Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda

Hari ini 29 Oktober, di sekolah diadakan upacara peringatan Sumpah Pemuda. Karena 28 Oktober jatuh pada hari minggu, maka upacara peringatan hari sumpah Pemuda dilaksanakan hari ini Senin 29 Oktober, mundur sehari. jam 7.15 ketika upacara dimulai matahari sudah cukup tinggi dan sinranya sudah cukup panas. Sebagai pembina upacara saya segera menempati podium yang menghadap ke timur alias menantang sinar matahari. Saya berdoa dalam hati agar tidak pingsan, seperti kebiasaan saya waktu masih sekolah dulu sering pingsan saat upacara. Untuk amanat pembina upacara hari ini, saya sudah mempersiapkan diri dengan membaca beberapa literatur berkaitan dengan sejarah, keIslaman dan sebagainya. Saya akan usahakan menyampaikan amanat yang singkat tapi bermakna.

Untuk menyampaikan tema ini awalnya saya membaca bukunya cak Noer yang berjudul "Islam, kemodernan dan Keindonesiaan. Namun, saya fikir materi di buku ini terlalu berat untuk disampaikan di depan siswa-siswa setingkat SMA/MA. Meskipun demikian saya menggarisbawahi beberapa ide penting yang  memperkaya isi amanat yang akan saya sampaikan. Bahkan saya menemukan satu makna kekinian yang masih relevan diangkat sekarang dari Sumpah Pemuda yaitu bersatu dalam kemajemukan, dan itu diperlukan 'musyawarah'. 

Berikutnya saya membaca biografi Steve Jobs, pendiri raksasa komputer Apple, yang kisah hidupnya menginspirasi banyak orang. Saya menangkap perilaku alm. Steve Jobs sehingga karya inovatifnya dapat dinikmati banyak orang di dunia. Perilaku itu ialah kebiasaannya bercermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri "seandainya hari ini adalah hari terakhir hidup saya, apakah saya akan melakukan apa yang akan aku lakukan." Kesadaran ini membuat karyanya sempurna. Saya mengambil ide makna "perjuangan" dari biografi Steve Jobs.

Alhamdulillah akhirnya saya menemukan tema 'musyawarah dan perjuangan' sebagai makna yang masih relevan kita gali dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda. Pada tahun 1928, pemuda-pemuda Indonesia bahkan menurut riwayat banyak yang masih berusia 18 belasan mengadakan kongres pemuda. Konggres ini yang membidani adanya "Sumpah Pemuda". Ide persatuan dalam kemajemukan ini sungguh prestasi luar biasa setelah bertahun-tahun bangsa Indonesia selalu kalah dalam melawan penjajah Belanda. Karena, sifat perlawanan masih bersifat sporadis belum bersatu. Kemauan untuk bertanah air satu dan berkebangsaan satu yaitu Indonesia diantara ratusan suku dan kerajaan-kerajaan kecil waktu itu tentu memerlukan kebesaran hati dan kemauan bersatu yang kuat. Demikian juga ikrar berbahasa satu bahasa Indonesia (Melayu) waktu itu tentu bukan proses yang mudah. Namun pemuda-pemuda pelopor itu telah membuktikan bahwa semangat kebangsaan dan persatuan mampu mengatasi egosime suku, ras, maupun agama.

Saya mengangkat semangat itu menjadi anjuran dan kebiasaan bermusyawarah dalam setiap keadaan yang terjadi perbedaan. Karena di depan siswa madrasah saya ungkapan makna salah satu ayat dalam Al Quran yang artinya "Bahwa jika Allah menghendaki setiap manusia beriman, tentu sangat mudah bagi Allah, namun Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih apakah jalan kebenaran atau kesesatan". Ayat ini mengandung arti bahwa manusia secara sunatullah memiliki kebebasan/pilihan masing-masing. Kondisi fitrah ini memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Sebanyak orang berkumpul, bisa dimungkinkan sebanyak itu pulalah pendapat yang dikemukakan. Di sisi lain kebebasan itu berhadapan dengan keterbatasan manusia dan ketidakmampuannya untuk hidup tanpa orang lain. Keterbatasan ini menyadarkan manusia bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Tinggi dan Maha Benar. Kebenaran oleh manusia bersifat relatif, selalu ada ruang untuk diperdebatkan. Oleh karena, kita perlu berendah hati dengan ide-ide kita dengan cara mau mendengarkan pendapat orang lain. Siapa tahu pendapat orang lain lebih benar. Musayawarah yang dilandaskan oleh dua hal itu, kemamuan berpendapat dan berendah hati mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain Insya Allah akan menghasilkan mufakat yang diterima demi kebaikan bersama.

