Minggu, 24 Juni 2012

Takdir


Beberapa hari yang lalu dunia penerbangan kita kembali ditimpa musibah yaitu jatuhnya pesawat fokker yang menimpa rumah penduduk di komplek Halim Perdana Kusuma. Musibah ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 11 orang. Empat diantara korban tersebut adalah warga yang rumahnya tertimpa jatuhan pesawat, 2 diantaranya adalah anak-anak. Sedangkan 7 lainnya adalah awak pesawat. Siaran media baik televisi maupun lainnya melaporkan kejadian itu terus menerus sehingga kita semua pemirsa dapat mengikuti perkembangannya. Media tak luput menyiarkan kesedihan dan duka mendalam keluarga korban yang barangkali tidak pernah menyangka akan menerima ujian seperti ini.

Meskipun ajal setiap manusia telah ditentukan waktunya, tidak dapat dimajukan atau dimundurkan sedetikpun, seperti dalam  QS. Al Anam ayat 2 "Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu) dan batas waktu tertentu yang hanya diketahui olehNya", namun kematian mendadak apalagi pada usia muda dan bukan karena penyakit kronis pasti menimbulkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagi yang pernah mengalami ditinggalkan keluarga dekat sebab kematian mendadak, sangat bisa memahami keperihan hati keluarga korban. Andaikan bisa, akan menukarkan nyawa keluarga tercinta dengan semua harta benda. Karena tidak ada yang bisa melebihi kehilangan dan kesedihan yang disebabkan oleh kematian. Kehilangan dan kesedihan lainnya masih bisa dicari gantinya. Bahkan, Rasulullah kekasih Allah saja pun merasakan duka dan menangisi kematian putra Beliau Ibrahim.

Namun demikian, ajal itu itu adalah keniscayaan, satu-satunya kepastian orang hidup. Duka yang mendalam atau bahkan kemarahan atas musibah inipun tidak akan membuat yang mati bisa hidup lagi. Justru akan menyulitkan kita untuk berserah kepada Allah dan bisa jadi akan menghalangi perjalanan almarhum/ah di kampung akhirat karena terus menerus kita ratapi. 

Banyak ayat dalam Al Quran yang mengabarkan ketentuan Allah tentang kematian:

QS. Ali Imran; 185  bahwa:

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."

dan dalam QS. An Nisa' ayat 78:

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh".

Keyakinan akan ketentuan ajal yang sudah tentu waktunya ini (takdir), akan memudahkan kita mengatasi kesedihan karena kematian. Lebih dari itu, memberi keyakinan kepada kita bahwa segala yang terjadi ini adalah yang terbaik menurut Allah. Dengan itu, tidak akan menyia-nyiakan waktu  larut dalam kesedihan yang bahkan akan melenakan kita dari mendo'akan almarhum/ah.

Agama menganjurkan kita semua untuk menyiapkan bekal hidup di kampung akhirat. Seperti tersebut dalam ayat di atas bahwa " Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" , dan kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Bekal itu adalah amal ibadah kita selama hidup di dunia.  Seperti diriwayatkan dalam hadits berikut: "Ketika seorang meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, keculai 3 hal yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo'akannya" (HR. Muslim). Anak sholeh yang dimaksud dalam hadits ini tidak terbatas pada anak kandung, tapi siapa saja yang berada dalam pengasuhan kita sehingga menjadi sholeh dan mendo'akan.

Oleh karena itu, menyaksikan berita musibah-musibah yang menimpa saudara-saudara kita itu, sebenarnya adalah sarana  pengingat jika suatu saat terjadi kepada kita atau keluarga kita. Ada baiknya dengan seksama kita ucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun dan berdo'a semoga almarhum/ah mendapat ampunan dan kasih sayang Allah dan keluarga yang ditinggalkan tabah.

Wallahu'alam




Minggu, 10 Juni 2012

Jika Harus Marah


Intensitas pembicaraan saya dengan Rio dimulai dengan hal yang tidak baik. Ada satu kejadian yang membuat saya sangat marah kepadanya. Begini ceritanya.

