Senin, 30 Juli 2012

Safir Cinta


Saat memasuki rumah sore itu, mataku tertumpu pada paket bungkusan coklat di atas meja. Ini pasti kiriman buku dari bu Fara 'Safir Cinta". Betul sekali nama pengirimnya tertulis Faradina Izhdihary, sekaligus penulis buku yang dikirimkannya. Subhanalllah walhamdulillah, tak sabar aku segera membukanya. Dengan antusias, kuamati sampul buku depan, persis seperti yang bu Fa upload di group guru menulis. Secara fisik, penampilan novel 274 halaman ini cukup menarik. Lalu seperti biasa terhadap buku baru aku melakukan skimming: membaca cuplikan  cerita di halaman belakang,  komentar-komentar dari beberapa tokoh, memperhatikan penerbitnya, dan memulai membuka halaman pertama. Di halaman pertama..bu Fa menuliskan salam cintanya dengan kata-kata indah "cinta adalah kesediaan untuk berkorban". Kuputuskan untuk segera mandi dan berbenah agar aku segera bisa menelusuri kisah perjalanan di novel 'Safir Cinta" ini.

Pada awalnya, antusiasmeku terhadap buku ini lebih kepada penulisnya. Sebagai sesama guru, aku diam-diam takjub dengan produktifitas tulisan bu Fara. Dibalik kesibukan beliau mengajar, beberapa buku sudah terbit dari tangannya baik novel, kumpulan cerpen, puisi, dan beberapa karya ilmiah hasil penelitian. Bahkan bu Fara juga menjadi ghost writer untuk buku biografi. Rasa-rasanya, kegigihan bu Fa menghasilkan itu semua-pun sepertinya layak menjadi cerita novel. Novel 'safir cinta' di tanganku ini adalah novel keduanya.

Membaca adalah proses memahami isi fikiran penulisnya. Judul safir cinta yang dipilih penulis cukup mengundang tanya. Setahuku, safir adalah nama batu yang berwarna biru itu. Biru alias "blue" identik duka. Berarti barangkali  ini novel  tentang duka cinta atau cinta yang duka. Jika demikian, mesti siap-siap tissu atau handuk siapa tahu sambil membaca akan bercucuran air mata.

Membaca prolog dan halaman-halaman awal novel ini, terfikir bahwa kisah dalam novel diilhami oleh kisah nyata. Penulis telah mengambil langkah yang berani dalam memilih tema cinta yang kelam. Rasanya tak sanggup membayangkan jika semua itu  imajinasi semata penulisnya. Dari awal, kisah tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan begitu kelam. Tiga generasi nenek, ibu, dan anak mengalami ketragisan cinta dan hidup yang seolah temurun. Ketika membaca kisah tokoh si ibu, teringat kisah dalam buku "a man called Dave". Kisah yang sangat tragis dan menyedihkan saat si ibu menjadi pelampiasan kebejatan ayah tirinya. Naudzubillah.

Sebagai pembaca, emosiku teraduk-aduk dengan kisah pilu tokoh-tokoh di dalamnya. Di tengah perjalanan emosi tersebut, tiba-tiba penulis dengan lihainya mengejutkan pembaca dengan kisah pembunuhan yang tak terduga. Ini membuat kita pembaca  menjadi penasaran dan ingin tahu kisah selanjutnya. Tak hanya itu, mendekati akhir-akhir cerita, penulis menyajikan hal-hal tak terduga lainnya. Hal ini menyisakan tanda tanya yang barangkali akan terjawab dalam buku kedua 'safir cinta'.

Secara umum, kisah dalam novel ini terjalin apik, melodramatis, dan pasti pesannya sampai. Bahwa, meskipun kadang sepertinya hidup itu tidak bisa memilih, tetap manusia dapat berupaya mengubah jalan hidupnya. Keyakinan akan kasih sayang dan ampunan Allah-lah yang dapat menguatkan, sekelam apapun masa lalu itu.

Terima kasih bu Fa, karya-karya ibu sungguh  menginspirasi.