Selanjutnya, saya menyampaikan makna perjuangan yang masih relevan hingga sekarang. Peristiwa Sumpah Pemuda mengajarkan kepada kita bahwa dalam berjuang melawan penjajah-pun tidak semua mengangkat senjata. Terdapat pemuda-pemuda yang berjuang melalui gerakan pemuda pemersatu bangsa. Dalam setiap perjuangan kita harus paham siapa musuh kita dan bagaimana mengalahkannya. Dalam konteks sekarang dan paling kecil yaitu diri sendiri perjuangan generasi muda sekarang adalah perjuangan meraih cita-cita. Musuhnya adalah rasa malas, sifat menunda-nunda dan tiadanya kesungguhan untuk 'berjuang' meraih cita-cita. Saya sampaikan bahwa, keberhasilan meraih cita-cita dimulai dari sekarang. Tidak mungkin di masa muda bermalas-malasan lalu tiba-tiba ketika tua langsung sukses. Semua perlu perjuangan. Untuk lebih menyemangati, saya selipkan kisah singkat tentang Steve Jobs dan perjuangannya dalam melahirkan karya-karya inovatif dunia.

Pada akhirnya saya mengakhiri dengan ajakan agar masing-masing kita bersumpah terhadap diri sendiri untuk selalu melakukan yang terbaik dan berjuang meraih cita-cita menjadi manusia yang banyak manfaatnya. 

Begitulah, matahari sudah sangat panas ketika saya menyampaikan dan mengakhiri amanat pembina upacara. Peluh membasahi sekujur badan, dan sinar matahari seperti membakar muka saya. Amanat  kali ini memang singkat dan sederhana. Tidak mengangkat masalah ke-Indonesiaan, hanya masalah diri sendiri. Namun demikian, semoga ada diantara siswa yang mengambil manfaat dari amanat ini. Wallahu'alam.




Minggu, 14 Oktober 2012

Makkah Al Mukarramah

Perjalanan darat dari Madinah ke Mekkah hampir sama waktunya dengan perjalanan Jeddah-Madinah sekitar 5 jam.  Kami berangkat pagi-pagi habis sarapan pagi  menuju Mekkah. Waktu itu kami sudah menggunakan kain ihram dan berniat umroh sebelum melanjutkan ke Arafah melaksanakan ibadah haji. Ini adalah perjalanan spiritual. Sepanjang perjalanan tak henti kami mengumandangkan talbiyah. Labbaik Allohumma Labbaik.

Perjalanan siang membuat kami bisa melihat panorama di sepanjang jalan Madinah-Makkah. Sepanjang jalan yang terlihat di kanan kiri jalan adalah batu dan batu. Batu-batu berbagai bentuk dan ukuran berganti-gantian sepanjang jalan. Ada gunung batu yang seolah hanya terdiri satu batu besar sebesar gunung. Ada gunung batu yang tersusun dari batu-batu sebesar kepala, atau sebesar kerikil dan sebesar butiran pasir. Melewati padang pasir adalah pemandangan yang mempesona. Jadi terbayang perjalanan kafilah hijrah Rasulullah. Subhanallah sejauh ini Mekkah-Madinah melalui hamparan batu dan pasir. Sesekali terlihat rumpun pohon korma diantara belantar batu. Pertanda di sekitar itu ada oase. Sebelum memasuki kota Makkah, kami berhenti di miqat, kalau tidak salah di Bir Ali untuk melaksanakan shalat dua rakaat dan niat melaksanakan ibadah umroh.

Memasuki kota Mekkah hatiku mulai bergetar. Dari kejauhan tampak keramaian orang lalu lalang di kota yang padat. Subhanallah, Allahu Akbar, ditengah padang yang tandus terbangun kota yang tidak pernah tidur. Kota ini tidak sembarang kota. Kota yang beribu abad tak pernah hilang dari siklus sejarah bahkan semakin ramai dan maju. Terbayang Siti Hajar dan putranya Ismail kecil yang memulai meramaikan padang tandus ini menjadi sebuah kota. Kegigihan dan keyakinannya kepada Allahlah yang menghidupkan kota ini. Subhanallah..Allahu Akbar.

