Minggu, 15 Mei 2011

Pendidikan dan Lari Marathon

Jika diibaratkan lari, dunia pendidikan adalah jenis lari marathon. Jenis lari ini menempuh jarak jauh dan memerlukan daya tahan prima. Pelari-pelari marathon berbeda gaya dan strategi dengan jenis pelari jarak dekat. Jika pelari jarak dekat dijuluki sprinter atau manusia tercepat, pelari marathon tidak mendapat julukan ini. Meskipun dalam lari marathon kecepatan juga mendapat penilaian, namun strategi menjadi tercepat berbeda dengan lari jarak dekat. Dalam lari marathon, pelari cenderung menjaga kecepatan konstan. Kecepatan konstan sangat penting bagi pelari marathon untuk menjaga stamina sehingga dapat menyelesaikan seluruh putaran.

Mengapa pendidikan jika diibaratkan lari adalah lari marathon karena dalam pendidikan, tujuan dan hasil-hasil pendidikan tidak dapat diperoleh secara instan. Seperti lari marathon yang menurut sejarahnya bukanlah sekedar lomba lari, tapi berlari untuk mencapai tujuan, demikian juga proses pendidikan. Menurut riwayatnya, lari marathon diilhami oleh kisah utusan Athena 'Pheidippiddes' yang berlari tanpa henti selama 26 mil atau 42.195km dari kota Marathon menuju Athena untuk mengabarkan kemenangan tentara Athena atas Persia. Setelah mengabarkan kemenangannya, kemudian ia pun tewas karena keletihan. Versi lain mengatakan bahwa PHEIDIPPIDES sebetulnya dikirim ke Sparta untuk minta bantuan dengan berlari selama dua hari untuk menempuh jarak 240km. Apapun versinya, lari marathon diilhami oleh kegiatan lari jarak jauh untuk mencapai tujuan.

Pendidikan adalah proses panjang yang bertujuan. Bahkan, dikatakan bahwa pendidikan adalah proses sepanjang hayat. Seperti lari marathon, diperlukan daya tahan untuk melalui proses panjang pendidikan baik mengajar maupun belajar.
Para pelaku pendidikan (terutama pendidik) mesti memiliki gaya dan strategi pelari maraton untuk bisa keluar sebagai pemenang alias mencapai tujuan pendidikan. Gaya itu adalah; berlari. Berlari berbeda dengan berjalan, berlari memberi kesan semangat, kesungguhan, keinginan kuat untuk segera mencapai tujuan. Dan, lari marathon berbeda dengan lari jarak dekat, diperlukan konsistensi kecepatan dan stamina jangka panjang dalam lari marathon.

Oleh karena itu pelaku pendidikan mesti memiliki semangat dan gaya pelari marathon dalam melalui proses pendidikan. Sangat tidak baik jika pelaku pendidikan menggunakan gaya sprinter alias manusia tercepat. Jika gaya ini yang dipilih, yang terjadi adalah proses pendidikan yang tidak konsisten alias "hangat-hangat tahi ayam". Pada saat sedang semangat bisa melaju sangat cepat, kemudian melemah bahkan berhenti sama sekali. Lalu semangat lagi, melaju lagi dan berhenti lagi. Ketidakkonsistenan dalam pendidikan menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan karakter yang hendak dibentuk.

Seperti apa pelaku-pelaku pendidikan di sekitar kita. Mari kita evaluasi diri, karena setiap kita adalah pelaku pendidikan dari sekolah kehidupan. Terlebih lagi, jika profesi kita adalah pendidik. Tanpa kemampuan untuk konsisten, sebaiknya kita evaluasi keterlibatan kita sebagai pendidik. Karena, dikhawatirkan hanya akan mengajarkan ketidakkonsistenan sikap dan kebingungan atas segala sesuatu yang diajarkan.

Arcadia, renungan masih di bulan pendidikan.

