Saat memasuki rumah sore itu, mataku tertumpu pada paket bungkusan coklat di atas meja. Ini pasti kiriman buku dari bu Fara 'Safir Cinta". Betul sekali nama pengirimnya tertulis Faradina Izhdihary, sekaligus penulis buku yang dikirimkannya. Subhanalllah walhamdulillah, tak sabar aku segera membukanya. Dengan antusias, kuamati sampul buku depan, persis seperti yang bu Fa upload di group guru menulis. Secara fisik, penampilan novel 274 halaman ini cukup menarik. Lalu seperti biasa terhadap buku baru aku melakukan skimming: membaca cuplikan cerita di halaman belakang, komentar-komentar dari beberapa tokoh, memperhatikan penerbitnya, dan memulai membuka halaman pertama. Di halaman pertama..bu Fa menuliskan salam cintanya dengan kata-kata indah "cinta adalah kesediaan untuk berkorban". Kuputuskan untuk segera mandi dan berbenah agar aku segera bisa menelusuri kisah perjalanan di novel 'Safir Cinta" ini.
Pada awalnya, antusiasmeku terhadap buku ini lebih kepada penulisnya. Sebagai sesama guru, aku diam-diam takjub dengan produktifitas tulisan bu Fara. Dibalik kesibukan beliau mengajar, beberapa buku sudah terbit dari tangannya baik novel, kumpulan cerpen, puisi, dan beberapa karya ilmiah hasil penelitian. Bahkan bu Fara juga menjadi ghost writer untuk buku biografi. Rasa-rasanya, kegigihan bu Fa menghasilkan itu semua-pun sepertinya layak menjadi cerita novel. Novel 'safir cinta' di tanganku ini adalah novel keduanya.
Membaca adalah proses memahami isi fikiran penulisnya. Judul safir cinta yang dipilih penulis cukup mengundang tanya. Setahuku, safir adalah nama batu yang berwarna biru itu. Biru alias "blue" identik duka. Berarti barangkali ini novel tentang duka cinta atau cinta yang duka. Jika demikian, mesti siap-siap tissu atau handuk siapa tahu sambil membaca akan bercucuran air mata.
Membaca prolog dan halaman-halaman awal novel ini, terfikir bahwa kisah dalam novel diilhami oleh kisah nyata. Penulis telah mengambil langkah yang berani dalam memilih tema cinta yang kelam. Rasanya tak sanggup membayangkan jika semua itu imajinasi semata penulisnya. Dari awal, kisah tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan begitu kelam. Tiga generasi nenek, ibu, dan anak mengalami ketragisan cinta dan hidup yang seolah temurun. Ketika membaca kisah tokoh si ibu, teringat kisah dalam buku "a man called Dave". Kisah yang sangat tragis dan menyedihkan saat si ibu menjadi pelampiasan kebejatan ayah tirinya. Naudzubillah.
Sebagai pembaca, emosiku teraduk-aduk dengan kisah pilu tokoh-tokoh di dalamnya. Di tengah perjalanan emosi tersebut, tiba-tiba penulis dengan lihainya mengejutkan pembaca dengan kisah pembunuhan yang tak terduga. Ini membuat kita pembaca menjadi penasaran dan ingin tahu kisah selanjutnya. Tak hanya itu, mendekati akhir-akhir cerita, penulis menyajikan hal-hal tak terduga lainnya. Hal ini menyisakan tanda tanya yang barangkali akan terjawab dalam buku kedua 'safir cinta'.
Secara umum, kisah dalam novel ini terjalin apik, melodramatis, dan pasti pesannya sampai. Bahwa, meskipun kadang sepertinya hidup itu tidak bisa memilih, tetap manusia dapat berupaya mengubah jalan hidupnya. Keyakinan akan kasih sayang dan ampunan Allah-lah yang dapat menguatkan, sekelam apapun masa lalu itu.
Terima kasih bu Fa, karya-karya ibu sungguh menginspirasi.