Jalanan dipenuhi orang-orang yang lalu lalang berpakaian putih atau hitam. Toko-toko sepanjang jalan menjual beragam macam barang , berderet berselang-seling dengan bangunan mirip apartemen. Bangunan dicat dengan warna yang sama krem, dan tidak terlihat bangunan bercat warna warni.  Rombongan kami langsung menuju hotel ‘Ajyad’ sekitar 100 meter dari Masjidil Haram. Ini adalah salah satu hotel terbaik waktu itu tahun 1993. Namun jika kita pergi kesana sekarang, sudah banyak hotel-hotel bertaraf internasional berdiri di sekitar Masjidil Haram. 

Setelah meletakkan barang-barang di kamar hotel, kami beristirahat sejenak sebelum menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh. Kami berjalan beriringan menuju Masjidil Haram. Jalanan berdebu. Angin padang pasir bertiup kencang menerbangkan debu-debu jalanan. Udara cukup panas. Dalam kondisi ini lebih nyaman jika kita menggunakan pakain yang tertutup bahkan menutup muka. Barangkali ini salah satunya, selain keyakinan, yang membuat wanita-wanita Arab selalu bercadar. Karena dengan tertutp rapat, badan kita terlindungi dari sengatan panas. Akhirnya kami sampai di depan Masjidil haram.

Aku segera menyungkur sujud , mensyukuri nikmat Allah hingga aku bisa sampai di tempat ini. Tempat yang dimuliakan Allah sejak ribuan tahun yang silam. Kami mencari pintu Babbussalam, pintu yang senantiasa dilalui  Rasulullah ketika memasuki Ka’bah. Teringat sejarah, ketika pembesar Qurays sebelum Islam bertengkar tak bisa menentukan siapa yang akan meletakkan Hajar Aswad. Mereka akhirnya memutuskan yang akan meletakkan adalah siapa yang pertama kali melewati pintu Babbussalam. Dan, Subhanallah yang memasuki Ka’bah melalui pintu Babussalam pertama kali adalah Rasulullah. Lalu dengan bijaksana Rasulullah mengusulkan agar batu hitam itu diletakkan di atas kain dan diangkat bersama-sama oleh para pemimpin kabilah yang bertikai. Maka kejadian itu berakhir damai. 

Subhanallah, dan kali itu untuk pertama kalinya aku melalui pintu yang sama yang dilalui Rasulullah. Airmataku seketika bercucuran tak terbendung. Rasa sesak membuncah memenuhi rongga dada. Rasanya aku ingin berlari memasukinya, seolah tak sabar hendak berjumpa dengan entah sesuatu yang telah lama terpendam dan dirindukan.  Mungkin inilah yang dinamakan fitrah. Kita merindukan sesuatu darimana kita berasal. Ruh kita berasal dari Allah, dan perjalanan spiritual ini, menujuNya.  Inilah puncak kerinduan kita tanpa kita sadari. Bukan dunia dan segala isinya yang kita inginkan dan rindukan. Kita sejatinya merindukan asal kita, fitrah kita yaitu Allah.

Memasuki masjidil Haram, dadaku makin sesak. Aku akan melihat ka’bah. Bangunan kubus berbalut kain hitam yang telah lama kita akrabi dari gambar dan sejarahnya.  Dan bangunan itu kini di depan mataku. Airmataku tumpah ruah. Ingin kuberlari merengkuhnya. Tak heran jika melihat jama’ah yang menangis sambil memegangi ka’bah. Itu adalah ekspresi fisik dari rindu dan cinta kepada Allah yang tak terlukiskan.  Aku menahan diri, meski air mataku tak henti mengalir. Suasana musim haji, Masjidil Haram penuh sesak. Mendekati Ka’bah perlu perjuangan tersendiri. Seperti cinta yang memerdekakan, biarkan ada jarak sehingga menyempurnakan pertumbuhannya, aku berusaha merasa cukup dengan mengangkat tanganku dari kejauhan searah hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar, kumulai thawaf pertamaku.

Thawaf itu seperti shalat, jika batal, maka kita harus berwudhu lagi. Dan seperti shalat yang memerlukan kekhusyu’an, demikian juga thawaf. Berputar mengelilingi Ka’bah 7 putaran berlawanan arah jarum jam, memerlukan waktu yang agak lama dibanding shalat. Apalagi dalam kondisi penuh sesak, maka jarak tempuh putaran makin jauh dari Ka’bah sehingga makin lama. Sangat penting dalam ibadah ini stamina fisik yang baik dan lebih dari itu kondisi spiritual yang tinggi. Pembimbing haji biasanya sudah menyiapkan buku-buku kecil tuntunan do’a yang digantung di leher untuk memudahkan dibaca. Aku sendiri terkadang memakai itu, namun lebih sering memusatkan hatiku pada Allah dengan membaca Subhannallah Walhamdulillah Walaa Illaha illallah. Disela-sela itu kupanjatkan do’a-do’a. Thawaf ini menguatkan hatiku bahwa Allah ‘memang’ pusat segala putaran hidup. Tidak lain, tidak bukan, hanya Allah semata. Ka’bah ini hanya simbol, simbol rumah Allah, tempat kita semua akan kembali.  Ini seperti salah satu bacaan dalam shalat, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya karena Allah.  Suka duka, tawa-tangis, marah-kecewa, bahkan setiap helaan nafas kita hanya karena Allah.