Selasa, 24 Juli 2012

Hati-Hati dan Gunakan Fikiran

Angin gurun bertiup kencang siang itu, meski gedung-gedung tinggi hampir tidak lagi menyisakan tanah lapang. Debu-debu beterbangan bersama hawa panas terik siang hari ba'da dhuhur. Aku melangkah menyusuri jalanan kota Makkah Al Mukaramah menuju Masjidil Haram. Alhamdulillah jarak pondokanku dengan Masjidil Haram lumayan dekat sekitar 300 meter, sehingga memudahkanku untuk jalan-jalan meski  sendirian. Saat itu waktu setempat menunjukkan pukul 13.30. Aku kembali ke masjid, setelah sempat pulang ke pondokan untuk makan siang ba'da sholat dhuhur. Langkahku bergegas, teringat janji yang telah diucapkan semalam; "Besok siang ba'da dhuhur sekitar jam 14.00, saya tunggu di tempat ini ya." Ujarnya. 


Sambil terus melangkah, aku mulai merangkai kata-kata. Kata-kata yang tepat untuk membatalkan rencana yang telah dia janjikan. Bagaimanapun ada sedikit terselip rasa takut seandainya harus mengikuti rencananya. Teman-teman di pondokan tidak ada satupun yang mau diajak. Di sisi lain, rasa ingin tahuku juga cukup kuat untuk mengikuti ajakannya. Rasa bimbang mengiringi langkahku. Teringat pertemuan kami tadi malam. 


Sepuluh hari terakhir setelah selesai ibadah wajib haji, aku berdua bu Imas, ustadzah teman sekamar berazzam untuk i'tikaf di Masjidil Haram. Tadi malam adalah malam ke tiga kami beri'tikaf di masjidil Haram. Waktu menunjukkan pukul 22.30 malam.  Angin malam bertiup sejuk. Masjidil Haram tak pernah sepi dari orang thawaf. Manusia berbagai warna, datang dari negeri-negeri yang jauh,  bersatu dalam munajat cinta Allah. Bahkan semakin malam semakin ramai. Bu Imas sudah tidur di karpet masjid di dekatku. Aku masih tilawah Al Quran sambil sesekali berhenti memandangi Ka'bah. Sungguh nikmat berada dalam suasana ini, suasana yang pada akhirnya selalu aku rindukan.

Tiba-tiba seseorang mendatangiku sambil berujar "Assalamu'alaikum ukhti". Wa'alaikum salam, jawabku sambil menyalaminya. Dilihat dari raut mukanya dan pakaian yang dikenakan, dia berasal dari Timur Tengah.  Tiba-tiba dia bertanya, "ukhti berasal dari Malaysia?". Ah, saya terkejut, dia bisa berbahasa Indonesia. Seperti mengerti kebingunganku, dia langsung memperkenalkan diri. "Nama saya Munawar (tulisannya Mounawar), dosen filsafat Islam di Univ. Mashad Iran." Saya bisa berbahasa Melayu, karena banyak mahasiswa saya berasal dari Indonesia dan Malaysia." Perempuan cerdas, batin saya.  Ketika aku bilang berasal dari Indonesia, dia rupanya juga cukup banyak tahu tentang Indonesia. Kebetulan saya juga lumayan banyak membaca buku-buku yang ditulis ulama Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Mutahhari, Ali Syariati (yang terakhir ini bahkan penulis favoritku). Akhirnya malam itupun kami lalui dengan obrolan hangat hingga tengah malam. Di ujung pembicaraan, dia mengundang saya untuk bertemu dan berkunjung ke pusat kebudayaan Iran di Makkah. Dan dia menjanjikan, besok siang ba'da dhuhur, ditunggu di tempat ini. Kamipun berpisah malam itu. Sungguh pertemuan yang tidak terduga.

Hampir jam 14.00, ketika aku sampai di tempat perjanjian. Dari jauh aku sudah melihat ibu Munawar (aku panggil dia Ibu, sapaan resmi dan formal, usianya sekitar 40an). Kamipun bersalaman. Belum sempat aku mengucapkan kata maaf hendak membatalkan undangannya, dia sudah mulai berujar. "Saya sudah menunggu hampir dua jam, dan saya sudah mendapat kepastian prof Zahra bersedia menemui ibu di pusat kebudayaan Iran". Saya sempat ragu apakah Anda jadi datang, tapi saya mendapat keyakinan Anda akan datang dari ayat yang saya baca yang mengabarkan Anda akan datang," ujarnya beruntun. Ah, lidahku kelu. Bagaimana ini, ibu Munawar sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengajakku. "Yah, mari kita berangkat ujarku mengiyakan.

