Senin, 19 September 2016

Dunia yang Bergegas

"Ibu, ibu kenapa sih kalo pagi selalu buru-buru?", pertanyaan si bungsu suatu kali. Si bungsu ini setiap hari berangkat ke sekolah bersama saya, karena sekolahnya searah dengan sekolah tempat saya mengajar. Jam 06.15, kami berdua sudah on motor cycle to school. Jarak ke sekolah yang hanya beberapa ratus meter dari rumah, membuat kami bisa berangkat mendekati jam 06.30, saat bel masuk sekolah DKI dibunyikan. Sesampai di sekolahnya, setelah cium tangan saya biasanya si bungsu akan bertanya tentang berbagai hal, dan jawaban saya cuma satu, "oke"!. dan sayapun bergegas menuju tempat saya mengajar. Biasanya sekitar 1 atau 2 menit menjelang 06.30, saya sudah sampai di sekolah. Saya bahkan tak sempat untuk menjawab berbagai pertanyaan sibungsu, menuntun tangannya hingga sampai batas mengantar, memberikan pesan-pesan, dan melambaikan tangan. Sesuatu yang saya perhatikan dilakukan oleh bebrapa orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah.

Di jalanan, manusia juga bergegas menembus kepadatan lalu lintas, agar tidak terlambat. Sayapun melakukan hal yang sama. Sesekali menyalip, sesekali menerobos, sesekali tetap ngebut meski melewati polisi tidur. Bahkan tak jarang harus selip-selipan dengan murid-murid saya yang juga bergegas. Setelah memarkir motorp, harus bergegas ke tempat finger absen. Dan baru bisa mengambil nafas lega, karena tidak terlambat. Anak-anak muridpun begitu, mereka harus ngebut, berlari, bergegas ke sekolah, kalo tidak pasti terlambat.

Sesampai di sekolah, sambil istirahat membuka hp yang sudah dipenuhi dengan berbagai berita melalui wa, bbm. fb, line, instagram dan lain-lain. Berbagai posting bersliweran dengan cepat, tanpa sempat memberi ruang untuk mencerna. Berita-berita itu akan berganti detik demi detik tanpa henti. Dan kita membacanya tanpa penghayatan. Banyak teman, banyak berita dan semua berlalu begitu saja. Berita gembira, berita duka cita, bercampur jadi satu membuat kita tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan.

Hilangnya Jiwa yang Peka

Segala kesemrawutan itu menjadikan kita manusia yang setiap hari harus bergegas. Dengan anak bergegas, dengan kawan bergegas, dengan pasangan bergegas, dengan pekerjaan bergegas. Namun apakah kebergegasan ini membuat segalanya lebih cepat? Lebih efektif? lebih baik? Sepertinya tidak. Bahkan, yang terjadi adalah jiwa-jiwa yang lelah, anak-anak yang kurang memiliki kepekaan, orang tua yang selalu tidak punya waktu untuk anak-anaknya. Siswa-siswa yang hanya mengerti bagaimana mengerjakan soal ujian dan mendapatkan nilai rapor yang bagus, Guru-guru yang dituntut untuk mengejar ketuntasan mengajar, tanpa peduli pelajaran apa yang bisa diperoleh anak didiknya.

Terkadang, saya merindukan saat dunia belum ada hp. Ketika komunikasi masih menggunakan surat yang dikirm melalui pos. Surat berlembar-lembar yang sarat pesan dan kaya cerita. Yang kedatangannya ditunggu-tunggu, mungkin dalam beberapa hari, beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun. Komunikasi yang tidak terlalu intens namun berkesan. Bukan komunikasi yang cepat, singkat, lalu dilupakan seperti saat ini. 

Namun dunia tidak pernah surut ke belakang. Inilah dunia yang kita hadapi sekarang. Butuh perjuangan untuk tetap bisa menghidupkan hati di dunia yang bergegas..


Jakarta, suatu siang

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...