Selesai Thawaf, kami menuju bukit Shafa. Ah, terbayang kembali sejarah Ibunda Hajar yang berlari-lari mulai dari bukit ini. Pada tahun 1993, bukit Shafa masih kelihatan bentuknya. Bukit yang tak terlalu tinggi itu awal kita mulai melakukan sai’, berlari-lari kecil diantara bukit Shafa dan Marwa. Waktu itu kami masih bisa menaiki bukit Shafa, dan mengangkat tangan menghadap Ka’bah. Jarak antara kedua bukit itu sekitar 500 meter. Tujuh kali berarti 3500 meter. Cukup memerlukan kondisi fisik yang prima. Jika Thawaf, menggambarkan ibadah kita hanya kepada dan untuk Allah, maka Sai’ menggambarkan perjuangan hidup. Sai’ menggambarkan bahwa kita harus gigih berusaha dalam hidup, tidak boleh menyerah hingga apa yang kita harapkan terwujud bahkan melampui apa yang kita harapkan. Subhanallah.

Selesai melaksanakan ibadah sai’, ibadah umroh diakhiri dengan tahalul, menggunting sebagian rambut. Jamaah laki-laki biasanya bertahalul dengan mencukur gundul rambutnya.  Setelah menyelesaikan ibadah umroh, kami menuju ke sumur zam-zam.  Sumur zam-zam, sumber mata air yang tak pernah kering sejak ditemukan oleh kaki kecil Ismail ribuan tahun yang salam. Sumber air ini terletak tak jauh dari Ka’bah, masih di pelataran Ka’bah. Kami menuruni beberapa tangga di bawah pelataran Ka’bah . Pada tahun 1993, bentuk lobang sumur Zam-Zam masih bisa kita lihat, meski dari balik jeruji yang melindunginya. Banyak jamaah yang tidak sekedar meminum air zam-zam namun mengguyur sekujur badannya dengan air zam-zam. Aku cukup membasuh muka, tangan, kaki dan berwudhu. Tentu saja meminum airnya yang sejuk menyegarkan dan menyehatkan.  Subhanallah Walhamdulillah Walaa Illaha Illallah.

Rabu, 10 Oktober 2012

Thaif, kenangan yang memilukan

Pada perjalanan umrohku tahun 2010 yang lalu, biro perjalanan Khazanah Mandiri, tempat aku dan ibuku tergabung dalam jamaah umroh, mengagendakan perjalanan ke Thaif. Aku sejak berangkat sudah berniat tidak akan ikut perjalanan ke Thaif ini. Entah mengapa rasa hatiku tak nyaman harus bersenang-senang ke Thaif. Aku sampaikan ke ibuku, bahwa sebaiknya waktu kita yang terbatas di Mekkah kita manfaatkan untuk i'tikaf dan berlama-lama di Masijidil Haram. Perjalanan ke Thaif memakan waktu seharian. Karena disana banyak hal yang akan dilihat dan dilakukan

Bagiku dan bagi kita umat Islam yang membaca sejarah Nabi Muhammad, SAW, Thaif adalah sepenggal cerita yang memilukan. Tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah, Rasulullah diam-diam mendatangi kota Thaif. Sejak kepergian Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, penduduk Mekkah makin berani memerangi dakwah Nabi. Kepergian Nabi ke kota Thaif yang berjarak sekitar 100 km dari kota Mekkah dengan harapan akan mendapat perlindungan dari kekejaman kaum Qurays Mekkah. Namun yang didapatkan Nabi justru sebaliknya. Penduduk Thaif menolak dengan kasar bahkan mengusir Rasulullah dengan lemparan batu. Bersama Zaid bin Haritsah, Nabi bahkan harus bersembunyi  di kebun milih "Utbah bin Rabi'ah. Kekasih Allah ini berlindung dari lemparan batu. Masya Allah, begitu kejinya perlakuan penduduk Thaif. Bahkan malaikatpun tak tega, dan bertanya kepada Nabi apakah hendak dibalaskan perlakuan penduduk Thaif? Namun, manusia agung itu menolaknya dan berdo'a:
"Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Jika Engkau tidak murka kepadaku maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu."Tergambar betapa beratnya cobaan yang dialami Nabi pada masa itu.