Sabtu, 14 Mei 2011

IPA minded

Seorang bapak calon orang tua siswa mempertanyakan urgensi dan manfaat pelajaran-pelajaran IPA (fisika, kimia, biologi, matematika) sehingga sepertinya begitu diutamakan di sekolah. Saya yang kebetulan memandu acara merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya berkata; bahwa pelajaran-pelajaran IPA membutuhkan penalaran untuk memahaminya. Rumus-rumus matematika, fisika, kimia diajarkan untuk melatih siswa menyelesaikan soal dengan langkah-langkah tertentu. Pembelajaran ini melatih siswa menggunakan kemampuan logika dan membentuk pola fikir siswa. Pada saatnya siswa terjun ke masyarakat, rumus-rumus tersebut tidak bermanfaat secara langsung, namun kemampuan penalaran dan sistematika pola fikir siswa bermanfaat untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Siswa belajar menemukan sebab, menyelesaikan tahap demi tahap dan menemukan jalan keluarnya. Ketekunan dan daya juang siswa proses penyelesaian soal-soal mata pelajaran IPA diharapkan membentuk karakter tekun dan pantang menyerah siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nantinya.

Lalu dimana urgensi mata pelajaran IPS? Sebelum si Bapak itu bertanya saya berkata; bahwa seharusnya pembelajaran IPS-pun dapat membentuk pola fikir dan kemampuan penalaran siswa. Namun sayangnya dalam praktek pembelajaran IPS cenderung 'menghafal' sehingga kurang memanfaatkan daya nalar siswa. Kemampuan guru mata pelajaran IPS untuk meramu materi sehingga menggugah rasa ingin tahu dan daya nalar siswa masih terbatas.

Dalam hati bertanya-tanya, apakah itu jawaban murni apa "apologis", pembenaran dari program sekolah yang IPA minded. Lalu jika benar bahwa pembelajaran IPS cenderung "hanya" menghafal, alangkah ruginya para siswa menghabiskan tenaga, waktu dan biaya belajar IPS? Sekedar tahu nama-nama pahlawan, tanggal-tanggal penting sejarah, kondisi sosiologis suatu masyarakat, atau pengetahuan sekedar tahu tersebut.

Jika urgensi dan manfaat beberapa pelajaran tertentu kurang signifikan sebaiknya ada pembenahan struktur kurikulum. Terlalu banyak beban kurikulum yang harus diterima siswa. Habis waktu siswa di sekolah hanya untuk mengetahui, sesuatu yang di era digital ini sudah sangat mudah perannya digantikan oleh mbah Google.

Hemm... pertanyaan si Bapak diam-diam menggugat.

Rabu, 11 Mei 2011

Silaturahmi

Konon diriwayatkan bahwa orang-orang yang bersilaturahmi "dicemburui" para nabi. Pada suatu saat di akhirat kelak para nabi bertanya-tanya tentang siapakah yang didudukkan dalam singgasana dan mimbar-mimbar itu. lalu Allah SWT menjelaskan, bahwa mereka adalah orang-orang yang rajin menjalin silaturahmi selama hidup di dunia karena Allah. (sumber belum diketahui). Begitu utamanya amalan silaturahmi ini sehingga pelaku-pelakunya akan mendapatkan keutamaan di dunia dan di akhirat.

Sumber-sumber hadits sahih tentang silaturahmi cukup banyak, diantaranya; Nabi saw bersabda : "Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi.
Demikian juga dalam hadits yang sudah sangat kita kenali tentang silaturahmi memperbanjang umur dan menambah rizki.
"Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Dalam kehidupan kita seperti sekarang, silaturahmi menjadi barang mewah. Setiap hari kita disibukkan dengan urusan pekerjaan dari pagi hingga malam. Waktu libur sabtu dan minggu seringkali dihabiskan di rumah melepas penat seminggu dan bercengkerama dengan keluarga. Nyaris tak bersisa waktu untuk saling menyapa dan bersilaturahmi dengan kerabat dan teman jauh. Bahkan adakalanya tetangga dekat sakitpun kita tidak tahu.