Kamipun berdua melangkah keluar masjid. Sambil berjalan, aku berkata bahwa sebenarnya aku ingin membatalkan undangan ini karena kami jamaah perempuan dilarang bepergian sendiri selama di tanah suci. Dia berkata singkat, "hati-hati dan gunakan fikiran". "Tidak akan terjadi apa-apa, Insya Allah aman," ujarnya melanjutkan. Aku terkesima dengan tips and triknya. Ringkas dan bermakna. Pantas saja mereka berani. Dan kami berdua akhirnya mendapatkan taksi yang kebetulan sudah terisi dua orang teman perempuan bu Munawar. Jadilah kami berempat di taksi.

Sesampai di pusat kebudayaan Iran di Makah, kami berdua turun sementara kedua teman ibu Munawar melanjutkan perjalanan. Kami langsung menuju restoran yang berada di gedung itu. Tempat duduk perempuan di restoran itu terpisah dari laki-laki, tertutup tabir, sehingga antara pengunjung laki-laki dan perempuan tidak saling melihat. Meski kesannya agak aneh, karena bahkan di Masjidil Haram tempat laki-laki dan perempuan tidak dipisahkan tabir sehingga bisa saling melihat. Di restoran itu sudah menunggu prof. Zahra, doktor perbandingan agama di Univ. Teheran. Dia tidak bisa berbahasa melayu, jadi kami berbicang dengan bahasa Inggris. Selesai makan siang dengan menu nasi kebuli khas Iran, prof Zahra mengajak kami ke lantai dua ke ruang kerjanya. Kami melanjutkan perbincangan di situ. Apa saja mulai dari konsep syiah, bagaimana muslim di Iran dan pandangan-pandangan tentang Islam di dunia. 

Yang agak surprise, ternyata perempuan-perempuan Iran kenalanku ini terbiasa membuka jilbabnya di momen-momen dan ruangan khusus perempuan. Mereka mempersilahkan aku jika ingin membuka jilbab. Tapi bagiku ini agak ribet, harus membuka dan memakai lagi. Maka aku tetap berjilbab selama perbicangan di ruangan itu. Selama perbincangan prof. Zahra menghidangkan teh Iran yang disajikan dengan gula batu. Cara minumnya, gula batu digigit terlebih dahulu baru menghirup teh. Unik. Tak terasa, waktu sudah hampir ashar. Kamipun menyudahi pembicaraan. Ibu Munawar memberikan kenang-kenangan berupa kompas. Ah, pas bener kenang-kenangannya seperti menyiratkan pesan dengan kompas yang jelas serta sikap hati-hati dan berfikir, jangan takut kemana-mana. Aku, karena tidak mempersiapkan diri, memberikan buka "Wawasan Al Quran" karangan pak Quraish Shihab yang kebetulan ada di tasku. Kami bersama-sama kembali ke Masjidil Haram untuk menunaikan shalat Ashar dan berpisah di sana.

Ah, sungguh momen yang tidak terduga. Sepulang ke Pondokan, dan aku ceritakan pengalamanku hari ini, temen-temen pada berkata, "ah nyesel gak jadi ikut". "Yah, belum rejeki", kataku. Alhamdulillah, tidak ada yang sia-sia dan kebetulan dari setiap kejadian.



#Kisah saat menunaikan ibadah haji tahun2000#





Sabtu, 21 Juli 2012

Semarak Ramadhan Arcadia

Ada yang berbeda setiap bulan Ramadhan di komplek perumahanku Permata Arcadia. Komplek ini menjadi lebih semarak tidak saja karena mulai dari gerbang utama sudah terpampang baliho besar berisi kegiatan selama Ramadhan, namun sepanjang  boulevard  juga dipasang umbul-umbul selamat datang Ramadhan. Bahkan setiap rumah orang muslim dianjurkan untuk menghias rumah dengan lampu warna-warni dan hiasan-hiasan semarak Ramadhan. Nanti di akhir Ramadhan akan ada tim penilai hiasan rumah terbaik. Secara fisik semarak Ramadhan terlihat dari itu.