Thaif adalah kota di atas perbukitan yang berhawa dingin. Sungguh berbeda dengan kawasan jazirah Arab lainnya yang gersang dan tandus. Kota berhawa dingin ini menjadi lahan untuk tumbuh suburnya tanaman sayur dan buah-buah. Saat ini Arab Saudi sedang gencar-gencarnya membangun Thaif menjadi daerah tujuan wisata. Berbagai sarana dan fasilitas wisata dibangun. Dari cerita teman yang ikut ke sana, di Thaif mereka naik semacam gondola yang menghubungkan dua bukit sambil menikmati panorama hijau di padang pasir.

Aku tak sanggup melalui itu, terbayang Rasululllah, dan kepedihannya di Thaif. Aku lebih suka duduk di depan Ka'bah dan menikmati kedekatan bersama Allah bersama orang-orang yang tak henti berthawaf dan bermunajat.



One Moment in My Life (3)


Madinah Al Munawarah kota madani. Disini ribuan abad yang silam, Rasulullah membangun kota yang aman, nyaman bagi seluruh penduduk kota Madinah. Mayoritas muslim dan minoritas umat Yahudi dan Nasarani. Namun aturan yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan warga minoritas terlindungi hak-haknya. Bentuk kota Madinah di zaman Rasulullah menjadi kajian hingga kini sebagai contoh kota yang madani.

Madinah secara historis, kita kenal sebagai masyarakat yang menerima hijrah Rasulullah dengan tangan terbuka. Disaat keamanan dan keberlangsungan dakwah Rasulullah di Makkah terhambat, Rasulullah mendapat perintah untuk berhijrah. Beberapa kota di sekitar jazirah Arab sempat didatangi Rasulullah, namun semua menolak kehadiran beliau, bahkan di kota Thaif beliau diusir dengan kasar oleh penduduk Thaif. Madinahlah yang akhirnya menjadi pusat dakwah Nabi. 

Kultur masyarakat Madinah ramah. Secara fisik kita akan menumpai kesempurnaan wajah fisik ada di penduduk kota Madinah. Wajah laki-laki dan perempuan yang begitu sempurna ketampanan dan kecantikannya. Jika di Indonesia, mereka semua mungkin akan laris manis menjadi artis. Meski tertutup cadar, kita bisa menerka bentuk mata, hidung, yang sempurna. Demikian juga warna kulitnya yang putih kemerahan. Barangkali ini karena faktor cuaca. Meski udara di sana sangat panas, tapi kita hampir tidak pernah berkeringat. Bahkan, pakaian yang tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki menjadi pakaian yang paling nyaman di udara panas dariada menggunakan pakaian terbuka.  Warga Indonesia yang telah lama tinggal di Arab Saudi-pun, lambat laun kulitnya berubah menjadi putih kemerahan.

Disinilah, ditempat yang sama sekali baru aku kunjungi aku merasa seperti pulang kampung, tidak merasa asing.  Barangkali karena dari kecil kita mendengar dan membaca sirah Nabawi, sehingga tempat ini sudah begitu lekat dalam memori kita. Madinah kota yang bersih dan nyaman. Lebih banyak orang berjalan-jalan daripada naik kendaraan. Mereka menggunakan bentuk dan warna baju yang nyaris sama, hitam atau putih. Hari kedua dan seterusnya, aku berkesempatan untuk menyusuri tempat-tempat bersejarah di kota Madinah. 

Jabal Uhud, tempat terjadinya perang uhud dengan kisah fenomenal syahidnya Hamzah paman Nabi dan yang diambil jantungnya oleh Hindun. Seperti dalam riwayat, terdapat dataran rendah di tengah perbukitan uhud. Di sini sebagian tentara Islam diriwayatkan tidak patuh pada perintah sehingga mengakibatkan banyaknya korban. Jabal Uhud seperti gunung-gung di Arab Saudi adalah batu.

Selanjutnya kami menuju masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun di Madinah. Disanalah diriwayatkan Nabi menentukan tempat membangun masjidnya di tempat untanya berhenti. Masjid Quba berada agak di pinggiran kota Madinah. Setelah ke masjid Quba, kami menuju masjid Qiblatain, tempat Nabi menerima wahyu untuk mengubah arah kiblatnya ke Mekkah Al Mukaramah.