Selain karena alasan klise kekurangan waktu, seringkali kita tidak bersilaturahmi karena kultur kehidupan masyarakat yang cenderung mengarah pada privasi. Orang akan bertemu, menelepon ataupun sekedar berkunjung ke kerabat meski harus membuat janji terlebih dahulu. Jika tidak, niat baik silaturahmi bisa jadi berakhir tidak baik karena yang akan kita temui sedang tidak ingin diganggu misalnya. Atau bahkan dalam diri kita lambat laun tertanam pola pikir 'nafsi-nafsi' alias tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Sehingga kita membatasi diri bergaul dengan orang lain bahkan timbul kecurigaan pada orang-orang yang hendak silaturahmi.

Namun menyimak keutamaan silaturahmi di atas, seyogyanya kita kembali menggalakkan silaturahmi. Sesibuk-sibuknya kita mari kita luangkan waktu untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabar. Bila perlu sambil membawa bingkisan. Bahkam dalam era kemudahan komunikasi sperti sekarang, kita dapat memanfaatkan berbagai kemudahan tersebut untuk bersilaturahmi. Jika kita merasa malas dan capek, ingat-ingat keutamaan silaturahmi sehingga kita bersemangat kembali untuk bertemu dan kunjung mengunjungi.

Selasa, 10 Mei 2011

Kompetisi

Persaingan alias kompetisi ada dimana-mana dan kapan saja. Mulai dari kecil bahkan untuk masuk sekolah dasar saja anak-anak sudah harus melalui kompetisi. Daya tampung sekolah lebih sedikit dibandingkan jumlah usia sekolah yang ada. Akibatnya anak-anak harus dites. Demikian seterusnya ketika masuk SMP, SMA, perguruan tinggi, bahkan setelah lulus dan berusha mendapat pekerjaan. Tidak ada yang tidak berkompetisi.

Dalam setiap kompetisi pasti ada yang berhasil dan ada yang gagal. Dalam kompetisi yang fair, yang berhasil memang memiliki kompetensi melebihi kompetitornya. Kompetensi bisa didapat karena pendidikan, pengalaman, juga persiapan yang lebih dalam segalanya. Bagi yang gagal, jika bersedia mengevaluasi diri secara jujur bisa jadi memang pesiapannya kurang atau memang kemampuannya terbatas. Oleh karena itu kompetisi yang sehat mengahsilkan kemenangan maupun kegagalan yang sama-sama diterima dengan lapang hati.

Menyadari itu, seyogyanya kita berusaha menemukan dan mengaktualisasikan potensi terbaik kita masing-masing. Berusaha sebaik mungkin, pantang menyerah dan biarkan dunia menilai kelayakan kita.

Kegagalan memang mengecewakan

Meskipun pasti bahwa setiap manusia pernah dan mungkin akan mengalami kegagalan, tetap saja kosa kata satu ini menimbulkan ekspresi duka. Secara fisik terlihat dari raut muka masam, sorot mata layu, langkah gontai dan tak bergairah. Bahkan dalam kondisi ekstrim, kegagalan berpengaruh terhadap kesehatan badan. Tiba-tiba perut berasa mual, mules, dada sesak, fikiran pusing, jantung berdegup tak tentu iramanya.

Ada orang yang bisa cepat keluar dari efek negatif kegagalan bahkan menjadikannya sebagai titik balik mencapai keberhasilan. Namun tidak jarang orang terpaku diam dan berlama-lama meratapi kegagalan. Apakah kita akan menjadi seperti yang pertama atau yang kedua dalam menghadapi kegagalan, tergantung keyakinan dan keikhlasan kita menerima hitam-putihnya kehidupan.