Secara spiritual, komplek ini (tepatnya warga muslim komplek ini) bergotong royong menyemarakkan Ramadhan dengan berbagai kegiatan. Mulai kegiatan untuk anak-anak, remaja, orang tua, semua ada. Mulai dari kegiatan ibadah, kajian keislaman, bakti sosial maupun pentas seni anak juga ada. Subhanallah.

Untuk kegiatan anak-anak, komplek ini mengusung kegiatan yang bernama "Akademi Ramadhan". Akademi Ramadhan diperuntukkan untuk anak-anak hingga usia kelas 5 SD. Bertempat di salah satu rumah warga yang cukup luas untuk menampung sekitar 80an anak, kegiatan ini dimulai sehabis maghrib hingga jam 9 malam. Mengambil tema-tema yang sesuai dengan anak-anak, kegiatan ini menjadi agenda rutin yang dinanti anak-anak Arcadia setiap Ramadhan datang.

Konsep 'akademi Ramadhan' adalah menanamkan pengalaman pada anak-anak bahwa Ramadhan itu adalah bulan yang harus disambut dengan gembira, diisi dengan ibadah dan kegiatan keagamaan lain yang bermanfaat. Akademi Ramadhan dilakukan agar anak-anak mendapatkan pendidikan keagamaan lebih dari sekedar seandainya mereka iktu orang tuanya ke masjid dan kelelahan mengikuti shalat tarawih dan kultum yang panjang. Di akademi ramadhan, mereka juga shalat isya dan tarawih berjamaah dengan guru-guru akademi Ramadhan. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan akademi sesuai tema yang dirancang menarik sesuai usia mereka. Lebih dari itu, tiap hari selesai kegiatan akademi ramadan mereka mendapat hadiah-hadiah kecil seperti susu, makanan, atau alat tulis. Semua itu dilakukan oleh warga muslim untuk warga muslim.

Kegiatan untuk remaja adalah ramadhan camp. Kegiatan ini untuk memfasilitasi anak-anak alumni akademi ramadhan yang sudah mulai beranjak remaja. Awalnya, ramadhan camp dilakukan di lapangan komplek dengan mendirikan tenda-tenda. memang unik dan menarik. Namun, karena dekat dengan rumah, berakibat anak-anak kabur-kaburan pulang ke rumah masing-masing. Sejak itu ramadhan camp dilaksanakan di luar komplek. Tahun ini Insya Allah dilaksanakan di pancawati Sukabumi. Ramadhan camp mengundang trainer-trainer muda untuk mengisi kegiatan. Seperti pesantern kilat. Alhamdulillah kegiatan ini melahirkan kelompok remaja masjid Baiturrahman komplek Permata arcadia.

Kegiatan untuk orang tua dan umum adalah shalat tarawih dan kultum dengan mengundang ustadz-ustadz yang kompeten (mayoritas bergelar Lc/tamatan perti Islam di Timur Tengah). Kajian kuliah subuh tiap sabtu dan ahad, pembacaan riyadus shalihin tiap hari habis subuh, baksos penjualan sembako murah untuk warga sekitar arcadia, santunan anak yatim, dan buka bersama warga arcadia.

Semua kegiatan itu dilakukan dan didanai oleh warga muslim Arcadia. Jauh hari sebelum ramadhan, panitia yang berganti-ganti setiap tahun, mulai sibuk menyiapkan kegiatan ramadhan. Saya sendiri mulai aktif dengan kegiatan-kegiatan itu terutama akademi ramadhan bahkan sejak sebelum saya resmi menjadi warga arcadia sekitar 6 tahun yang lalu. Bahkan semarak ramadhan inilah salah satu daya tarik sehingga saya memutuskan untuk membeli rumah dan menjadi warga komplek permata arcadia.