Selain masjid, di Madinah kita bisa mengunjungi kebon korma. Di sana juga terdapat pasar korma. Korma yang utama perlu kita beli adalah korma Ajwa yang konon pada awalnya ditanam oleh Rasulullah. Di Madinah juga terdapat percetakan Al Quran terbesar. Setiap jamaah (laki-laki) yang berkunjung disana pasti mendapat Al Quran. Pada waktu itu, belum ditemukan jabal magnetik, jadi kami belum menuju kesana.

Sungguh pengalaman yang mengesankan berada di Madinah. Dalam sujud-sujudku sebelum melanjutkan ke Mekkah, aku berdo'a khusyu' agar mendapat kesempatan mengunjungi masjid Nabawi lagi.




Minggu, 07 Oktober 2012

One Moment in My Life (2)

Hampir jam 9 malam ketika pramugari mengumumkan 'prepare for landing'. Dari jendela pesawat kota Jeddah terlihat bermandikan cahaya lampu. Negara kaya minyak ini rupanya telah mengubah gurun pasir menjadi kota metropolitan. Kamipun bersiap-siap untuk landing.  Sungguh perjalanan yang panjang. Sepertinya sudah berkali-kali tidur-bangun-makan, tidur-bangun-makan, akhirnya mendarat juga.

Begitu keluar dari pesawat, angin gurun  menerpa kami. Baunya khas, dan masih terasa hangat meski hari sudah malam. Aku menghirupnya kuat-kuat dan merasakan hangatnya meresap. Begini rasanya udara tanah Arab, negeri yang diberkahi. Sambil menunggu urusan imigrasi yang cukup memakan waktu, kami bergeletakan di atas tumpukan barang. Kami sudah seperti rombongan musafir yang kelelahan. Panitia membagikan minuman sari buah dalam kaleng. Aku tahu kemudian, bahwa minuman sari buah dalam kaleng ini sangat populer di sini. Lebih populer dibanding jus buah asli yang memang harganya lebih mahal. Jus buah asli dihargai 5 Riyal per gelas, sedang minuman sari buah dalam kaleng hanya 1-2 Riyal per kaleng. Satu Riyal setara dengan Rp. 2.500,00.

Setelah urusan imigrasi selesai, kami melanjutkan perjalanan ke Madinah. Untuk jamaah yang datang jauh sebelum musim haji, memang rutenya ziarah ke Madinah dahulu. Kami para jamaah membawa paspor kami masing-masing. Perjalanan Jedaah-Madinah Munawarah memakan waktu sekitar 5 jam. Waktu itu belum ada bandara di Madinah, sehingga seluruh jamaah mendarat di Jeddah dan melanjutkan dengan perjalanan darat ke Madinah. Sekarang bandara Madinah sudah ada sehingga jamaah bisa langsung mendarat di Madinah. Sayangnya perjalanan malam, sehingga kami tidak leluasa menikmati pemandangan sepanjang jalan. Sekilas, remang-remang, hanya terlihat batu dan batu.

Di tengah perjalanan bis berhenti di rumah makan khas Arab. Di rumah makan ini disajikan menu nasi kebuli dengan lauk daging atau ayam panggang. Disajikan khas dalam nampan untuk berlima. Namun karena kami masih terlalu kenyang, kami cukup minum teh susu hangat. Teh celup campur susu cair ini menjadi minuman favoritku selama di tanah suci. Rasanya nikmat, gurih dan hangat. Menjelang memasuki kota Madinah, bis harus berhenti untuk pemeriksaan. Di sini setiap jamaah harus menyerahkan paspor untuk dicek. Memang, kota Madinah dan Mekkah hanya dikhususkan untuk umat Islam. 

Menjelang subuh ketika awak bis memberitahu kami bahwa kita sudah memasuki kota Madinah. Rasanya dadaku bergetar. Ah, inilah kota Nabi, Madinah Al Munawarah. Kota tempat tinggal dan wafatnya Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Bis melalui perkampungan yang padat. Rumah-rumah penduduk khas Arab yang hanya berbentuk seperti kotak bertingkat dan dikelilingi pagar yang tinggi. Pohon korma menjadi hiasan satu-satunya yang bisa dilihat. Bis mendarat di depat hotel tempat kami menginap. Waktu itu hotel berbintang 5 belum banyak, seingatku hanya ada dua yaitu Green Palace dan Medinah Oberoi. Dua hotel ini ditempati jamaah haji Tiga Utama. Selain itu sebagian jamaah juga menempati hotel bintang 3.

