Rabu, 24 April 2013

Dangerous Minds

Beberapa hari lalu saat menjelang UN kelas XII, saya dan beberapa teman guru merasa galau menghadapi ulah siswa kelas XII. Hari-hari terakhir jelang UN,  justru beberapa orang siswa berulah  nyaris tak terkendali. Parahnya, ulah  beberapa siswa itu mempengaruhi teman-temannya. Menjelang UN, kami berharap segala daya upaya siswa dikerahkan untuk menghadapi UN. Namun yang kami hadapi sebaliknya. Beberapa siswa  malas belajar, sering bolos, bahkan ketika masuk yang dilakukan adalah membuat onar. Sedang kami para guru dan sekolah  melakukan segala hal untuk menyiapkan mental dan kemampuan akademik mereka.  Tidak saja bimbingan belajar, do’a bersama, istigotsah, kami juga undang beberapa motivator yang kompeten untuk memotivasi siswa secara berkala. Namun melihat ulah beberapa siswa itu, semua seperti tidak ada artinya. Bisa jadi mereka memang stress, panik, dengan UN yang makin dekat.

Dalam kegalauan itu sambil mencari cara terbaik menghadapi ulah mereka, saya menemukan film lama yang berjudul ‘Dangerous Mind”. Film tahun 90-an ini berkisah tentang perjuangan seorang guru “menaklukkan” hati murid-muridnya. Ya, perlu kata berjuang dan menaklukkan karena murid-murid sang guru itu rruar biasa bandelnya. Tidak satu orang  yang bandel tapi satu kelas.  Hari pertama bu guru cantik_ dibintangi artis Michelle Pfeiffer_, mulai mengajar bisa dikatakan gagal total. Murid-muridnya yang luar biasa itu_ ternyata hampir semua berasal dari keluarga miskin dan broken home_ tidak memperdulikan  sedikitpun kehadiran dan kata-kata bu guru. Mereka tetap asyik dengan keonaran kelas, bahkan ada siswa yang sengaja “maaf” memelorotkan celana panjangnya di depan guru sambil membelakanginya. Ada juga yang menggodanya. I can’t imagine if I be her. Singkat cerita ibu guru itu meninggalkan kelas tanpa sempat melakukan apa-apa.

Dalam kegalauannya, ibu guru itu disemangati (dalam film digambarkan ‘dimarah-marahi’) temannya untuk tidak menyerah pada keadaan. Apa yang dilakukan ibu guru itu kemudian adalah sesuatu yang luar biasa. Setelah membaca buku “asertif psychology” (ah ya..ini juga buku yang harus saya baca), ibu guru mengubah dirinya hampir 180 derajad. Inilah ‘dangerous minds’nya. Hari kedua masuk kelas, ibu guru itu sudah ada di kelas sebelum murid-muridnya masuk. Penampilannya tidak lagi feminim seperti sehari sebelumnya. Kali ini dia menggunakan celana jins, kemeja kotak-kotak dan sepatu boot. Dan dia duduk sambil mengangkat kakinya di atas meja dan mengunyah permen karet. Woww.. dan murid-muridnya mulai meliriknya, menggodanya, lebih tepat menjahilinya. Bu guru itu tidak berkata apa-apa menanggapi itu namun menggunakan gerakan bela diri untuk menghindari godaan murid-muridnya. Ulahnya ini makin memancing perhatian murid-muridnya (ah..usaha yang berhasil). Saat murid-muridnya mulai memperhatikan, barulah dia bicara bukan tentang pelajaran, tapi bagaimana menghadapi ‘serangan’. Hari itu bisa dibilang dia berhasil mencuri perhatiannya murid-muridnya. Begitulah seterusnya ibu guru itu menemukan cara-cara yang ‘berbahaya’ dalam mengajar. Salah satunya ketika dia meminta murid-muridnya memberi contoh membuat kalimat dan tidak digubris, ibu guru itu memilih kata kunci “siapa orang yang kau inginkan mati”.  Tema ini rupanya menarik perhatian murid-muridnya dan membangkitkan diskusi yang hidup di dalam kelas.  Dan seterusnya film ini menggambarkan berbagai usaha bu guru mengambil hati murid-muridnya dan akhirnya berhasil.

Film ini sungguh menginspirasi saya terutama untuk tidak pernah menyerah sebagai guru. Saya kira ini film wajib tonton untuk para guru. Murid-murid kita di Indonesia apalagi di madrasah tidak separah yang digambarkan dalam film itu. Sebagian besar malah murid yang manis dan patuh. Maka tidak alasan untuk tenggelam dalam kegalauan menghadapi ulah beberapa siswa. Apalagi terus-menerus memarahinya. Ini justru akan memperburuk keadaan. Seperti dalam film itu, kita mesti mencari cara bagaimana mencuri perhatiannya dan menaklukkan hatinya. Dengan begitu, mereka akan senang belajar. Mengetahui untuk apa harus belajar atau berbuat sesuatu. Punya semangat dan daya upaya untuk meraih mimpi-mimpinya.

Yang saya lakukan kemudian memang tidak “dangerous”. Saya hanya mengajaknya ngobrol secara personal sebagian anak yang membuat onar. Ngobrol yang ringan-ringan saja seperti menanyakan kabarnya, kabar keluarganya, bagaimana perasaannya jelang UN, apa rencananya setelah lulus, dan sebagainya. Saya tidak berharap muluk-muluk mereka langsung berubah. Obrolan ini minimal menenteramkan hati saya, setelah sebelumnya cenderung  menghindari  murid-murid itu agar tak terpancing emosi.
Saya yakin, jika hati kita merasa nyaman bersama siswa, siswapun akan merasakan hal yang sama. Karena yang berasal dari hati akan sampai ke hati. Saya tak lagi menganggap ulah mereka sebagai keonaran, hanya ekspresi yang berlebihan. Saya bisa memahaminya. Saya hanya berharap mereka melakukan apapun dengan tanggung jawab dan kesadaran. Bukan sekedar ikut-ikutan atau tak bertujuan.

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...