Sore itu adzan Ashar berkumandang dari masjid sekolah. Saya, meskipun sedang berhalangan, segera bergegas menyusuri kelas demi kelas mengajak siswa segera menuju masjid untuk shalat Ashar  berjamaah. Rutinitas ini saya lakukan bukan sekedar karena tugas, namun lebih-lebih dikarenakan kesadaran bahwa guru adalah orang tua siswa di sekolah. Melewati salah satu ruang kelas yang tertutup, saya mendengar suara gitar dan nyanyian anak. Saat itu refleks saya merasa sangat kesal. Bagaimana mungkin anak madrasah main gitar saat adzan berkumandang. Segera saya buka pintu, dan ternyata si Rio sedang asyik bermain gitar di kelilingi teman-temannya yang menyanyi. Melihat pintu terbuka dan saya masuk, mereka terkejut dan segera menghentikan nyanyi-nyanyi. "Semuanya segera keluar, sholat!" kata saya menahan marah.

Tak ingin melampiaskan kemarahan, saya keluar kelas sebelum mereka keluar. Namun, baru beberapa langkah dari pintu, kembali terdengar suara gitar Rio. Dan, kali ini kemarahan saya tidak terbendung. Saya kembali masuk ke kelas, tujuan saya adalah Rio. Saya sangat marah hingga refleks mendaratkan cubitan keras di lengannya sambil kata-kata 'stupid' keluar dari mulut saya. Saya tak berhenti berkata-kata sampai anak itu keluar menuju masjid.

Sesaat saya duduk terdiam. Astaghfirullah, ekspresi kemarahan saya begitu buruk. Tidak seharusnya seperti itu. Saya merasa resah. Berbagai fikiran berkecamuk. Bagaimana kalau Rio dendam kepada saya. Bagaimana kalau dia tidak lagi mau mengikuti kelas saya, sedang sesi pembelajaran masih cukup lama. Bagaimana kalu dia tidak tahu apa yang membuat saya marah padanya. Bagaimana..bagaimana. Di sisi lain, saya menghibur diri, bukankah Rasulullah membolehkan orang tua memukul anaknya jika tidak mau sholat. Bukankah kemarahan saya juga karena itu. Ah, tetap saja saya merasa resah.

Selama menjadi guru, sepertinya saya jarang marah hanya karena siswa tidak mau belajar atau berisik di kelas, atau tidak mengerjakan PR. Tetapi untuk urusan mengajak siswa sholat, saya merasa tidak bisa kompromi. Saya  tidak berharap suatu saat di akhirat kelak salah satu tangan siswa saya menghalangi langkah saya menuju sorga, disebabkan, saya sebagai orang tuanya di sekolah, tidak memberi peringatan dan mengajak kepada kebaikan. Shalat, adalah ibadah utama dan pertama yang wajib dilakukan bagi muslim yang sudah baligh. Saya bisa senewen, jika ada siswa yang begitu sulit diajak shalat.Namun demikian, tidak seharusnya ekspresinya begitu buruk.

Esok harinya saya memutuskan untuk menemui Rio. Kami duduk berhadapan. "Rio, ibu minta maaf karena telah memarahimu kemarin," kata saya memulai. Anak itu diam saja menunduk, Saya merasakan kelopak mata saya mulai panas, tapi saya berusaha menahannya. "Rio, apakah kamu tahu kenapa Ibu marah kemarin?", tanya saya melanjutkan. Dan anak itu masih saja diam menunduk. "Rio, ibu marah karena kamu susah disuruh shalat," kata saya menjawab pertanyaan sendiri. Tiba-tiba Rio bersuara,"Oh jadi ibu bukan marah karena saya main gitar?". Ah, benar anak ini salah sangka. "Ah Rio, ini bukan perkara main gitar, meskipun kamu sedang belajar atau mengerjakan tugas, ibu akan marah jika kamu enggan dan menunda-nunda shalat berjamaah di masjid." Kata saya menjelaskan. "Pernahkah ibu marah ketika kamu tidur di kelas?, pernahkah ibu marah ketika kamu tidak mengerjakan tugas atau PR?", tanya saya beruntun. Dan anak itu menggelengkan kepalanya. Ibu nggak akan marah untuk urusan dunia yang masing-masing orang punya pilihan. Kamu mau ahli main gitar dan tidak menyukai ekonomi akuntansi, itu pilihan, tapi shalat ibadah yang tidak bisa ditawar. Ibu nggak mau seandainya nanti di akhirat, ibu lagi senyum-senyum jalan ke sorga, tiba-tiba kamu protes ke malaikat. Tidak terima ibu masuk sorga, karena selama menjadi gurumu membiarkan saja kamu tidak sholat." Kata-kata saya beruntun. "Iya bu saya mengerti", katanya, agak tersenyum. "Namun Rio, bagaimanapun tidak seharusnya ibu memarahimu seperti itu, apakah kamu memaafkan ibu?" tanya saya sekali lagi. "Iya bu, katanya singkat.