Begitu turun dari bis, di tanah yang aman, kami sujud syukur. Inilah tanah yang barangkali pernah diinjak oleh kaki Rasulullah. Kuletakkan tanganku ke tanah dan kuusapkan ke wajahku. Subhanallah Walhamdulillah Allahu Akbar, akhirnya aku injakkan kakiku di tanah Nabi.  Setelah menyimpan barang-barang bawaan di kamar, kami bergegas ke masjid Nabawi untuk melaksanakan shalat Subuh. Inilah shalat pertamaku di masjid Nabawi. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa shalat di masjid Nabawi, pahalanya 1000 kali lipat. Oleh karena itu jamaah dianjurkan melaksanakan shalat Arbain, shalat 40 waktu berturut-turut di masjid Nabawi. Jadi sekitar 8 hari shalat 5 waktu di masjid Nabawi di Madinah.

Dari kejauhan terlihat masjid Nabawi begitu luas dan megah. Arsitektur masjid yang sangat indah memukau mata. Namun keindahan fisik ini tidaklah lebih penting dibanding segala keutamaan tentang masjid ini. Terbayang Rasulullah, Allahumma shali 'ala sayidina Muhammad. Rumah beliau tak jauh dari masjid ini. Di masjid ini beliau berdakwah dan memimpin segala urusan. Rasanya aku sedang menjadi makmum untuk shalat yang beliau imami. Terbayang sahabat nabi, Abu Bakar, Usman, Umar, Ali, istri Nabibunda Siti Khadijah, siti Aisyah, dan putri nabi Siti Fatimah. Mereka semua ada disini 14 abad silam. Tak sanggup ku bendung airmataku. Seperti sedang menemui kekasih hati yang telah lama dirindukan, kusungkurkan wajahku ke lantai masjid, sujud syukur, menangis sepuasnya. Tak lagi terasa rasa lelah. Kusadari waktu itu, rasanya tak ingin kutinggalkan tempat ini.
Kami berlama-lama di masjid. Alhamdulillah meski terlihat penuh dari luar, kami berhasil masuk ke dalam masjid. Teman yang sudah duluan datang memberitahu, meski sudah penuh, biasanya di barisan depan masih banyak yang kosong. Masuk saja dan melipir melalui pinggir.

Menjelang terang di pagi pertama di Madinah, kami bisa mulai melihat dengan jelas pemandangan. Hotel kami tak jauh dari masjid. Melalui jalan yang agak mendaki. Toko-toko dan pedagang kaki lima sudah mulai menggelar dagangannya. Sepanjang jalan aroma kebab meruap kemana-mana, membangkitkan rasa laparku. Aku mampir di kedai teh susu. Memesan segelas teh susu dan sepotong roti isi telur yang digoreng acak. Tak lupa aku mampir ke kedai buah membeli apel dan pisang. Dengan bahsa isyarat, semua transaksi itu dapat dilakukan dengan mudah. PT. Tiga Utama sudah menyediakan makan 3 kali sehari, namun pengin juga sekali-kali mencoba menu masyarakat setempat. Kuucapkan Bismillah dan menikmati hidangan pagi. Terbayang Rasulullah dan kesederhanaannya. Hari itu kami beristirahat dan shalat berjamaah di masjid Nabawi. Besoknya baru mulai berziarah ke tempat-tempat sejarah yang penting.

Raudhah

Raudhah disebutkan sebagai salah satu taman-taman sorga. Ditempat Nabi dimakamkan berdampingan dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Tempat d dalam masjid ini ditandai dengan karpet putih dan pilar-pilar warna putih. Kita disunnahkan untuk shalat sunnah 2 rakaat di Raudhah. Memasukinya merupakan perjuangan tersendiri. Setelah melalui antrian yang cukup panjang, kita harus berdesakan memasukinya. Ruangannya yang terbatas, sementara peminatnya sangat banyak. Hanya dengan niat dan kemauan yang kuatlah kita bisa memasukinya. Inilah salah satu keuntungan jika kita menunaikan ibadah haji di usia muda. Sekali lagi, kita jangan terjebak dengan kondisi fisik. Karena jika itu terjadi maka kekaguman kita hanya terbatas ke fisik. Aku perhatikan banyak jamaah dari negara lain yang menangis meraung-raung di depan pintu makam Nabi. Mungkin saking cinta dan rindunya. Alhamdulillah aku bisa shalat 2 rakaat, mengucap salam, dan berdo'a dengan tenang. Memang sebaiknya kita pergi bersama 2 atau 3 teman, sehingga bisa saling menjaga.

