Terhenyak, itulah
ekspresi pertamaku saat menerima empat buku kumpulan puisi yang dikirim oleh
seorang sahabat lama. Terhenyak, bukan saja karena buku kumpulan puisi ini
adalah buku puisi hasil karya sahabat itu, seseorang yang semangat hidupnya menginspirasi.
Namun, kesadaran betapa lama aku tak berinteraksi dengan dunia yang satu inilah
yang paling membuatku terhenyak. Beberapa tahun silam, masa remaja hingga
menjelang dewasa awal, dunia ini begitu kuakrabi. Tidak saja dengan menulis dan
membaca puisi namun juga terlibat dalam komunitas pecinta puisi. Meskipun,
semua itu tak pernah terpublikasi dan hanya tersimpan dalam lipatan sejarah
hidupku sendiri.
Seperti biasa saat
membaca buku baru, aku amati halaman sampul depan, layout cover, nama penulis
dan sebagainya. Disitu aku temukan nama Lies W, dan kawan-kawan. Ya, itulah
nama seorang sahabat lamaku, seniorku. Meskipun, interaksi dengannya tak pernah
intens, namun setiap saat ada kontak, mbak Lies, begitu aku memanggilnya, aku
merasakan kedekatan dan keakraban. Lengkapnya adalah Doktor Lies W, seorang
ahli bio pangan dan peneliti di Kementerian Ristek dan Teknologi jebolan salah
satu Universitas di Jepang. Wanita cerdas, mandiri dan bersahaja ini, hidupnya
seperti puisi. Penuh penghayatan, mengalir dalam irama yang tenang namun
menggelora. Itulah yang membuatku tak heran, hingga di tengah kesibukannya
menggeluti dunia ilmiah yang sarat otak kiri, dia masih sempat menulis puisi
yang sarat otak kanan. Sungguh keseimbangan yang tak mudah setiap orang
mencapainya.
Lalu kubuka halaman
demi halaman lembaran puisi tersebut. Menikmati setiap kata yang tertera hingga
mengimajinasiku ke dunia seperti apa yang hendak disampaikan penulisnya. Ya,
puisi bukan sekedar rangkaian kata indah. Namun, untaian kata yang sarat pesan.
Lahir dari perenungan mendalam tentang hakekat segala hal. Puisi adalah hidup
yang dihayati sepenuih jiwa. Kekayaan batin seseorang yang terangkai indah
lewat kata. Dia tidak akan lahir dalam dunia
tergesa tanpa jeda.
Itulah puisi yang telah
lama tak kuakrabi. Aku mengabaikan bukan karena tak suka. Namun, ada saat aku
merasa dunia itu tak nyata, cengeng, dan kurang bermanfaat. Hidup yang
sesungguhnya penuh tantangan dalam lika likunya. Tak terselesaikan dengan hanya
sebaris kata-kata yang bernama puisi. Namun, membaca kembali kumpulan puisi ini
membuatku menyadari bahwa hidup ini sarat makna. Buka sekedar rutinitas
kegiatan dari bangun pagi hingga tidur lagi. Setiap episodenya memperkaya batin
kita. Bukanlah sesuatu yang seharusnya dilalui dengan begitu-begitu saja.
Karena, “hidup yang tak dihayati, tak
layak untuk dijalani”.
Saat ngawas UAS di
lantai tiga ruang kelas MAN 14 Jakarta
4 Desember 2015