Dan ketika Rio sudah berlalu, saya tak perlu menahan lagi cairan hangat yang menerobos ke sela-sela kelopak mata saya. "Ah dasar cengeng", batin saya. Pelajaran dari kejadian ini, ketika kita marah pastikan bahwa orang yang kita marahi mengerti bahwa dia dimarahi dan apa yang membuat kita memarahinya. Berusahalah, agar ekspresi kemarahan kita tetap terkendali (ah ini yang sulit). Tanpa itu, kemarahan kita hanya akan menyakitkan diri sendiri dan menghabiskan energi.

Ah, tidak ada yang sia-sia dari setiap kejadian.


'Unyeng-Unyeng'

Konon, pada zaman dahulu orang tua menandai anaknya apakah akan susah diatur atau gampang diatur dari banyaknya "unyeng-unyeng" di kepala. Unyeng-unyeng itu istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut 'pusaran rambut' di kepala kita. Jika 'unyeng-unyeng'nya lebih dari satu maka tandanya anak tersebut akan susah diatur. Entah bagaimana jalan logikanya.Yang jelas jika 'unyeng-unyeng' lebih dari satu, rambut anak tersebut akan susah diatur potongannya.  Jika rambutnya saja susah diatur apalagi orang yang punya rambut. Begitulah barangkali logikanya.

Rio, begitulah dia dipanggil. Dari sosok tubuhnya yang tinggi besar, anak ini mudah dikenali. Lebih-lebih,dia akan mudah dikenali dari potongan rambutnya. Potongan rambutnya agak memanjang lebih panjang dibanding ukuran teman-temannya. Potongan ini sebenarnya tidak cocok dengan jenis rambutnya yang tebal, kaku dan kasar. Sehingga seolah-olah apa saja benda yang mengenai rambutnya akan menancap disitu. Pernah satu kali setelah libur panjang, Rio datang ke sekolah dengan model rambut bekas direbounding. Ah, ada-ada saja anak itu. Jelas itu membuat bentuk rambutnya makin gak karuan dan menjadi bahan pembicaraan temannya. Meski demikian seperti biasa Rio terkesan cuek.

Sudah tak terhitung kali Rio harus berurusan masalah rambut dengan wali kelas maupun bidang kesiswaan. Mulai dari cara paling ringan, diperingatkan, sampai dengan dicukur di sekolah oleh guru. Namun, ternyata perkara rambut ini memang tak mudah bagi dia. Setelah dicermati, jumlah 'unyeng-unyeng' di kepala Rio ternyata lebih dari satu. Woalah.. ini ternyata biangnya. Pantas saja segala model rambut seperti tak pernah cocok untuk kepalanya. Namun urusan dengan Rio tidak saja masalah rambut. Apakah ini berkaitan dengan jumlah unyeng-unyengnya yang banyak sehingga susah diatur, tentu tidak. Meski kebetulan jumlah unyeng-unyeng Rio lebih dari satu. Tak terhitung guru yang sudah menyatakan nyerah menghadapinya.

Rio sebenarnya atau seharusnya anak cerdas. IQ-nya 135. Pada saat masih sebagai siswa baru, dia bahkan pernah diikutkan untuk menjadi salah satu peserta OSN. Namun, kemalasannya belajar membuatnya tereliminasi dari tim OSN. Hampir setiap hari, entah bagaimana caranya  dia selalu membawa gitar ke sekolah. Pada saat jam istirahat, jeda pergantian jam atau jam kosong, alat musik inilah yang selalu dia mainkan. Dan dia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri.

Pada awal-awal saya menjadi guru pelajaran ekonomi-akuntansi di kelas Rio, sayapun hampir nyerah menghadapinya. Anak ini hampir tak pernah bisa diam. Seringkali dia bertingkah iseng mengganggu teman-temanya. Atau dia akan mengeluarkan celetukan-celetukan sehingga temannya terpancing dan kelas menjadi ramai. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan karena sudah mengganggu. Karena saya tidak akan pernah memaksa siswa untuk belajar, maka sayapun mengultimatum agar yang  tidak mau belajar supaya diam atau tidur saja. Alhasil, selama sisa jam pelajaran saya, Rio tidur nyenyak di mejanya. Alamak.