Alhamdulilah, semangat Ramadhan membuat kami ikhlas bergotong royong, bekerja,  menyumbangkan tenaga, waktu dan biaya untuk menjadikan Ramadhan semarak dengan kegiatan keislaman di Arcadia. Semoga semua menjadi catatan amal saleh kita. Aaamiin.



Bulan yang Dinantikan

Alhamdulillah sampai hari ini kita semua masih mendapat kesempatan melaksanakan ibadah puasa tanpa halangan di bulan Ramadhan. Saya sendiri ini adalah hari ketiga puasa Ramadhan 1433 H, karena saya ikut awal puasa tanggal 20 Juli. Tentang perbedaan ini tidak perlu diperdebatkan, karena kembali ke keyakinan masing-masing. Saya sendiri lebih yakin dengan perhitungan/hisab dan ditambah info dari negara-negara lain baik di Timur Tengah maupun beberapa negara di Eropa yang menyatakan telah melihat hilal dan menentukan awal Ramadhan tanggal 20 Juli. Ini 'hanya' soal pilihan. 

Tapi bagi saya sendiri dan keluarga adalah pilihan dengan berbagai pertimbangan. Terutama, karena suatu saat beberapa tahun yang lalu dengan mata kepala sendiri kami pernah melihat bulan/hilal tanggal 1 syawal. Tipis memang, tapi begitu jelas di langit Ponorogo yang cerah. Kami sekeluarga berbondong-bondong keluar rumah dan menyaksikan sendiri bulan tanggal 1 syawal di langit bagian barat habis maghrib. Beberapa saat berikutnya pemerintah mengumumkan 1 syawal bukan hari itu tapi besoknya. Esoknya, selepas sholat maghrib di masjid dekat rumah, bulan sabit tampak dengan jelasnya, dan orang-orang berkata "loh ini bulan tanggal 2". Sejak itu, kami mulai tidak lagi taqlid buta ikut  pemerintah, namun mulai membaca dan mempertimbangkan penentuan 1 Ramadhan atau 1 syawal dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Wallahu'alam.

Lebih dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana kita mengisi bulan Ramadhan dan mengazzamkan nita untuk menjadikan Ramadhan tahun menjadi ramadhan terbaik dalam hidup kita. Begitu setiap tahun kita azzamkan di awal Ramadhan. Sehingga dengan penuh keyakinan kita menyadari betapa berharganya detik demi detik waktu di bulan Ramadhan ini. Bahkan helaan nafas kitapun bernilai ibadah yaitu ketika kita tidur dan tidak melakukan apa-apa selain bernafas. Tidurnya orang puasa adalah ibadah.

Saya sendiri membiasakan diri dengan tadarus Al Qur'an mulai lagi dari surah pertama Al Fatihah dan berusaha mengkhatamkan Al Qur'an selama Ramadhan. Ritual ini menyadarkan saya akan kehadiran Ramadhan. Ketika mulai membaca juz pertama Al Qur'an saya membayangkan bagaimana Rasulullah setiap Ramadhan bertadarus dengan malaikat Jibril untuk menjaga kemurnian Al Quran. Subhanallah, dan kita sekarang mengikuti sunnah itu dengan tadarus Al Quran baik sendiri-sendiri maupun berjama'ah di masjid.

Saya sendiri, karena ada beberapa hari mendapat halangan dilarang berpuasa dan membaca Al Quran, harus mendisiplinkan diri membaca Al Quran lebih dari 1 Juz sehari. Dengan itu Insya Allah, bisa khatam Al Quran minimal sekali selama  bulan Ramadhan. Untunglah kegiatan saya sebagai guru memungkinkan saya untuk lebih banyak berinteraksi dengan Al Quran.

Berinteraksi dengan Al Quran di bulan Ramadhan adalah kegiatan utama selain puasa. Karena salah satu keutamaan bulan Ramadhan karena di dalamnya diturunkan Al Quran (QS. Al Baqarah; 185), petunjuk bagi manusia, pembeda jalan yang benar dengan jalan yang batil. Maka tidak saja kita harus membacanya namun juga memahami maknanya dan terutama mengamalkan Al Quran.

