Beberapa hari lalu saat menjelang
UN kelas XII, saya dan beberapa teman guru merasa galau menghadapi ulah siswa
kelas XII. Hari-hari terakhir jelang UN,
justru beberapa orang siswa berulah nyaris tak terkendali. Parahnya, ulah beberapa siswa itu mempengaruhi
teman-temannya. Menjelang UN, kami berharap segala daya upaya siswa dikerahkan
untuk menghadapi UN. Namun yang kami hadapi sebaliknya. Beberapa siswa malas belajar, sering bolos, bahkan ketika
masuk yang dilakukan adalah membuat onar. Sedang kami para guru dan sekolah melakukan segala hal untuk menyiapkan mental
dan kemampuan akademik mereka. Tidak
saja bimbingan belajar, do’a bersama, istigotsah, kami juga undang beberapa
motivator yang kompeten untuk memotivasi siswa secara berkala. Namun melihat
ulah beberapa siswa itu, semua seperti tidak ada artinya. Bisa jadi mereka memang
stress, panik, dengan UN yang makin dekat.
Dalam kegalauan itu sambil
mencari cara terbaik menghadapi ulah mereka, saya menemukan film lama yang
berjudul ‘Dangerous Mind”. Film tahun 90-an ini berkisah tentang
perjuangan seorang guru “menaklukkan” hati murid-muridnya. Ya, perlu kata
berjuang dan menaklukkan karena murid-murid sang guru itu rruar biasa
bandelnya. Tidak satu orang yang bandel tapi
satu kelas. Hari pertama bu guru cantik_
dibintangi artis Michelle Pfeiffer_, mulai mengajar bisa dikatakan gagal total.
Murid-muridnya yang luar biasa itu_ ternyata hampir semua berasal dari keluarga
miskin dan broken home_ tidak memperdulikan sedikitpun kehadiran dan kata-kata bu guru.
Mereka tetap asyik dengan keonaran kelas, bahkan ada siswa yang sengaja “maaf”
memelorotkan celana panjangnya di depan guru sambil membelakanginya. Ada juga
yang menggodanya. I can’t imagine if I be her. Singkat cerita ibu guru
itu meninggalkan kelas tanpa sempat melakukan apa-apa.
Dalam kegalauannya, ibu guru itu
disemangati (dalam film digambarkan ‘dimarah-marahi’) temannya untuk tidak
menyerah pada keadaan. Apa yang dilakukan ibu guru itu kemudian adalah sesuatu
yang luar biasa. Setelah membaca buku “asertif psychology” (ah ya..ini juga
buku yang harus saya baca), ibu guru mengubah dirinya hampir 180 derajad.
Inilah ‘dangerous minds’nya. Hari kedua masuk kelas, ibu guru itu sudah ada di
kelas sebelum murid-muridnya masuk. Penampilannya tidak lagi feminim seperti
sehari sebelumnya. Kali ini dia menggunakan celana jins, kemeja kotak-kotak dan
sepatu boot. Dan dia duduk sambil mengangkat kakinya di atas meja dan mengunyah
permen karet. Woww.. dan murid-muridnya mulai meliriknya, menggodanya, lebih
tepat menjahilinya. Bu guru itu tidak berkata apa-apa menanggapi itu namun
menggunakan gerakan bela diri untuk menghindari godaan murid-muridnya. Ulahnya
ini makin memancing perhatian murid-muridnya (ah..usaha yang berhasil). Saat
murid-muridnya mulai memperhatikan, barulah dia bicara bukan tentang pelajaran,
tapi bagaimana menghadapi ‘serangan’. Hari itu bisa dibilang dia berhasil
mencuri perhatiannya murid-muridnya. Begitulah seterusnya ibu guru itu
menemukan cara-cara yang ‘berbahaya’ dalam mengajar. Salah satunya ketika dia
meminta murid-muridnya memberi contoh membuat kalimat dan tidak digubris, ibu
guru itu memilih kata kunci “siapa orang yang kau inginkan mati”. Tema ini rupanya menarik perhatian murid-muridnya
dan membangkitkan diskusi yang hidup di dalam kelas. Dan seterusnya film ini menggambarkan berbagai
usaha bu guru mengambil hati murid-muridnya dan akhirnya berhasil.
Film ini sungguh menginspirasi
saya terutama untuk tidak pernah menyerah sebagai guru. Saya kira ini film
wajib tonton untuk para guru. Murid-murid kita di Indonesia apalagi di madrasah
tidak separah yang digambarkan dalam film itu. Sebagian besar malah murid yang
manis dan patuh. Maka tidak alasan untuk tenggelam dalam kegalauan menghadapi
ulah beberapa siswa. Apalagi terus-menerus memarahinya. Ini justru akan
memperburuk keadaan. Seperti dalam film itu, kita mesti mencari cara bagaimana
mencuri perhatiannya dan menaklukkan hatinya. Dengan begitu, mereka akan senang
belajar. Mengetahui untuk apa harus belajar atau berbuat sesuatu. Punya
semangat dan daya upaya untuk meraih mimpi-mimpinya.
Yang saya lakukan kemudian memang
tidak “dangerous”. Saya hanya mengajaknya ngobrol secara personal sebagian anak
yang membuat onar. Ngobrol yang ringan-ringan saja seperti menanyakan kabarnya,
kabar keluarganya, bagaimana perasaannya jelang UN, apa rencananya setelah
lulus, dan sebagainya. Saya tidak berharap muluk-muluk mereka langsung berubah.
Obrolan ini minimal menenteramkan hati saya, setelah sebelumnya cenderung menghindari murid-murid itu agar tak terpancing emosi.
Saya yakin, jika hati kita merasa
nyaman bersama siswa, siswapun akan merasakan hal yang sama. Karena yang
berasal dari hati akan sampai ke hati. Saya tak lagi menganggap ulah mereka
sebagai keonaran, hanya ekspresi yang berlebihan. Saya bisa memahaminya. Saya
hanya berharap mereka melakukan apapun dengan tanggung jawab dan kesadaran.
Bukan sekedar ikut-ikutan atau tak bertujuan.