Herannya, ketika ulangan, nilai Rio cukup tinggi. Namun, saya curiga ini bukan hasil fikiran dia sendiri namun bantuan dari teman-temannya ketika saya lengah mengawasi. Tak mau terkecoh sekali lagi, maka setiap ulangan berikutnya saya buat soal empat tipe, dan siswa diacak tempat duduknya.  Rio, sengaja saya tempatkan persis di depan meja saya. Dan dia tidak berkutik. Benar, hasil ulangannya jeblok. Berkali-kali seperti ini setiap ulangan. Rupanya, hal ini sedikit mempengaruhinya. Rio tak lagi terlalu berisik dan iseng. Meski juga tidak berubah menjadi rajin belajar.

Sayapun menjadi punya alasan untuk membicarakan hasil ulangannya ini. Namun, saya merasa anak ini menghindar dan tidak ingin membicarakannya. Alhasil, inipun tidak merubah apa-apa.

bersambung....




Kamis, 07 Juni 2012

Kelas XI S-2

Pagi itu jam 8.30 ketika saya bersiap mengakhiri pembelajaran akuntansi di klas XI S2. Tiba-tiba salah seorang siswa bertanya; "ibu, apakah ibu akan mengajar lagi di kelas XII?". Ah iya, baru ingat saya bahwa ini adalah sesi terakhir belajar dengan mereka di kelas XI. Seketika saya merasa diingatkan untuk mengakhiri pembelajaran dengan sesi refleksi setelah setahun kebersamaan dalam belajar mengajar. Saya awali sesi itu dengan permohonan maaf atas kata-kata dan sikap yang barangkali tidak sengaja menyakitkan dan menyinggung murid-murid saya. Saya sampaikan penghargaan karena mereka telah menunjukkan antusiasme belajar dan kemauan bersungguh-sungguh belajar. Saya tidak sedang beretorika, tapi apa yang saya sampaikan memang begitulah adanya mereka.


Kelas XI S2 adalah tantangan tersendiri. Ketika mendapat amanah untuk mengajar mata pelajaran ekonomi dan akuntansi di kelas ini setahun yang lalu, saya tahu saya harus benar-benar memikirkan kelas ini. Sebagian besar siswa "hiperaktif' bergabung di kelas ini. Salah seorang siswa diantaranya bisa dibilang ketua geng. Waktu masih di kelas X, si ketua geng ini sudah menunjukkan kemampuannya untuk mempengaruhi dan mendapatkan pengikut. Namun, karena masih kelas X, "keberanian" mereka belum begitu mendapat tempat. Biasanya, mereka akan menunjukkan eksistensinya di kelas XI, dan mulai menurun lagi di kelas XII. Dengan karakteristik sebagian besar siswa yang seperti itu, saya memang sempat merasa khawatir. Apalagi pelajaran akuntansi yang saya ampu memerlukan tidak sekedar kognitif tapi juga praktek dan ketelitian. 


Benarlah, awal perjalanan tidak mudah. Saya bahkan sempat terpancing emosi saya, marah besar pada si ketua geng. Kemarahan yang akhirnya saya sesali dan membuat saya tidak bisa tidur, namun justru pada akhirnya menjadi titik balik yang membuat suasana menjadi kondusif. Bab kemarahan, mengapa dan bagaimana akan saya tulis khusus. 


Dan saya benar-benar merasa surprise, ketika pada akhirnya kekhawatiran saya tidak terbukti. Justru saya menikmati mengajar di kelas XI S-2, pun sebaliknya saya bisa merasakan mereka juga enjoy belajar. Siswa-siswa 'hiperaktif' tersebut terlihat tekun mnyelesaikan tahapan demi tahapan dalam siklus akuntansi. Bahkan si ketua geng, seringkali paling duluan menyelesaikan latihan-latihan.


Begitulah, pagi itu, pelajaran terakhir di kelas XI S-2 berakhir reflektif. Mereka berharap saya akan mengajar lagi di kelas mereka di kelas XII. Saya bilang:" kenapa kamu ingin belajar sama ibu?". Ada yang menjawab, "karena kalo belajar sama ibu nggak ngantuk." "Karena kalo ngantuk, ibu marahi ya", jawab saya. "Enggak bu", katanya. "Pokoknya enak aja, dan ngerti". Kata mereka lebih lanjut. "Alhamdulillah," kata saya.


Dan pagi itu kami akhiri dengan bersalam-salaman serta berfoto bersama. Good luck..nak.


*****









Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...