Makam Baqi'

Setelah dari raudhah, kami berziarah ke makam Baqi'. Makam yang luas ini sudah digunakan sejak ribuan abad yang silam. Bahkan jamaah haji yang meninggal di Madinahpun dimakamkan disini. Caranya, jenazah di tumpuk di makam yang sudah lebih dari beberapa tahun. Para sahabat juga dimakamkan disini.





Jumat, 05 Oktober 2012

One Moment in My Life (1)

Pagi itu jam 7.30 ketika aku  sampai di kantor PT. Tiga Utama di bilangan Senen Jakarta Pusat, belasan tahun yang silam. Belum ada yang datang, baru ofice boy yang sudah hampir selesai membereskan ruangan. Sudah tiga bulan terakhir aku bekerja di kantor ini, mengemban amanah dari KAP. Usman dan Rekan untuk membantu membenahi sistem akuntansi perusahaan biro perjalanan haji ONH plus terbesar waktu itu. Tempat kosku yang cukup jauh di daerah Cipulir Kebayoran Lama membuatku lebih nyaman berangkat  pagi-pagi. Selain bisa hadir tepat waktu, juga terhindar dari macet dan mendapat tempat duduk di bis kota yang membawaku dari blok M ke Senen. Waktu itu jalanan belum semacet dan seramai sekarang. Sehingga perjalanan Kebayoran Lama-Senen dapat ditempuh dalam waktu 1 jam saja.

Aku sedang bersiap-siap untuk memulai tugasku hari itu ketika bos Tiga Utama, bapak Ande Abdul Latief datang. Beberapa teman terlihat juga sudah hadir. Entah kenapa beliau langsung mendatangi mejaku, dan mengatakan "kamu siap-siap untuk berangkat bersama rombongan haji Tiga Utama tahun ini ya"! Degg, rasanya aku tak percaya.  "Bener pak?", tanyaku tak percaya. "Iya, segera urus paspor", jawab beliau. Baik Pak, jawabku buru-buru". Subhanallah Walhamdulillah Wa Laa Ila ha Illallah. Kusempatkan untuk shalat dhuha pagi itu dan sujud syukur atas karunia Allah yang tak terhingga ini.

Usiaku menjelang 23 tahun waktu itu, belum lama hijrah ke Jakarta. Sebagai karyawan baru di perusahaan swasta, gajiku waktu itu hanya cukup untuk membiayai  hidup sehari-hari. Hari-hariku  diisi dengan bekerja dari senin hingga Jum'at. Sabtu istirahat, dan minggu seharian ngaji di pengajian Walisongo di Kwitang Senen. Rasanya aku baru berani memimpikan hidup yang lebih baik, bertemu jodoh dan menikah.  Aku tak pernah bermimpi ini, bahkan untuk sekedar berniat menunaikan ibadah haji dalam waktu dekat. Apalagi haji ONH Plus yang biaya terendah  US$ 6.000.  Terbersit tanya "why me Allah"? Dan Allah sepertinya menjawab, "engkau harus tahu, bahwa Aku Maha Kuasa, KehendakKu mutlak. Jika Aku menghendaki kebaikan itu mudah bagiKu, seperti juga sebaliknya. Begitulah yang kupahami saat itu.

Berita gembira ini tentu saja langsung aku kabarkan kepada Bapak dan Ibu di kampung, saudara-saudara, dan teman-teman. Mereka semua tidak menduga. Tapi begitulah yang terjadi. Urusan pasporpun cukup lancar. Hingga hari keberangkatanku ke tanah sucipun tiba. Hanya kakakku seorang diri yang mengantar. Itupun cuma sampai kantor. Setelah itu kami rombongan berangkat ke bandara menggunakan bis. Inilah pengalaman pertamaku naik pesawat. Saat itu, kami menggunakan pesawat Saudi Airlines. Kami  menempati kabin atas. Kabin yang nyaman, dengan kursi-kursi yang besar dan lapang membuat kami bisa tidur sambil selonjoran selama 9 jam perjalanan di atas pesawat. Saat itu yang terbersit dalam fikiranku adalah 'ternyata naik pesawat nyaman sekali ya'. Apalagi dengan layanan full service yang memanjakan. Baru tahu aku sekarang, ternyata kami menempati kelas penerbangan eksekutif waktu itu. Subhanallah..Alhamdulillah.
Sejak itu kuikhlaskan hidupku untuk diatur olehNya.

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...