkan" oleh pendatang dari Jawa dan Padang yang bergerak di sektor perdagangan. Untuk muslim, kita harus berhati-hati dalam memilih makanan. Karena kota Manggarai dan kota-kota lain di Flores mayoritas beragama katolik sehingga makanan yang disajikan belum terjamin kehalalannya. Untuk itu aku memilih makan di warong Padang saja selama di sana. Warga asli Mangggarai sudah jarang yang menempati rumah adat Manggarai. Hanya beberapa rumah adat yang masih eksis di pinggiran kota Manggarai.

Di Manggarai juga terdapat goa (situs liang hoa) yang sempet terkenal sebagai salah satu tempat asal muasal manusia kerdil. Goa ini terletak di pinggiran kota Manggarai, dan mulai banyak dikunjungi wisatawan.

Bersambung..

Belitong

Belitong, adalah nama daerah yang akhir-akhir ini mendadak terkenal seiring dengan best sellernya novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini menggambarkan dengan jelas suasana kota-kota di Belitong yang menjadi setting cerita. Maka, ketika mendapat tawaran untuk bertugas ke Belitong tanpa berfikir lagi langsung aku iyakan. Maka awal Desember 2011, mendaratlah aku di Belitong dengan suka cita.

Meski tujuan ke Belitong untuk urusan pekerjaan, aku sudah menjadwalkan di sela-sela kegiatanku untuk mengunjungi tempat-tempat yang diceritakan dalam novel Laskar Pelangi. Kebetulan beberapa sekolah yang aku kunjungi berada di wilayah Belitong Timor yang beribukota di Manggar (kota seribu warung kopi). Setelah selesai urusan pekerjaan, tujuan pertama saya adalah mengunjungi SD Laskar Pelangi.

SD Laskar Pelangi ini adalah replika SD Muhamadiyah Gantong yang diceritakan di novel. SD aslinya sendiri sudah tidak ada dan beralih fungsi. Memasuki sekolah ini terbayang Ikal, Mahar, Lintang dkk dan tentu saja bu Muslimah sang guru fenomenal. Subhanallah, bukan fasilitas yang mebuat siswa berprestasi, namun seorang guru yang dapat menginpirasi siswa.

Setelah ke SD Laskar Pelangi, tujuan selanjutnya adalah pantai Tanjung Tinggi salah satu pantai dengan panorama batu-batu koral yang sangat indah. Pantai ini juga diceritakan dan difilmkan dalam adegan ketika bu Mus memanggil murid-muridnya dengan panggilan laskar pelangi.

Datang di Manggar tidak afdol jika kita tidak menyempatkan diri mampir ke salah satu warung kopi disana. Bahkan salah satu novel Andrea Hirata berjudul "Cinta dalam Secangkir Kopi" khusus menceritakan aktivitas di warong kopi di Manggar ini. Keunikan kopi di warkop Manggar adalah cara pembuatannya. Kopi direbus dalam ketel khusus lalu setelah mendidih dituang ke dalam gelas-gelas. Penikmat bisa menambahkan gula atau susu, sesuai selera. Dengan segelas kopi seharga Rp. 3.000,00 ini kita boleh berjam-jam duduk di warkop ngobrol sepuasnya. Benar, orang-orang dari berbagai etnis, kelas sosial, dan kebanyakan laki-laki tak sepi memenuhi warkop-warkop di kota Manggar.

Kebetulan salah satu sekolah yang aku kunjungi adalah SDN Manggar yang dulunya adalah SD PN Timah yang setelah PN Timah bubar lalu dinegerikan. Untuk ukuran SD sekarang sekolah itu biasa-biasa saja. Namun, pada saat cerita Laskar Pelangi berlangsung, SD ini menjadi SD paling bagus.

Untuk makanan, hidangan laut paling top di Belitong. Aku lupa nama ikannya. Selain itu mie Belitong yang segar juga dapat menjadi menu pilihan.

Sayangnya aku belum berkesempatan menyebarang ke pulo Lengkuas yang terkenal dengan mercu suar dan keindahan alam bawah lautnya. Semoga suatu saat bisa ke sana lagi. Aamiin.

Papua

Pagi yang cerah jam 07.00 WIT, ketika pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Sentani Jayapura setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 7 jam dari Jakarta. Inilah enaknya penerbangan malam, jadi tidak begitu berasa capeknya.
Ini adalah perjalananku yang pertama kalinya ke tanah Papua. Berbagai informasi tentang Papua sudah aku cari sebelumnya. Termasuk antisipasi nyamuk malaria yang masih menjadi endemi disana.

Memasuki bandara, suasana cukup ramai di terminal kedatangan. Rupanya, transportasi udara menjadi andalan di daerah ini. Masyarakat bepergian ke kabupaten-kabupaten menggunakan pesawat-pesawat kecil. Menggunakan mobil rental, kami meninggalkan bandara ke kota jayapura. Perjalanan dari bandara ke Jayapura memakan waktu sekitar 1 jam. Jalanan cukup bagus, mulus dan lebar mengitari danau Sentani yang luasnya hampir seluas kota Sentani. Sepanjang jalan terpampang keindahan danau Sentani di satu sisi jalan dan di sisi lain pegunungan.

Sesampai di hotel kami mandi dan langsung berangkat ke salah satu SD di daerah pesisir Jayapura. Daerah Pesisir adalah desa-desa yang berada di pinggir laut dan teluk yang mengelilingi Jayapura. Perjalanan ke wilayah tersebut lebih cepat jika menggunakan kapal. Namun pagi itu, karena masih suasana libur natal, maka perjalanan dilalui dengan berjalan kaki. Jadi dapat dibayangkan betapa pegelnya kaki ini setelah menggantung 7 jam di pesawat, sekarang harus melenggang sekitar 2 km untung jalanan menurun. Selesai urusan, kami tak sanggup lagi berjalan kaki, maka meski harus menunggu 2 jam tidak apa-apa untuk kembali dengan kapal.

Untuk hotel di Papua sudah terbilang mahal. Hotel yang kami tempati kualitas bintang 3 dengan harga per malam Rp 600.000,-. Jadi bagi yang baru pertama kali kesana perlu untuk mengecek dan membandingkan tarif hotel dan layanan yang diberikan. Sedangkan makanan, hidangan laut adalah pilihan terbaik. Selain pasti halal, kualitas ikan di sana bagus sehingga dimasak ala kadarnyapun sudah enak. Sesekali sempatkan mencicipi ubi Papau atau sagu sebagai pengganti nasi. Dua jenis makanan ini adalah favorit saya disana. Maknyus. Saya kira ide bagus untuk menjadikan ubi dan sagu makanan pokok. Sepertinya juga lebih sehat karena kadar serat tinggi dan kadar gula rendah.

Demikian sekilas cerita perjalanan ke tanah Papua. Sayangnya tidak sempet menikmati wisata bawah laut yang terkenal.

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...