Selain masalah keyakinan, sedikit banyak cara kita menghadapi kegagaln dipengaruhi pola pendidikan di masa kecil dan kanak-kanak. Ketika mendapati anak kecilnya menangis, secara reflek orang tua menghibur dan berupaya segala cara untuk menghentikan tangisannya. Adakalanya dengan memberikan hadiah makanan kesukaan atau mainan untuk meredakan tangis si anak. Perilaku seperti ini sedikit banyak mendidik anak untuk selalu "menghindari" segala sesuatu yang memngakibatkan kedukaan. Anak diajar untuk melarikan diri dari masalah/kegagalan. Alangkah baiknya jika orang tua tidak sekedar membujuk namun membimbing anak untuk mengenali dan menyelesaikan kegagalan/masalah yang membuatnya menangis. Dengan demikian anak belajar menerima masalah/kegagalan dan berupaya menemukan jalan keluar dari masalah bukan melupakannya dengan permen atau mainan.

Pada kenyataannya hidup ini tidak pernah lurus-lurus saja. Senantiasa menemukan gejolak-gejolak dalam perjalannya. Kemampuan menerima kegagalan sama pentingnya dengan kemampuan menerima keberhasilan. Karena hanya orang-orang yang pernah 'menerima' dan bangkit dari kegagalan-lah yang benar-benar bisa menghargai keberhasilan.

Renungan malam di Arcadia

Kamis, 05 Mei 2011

Sekali lagi Bullying..

Hari ini menghadapi orang tua yang marah dan tidak terima karena anaknya mengalami "kekerasan" mental di sekolah oleh teman-teman sekelasnya sendiri. Si anak sebut saja namanya "Fulan" anak pendiam cenderung tidak berani melawan. Namun, justru kediamannya inilah yang membuat teman-temannya semakin mengolok-ngolok Fulan. Puncaknya, Fulan mogok sekolah dengan alasan sakit yang dibuat-buat.
Kasus serupa pernah terjadi dengan ciri-ciri "korban" yang mirip. Korban lemah secara fisik dan mental, pendiam dan tidak berani membalas.

Dari beberapa kasus yang pernah terjadi, perlu diwaspadai kondisi fisik dan mental anak-anak yang memiliki kecendurangan akan menjadi korban bullying. Anak-anak ini perlu dipanggil dan dimotivasi untuk dapat mengutarakan ketidaksukaanya di'gencet' oleh teman-temannya. Jika ditelusuri lebih lanjut, anak korban bully seringkali mengalami episode pendidikan di masa kecil di rumah yang kurang tepat. Diantaranya, keluarga secara tidak sadar menuntut lebih dari batas kemampuan anak, dan jika anak tidak mencapai keinginan keluarga, maka anak diejek dengan kata-kata hinaan. Hinaan yang sering mengakibatkan anak merasa minder dan yakin bahwa dirinya memang lemah dan tidak mampu. Perlu usaha ekstra keras menumbuhkan kembali rasa percaya diri anak-anak tipe ini. Bagi anak-anak seperti ini perlu "diwajibkan" agar mereka memilih salah satu kegiatan ekskul yang sesuai dengan minatnya. Aktif di satu kegiatan yang menyenangkan dan sesuai minat diharapkan dapat membantu mengembangkan eksistensi anak.

Bagi para pelaku bullying, siswa yang merasa "lebih" sehingga semena-mena terhadap temannya, perlu juga dipanggil khusus untuk diketahui riwayat pendidikan dan masalah sebenarnya yang dia hadapi. Seringkali anak-anak pelaku bully jika dirunut adalah anak-anak yang memiliki tekanan masalah di rumah atau di teman pergaulannya yang lain. Tekanan tersebut dilampiaskan kepada temannya yang secara fisik dan mental lebih lemah dan tidak berani melawan. Dengan diketahui masalah sebenarnya yang dihadapi, guru dapat membantu siswa tersebut menyelesaikan masalahnya dan pada akhirnya berhenti membully temennya.

Maraknya kasus bullying di sekolah, menjadi PR guru dan sekolah secara umm untuk mencegah, melindungi dan terutama berkomitmen untuk menciptakan sekolah ramah anak.

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...