Selain berinteraksi dengan Al Quran, Ramadhan adalah bulan berbagi. Bahkan diriwayatkan bahwa memberi makan orang berbuka puasa akan mendapat pahala sama dengan pahalanya orang berpuasa. Anjuran ini sudah diikuti hampir seluruh masjid di Indonesia yang menyediakan tajil berbuka puasa untuk siapa saja yang ada di masjid tersebut. Juga kegiatan tajil on the road banyak dilakukan remaja masjid dengan membagikan makanan berbuka di jalanan. Di masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Mekkah, bahkan katanya orang berlomba memberi makanan gratis untuk berbuka.

Berkaitan yang terakhir itu, itu adalah salah satu mimpi saya yang belum terwujud. Umroh di bulan Ramadhan. Semoga Allah memberikan saya umur dan rejeki untuk dapat melaksanakan umroh di bulan Ramadhan. Aamiin.

Senin, 16 Juli 2012

Melalui Masa-Masa Berat


Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa berat. Masa-masa berat itu bisa berkaitan dengan masalah pekerjaan, masalah keluarga, masalah hubungan dengan teman/tetangga, dan sebagainya. Ketika mengalami masa-masa berat itu, waktu seolah terasa berjalan lambat dan kita merasa kelelahan baik secara fisik, mental dan fikiran. Rasanya, ingin secepatnya keluar dari masa-masa berat itu. Tetapi, kita tidak akan bisa keluar sebelum menyelesaikan semua masalah-masalah berat itu. Jadi, masa-masa berat itu mau tidak harus kita lalui.

Dua minggu terakhir ini volume pekerjaan saya menumpuk dan semuanya deadline  di akhir minggu kemarin. Perkerjaan pertama berkaitan dengan tugas utama saya sebagai guru PNS yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala madrasah. Akhir dan awal tahun pelajaran, pekerjaan saya berkaitan dengan evaluasi madrasah setahun yang lalu, dan membuat perencanaan untuk tahun yang akan datang. Pekerjaan ini meskipun rutin tetap menguras tenaga, waktu, dan fikiran. Deadline tugas ini adalah akhir minggu lalu, karena senin minggu ini kegiatan sekolah sudah mulai berjalan setelah libur akhir tahun pelajaran.

Pekerjaan kedua, merupakan tugas tambahan sebagai tim pengembang kurikulum madrasah tingkat propinsi. Tugas ini mengharuskan saya menghadiri rapat-rapat persiapan dan dilanjutkan dengan tugas validasi dokumen KTSP madrasah aliyah baik negeri maupun swasta se DKI. Pekerjaan inipun deadline tanggal 15 Juli kemarin, karena hari ini tanggal 16 Juli adalah deadline terakhir pengesahan dokumen KTSP oleh pejabat Kanwil Propinsi.

Pekerjaan ketiga adalah penelitian independen. Kali ini saya mengejar deadline penyerahan paper untuk acara simposium nasional hasil penelitian pendidikan dan inovasi pendidikan 2012. Deadline penyerahan paper tersebut tanggal 15 Juli kemarin. Jadi di tengah-tengah kesibukan tugas di atas, saya sempatkan melakukan penelitian dan menulis paper.

Alhamdulillah, hari ini saya bisa bernafas lebih lega, masa-masa berat itu akhirnya terlewati. Semua tugas baik utama maupun tambahan dan makalah penelitian semua bisa diselesaikan sesuai deadline. Besok, Insya Allah semuanya berangsur normal. Senang rasanya bisa melalui ini. Seperti keluar dari ruang sidang dan mendapat pengumuman lulus. Lepas semua kelelahan.

Dari itu, untuk dapat melalui masa-masa berat diperlukan sikap mental yang mendukung. Diantaranya, kemauan untuk menyelesaikan, manajemen waktu, penetapan prioritas dan disiplin terhadap rencana-rencana. Penting dari semuanya adalah memperbaiki niat.

Semoga kita semua bisa melalui masa-masa berat dengan sukses, apapun masalahnya. Aamiin.

Pondok Ranggon, 16 Juli 2012



Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...