Jumat, 31 Mei 2013

Identitas Sosial

Barangkali diantara kita pernah mendengar kisah-kisah tak terekspose di balik konflik Ambon maupun Poso. Yaitu cerita saling menyelamatkan diantara penduduk muslim dan nasrani yang sebagian besar tidak terlibat langsung pada akar permasalahan. Pada saat kunjungan saya ke kedua daerah tersebut, saya mendapat cerita bagaimana orang nasrani bisa selamat melalui daerah muslim dan sebaliknya orang Islam selamat melalui wilayah nasrani. Mereka bisa selamat karena mengenali simbol/sandi rahasia masing-masing. Pada saat memasuki daerah nasrani, setiap orang akan leluasa lewat jika bisa menunjukkan sandi/simbol. Demikian juga sebaliknya.

Fenomena yang sama terjadi pada Henri Tajfel, keturunan Yahudi Polandia yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi buat para Yahudi. Tajfel yang menjadi tentara Prancis dalam perang dunia ke II tertangkap dan dipenjara di Jerman. Pada saat diinterograsi oleh tentara Jerman, Tajfel tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang Yahudi, dan oleh karenanya dia selamat dari holocaust Nazi Jerman. Hal itu karena Tajfel sejak muda menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak menjalankan agama yang dianutnya.

Kedua fenomena tersebut menunjukkan bagaimana seseorang bisa celaka atau selamat karena identitas sosial yang dimilikinya. Tajfel, setelah selamat dan dibebaskan dari penjara akhirnya memilih belajar psikologi. Kisah nyata hidupnya menjadi landasan pemikirannya yang kemudian terkenal dalam psikologi sosial. Bersama rekannya Turner, Tajfel melakukan berbagai penelitian tentang perilaku sosial dalam suatu kelompok dan akhirnya mempopulerkan teori identitas sosial. Bagaimana seseorang diberikan stigma tidak saja sebagai diri sendiri tapi juga sebagai individu anggota dari suatu komunitas yang dia berada di dalamnya.

Identitas kelompok seperti kisah-kisah di atas, mau tidak mau memang melekat dalam diri kita masing-masing. Identitas sosial ada yang sifatnya given seperti identitas jenis kelamin, kelompok laki-laki atau kelompok perempuan, identitas ras/suku, dan lain-lain. Namun kebanyakan adalah karena pilihan. Seperti identitas berdasar agama, profesi, hobby, dan sebagainya.

Setiap individu tidak dapat dipisahkan dari identitas sosialnya. Hal itu karena, setiap kita pada dasarnya akan memilih komunitas yang sejalan dengan kepribadian kita masing-masing. Jika kita menilai positif suatu komunitas, maka kita akan senang hati bergabung dalam komunitas tersebut. Dan sebaliknya. Semakin positif nilai kelompok dalam pandangan individu, maka rasa memiliki terhadap kelompok tersebut semakin tinggi. Dan secara tidak langsung memunculkan kebanggaan atas kelompok.

Tepat sekali nasihat "siapa kamu adalah siapa temanmu". Mesti memilih dan memilah teman-teman yang baik dimana kita menjadi bagiannya. Karena, seperti kisah di atas, kelompok sosial bisa menyelamatkan atau sebaliknya mencelakakan kita.






Kamis, 23 Mei 2013

Wanita Berhati Kuat


“Nangisnya sudah habis, tiga tahun nangis terus cukup sudah,” ujar wanita paruh baya yang masih nampak cantik itu nyaris tanpa ekspresi.  Wanita itu seorang ustadzah dari Tasikmalaya. Kebersamaan kami selama berhari-hari dalam perjalanan ibadah haji membuat kami dekat. Kebetulan kami berada di kamar yang sama, dan sama-sama berangkat sendiri. Ustadzah itu berangkat haji dibiayai oleh menantunya yang sedang menempuh  studi S3 di Universitas Madinah atas biaya pemerinta Arab Saudi. Sekitar 7 hari terakhir menjelang kepulangan ke tanah air, kami berdua melewatkan malam-malam di Masjidil Haram untuk beriktikaf.  Kami mengaji bersama, shalat bersama, berdiskusi, berbincang ringan, dan merebahkan badan di lantai masjid jika rasa kantuk menyerang.
Selama kebersamaan kami, aku hampir tak pernah melihatnya menangis, bahkan dalam do’a-do’a dan ibadahnya di depan ka’bah. Karena merasa dekat, aku tanyakan keingintahuanku itu. Lalu mengalirlah cerita hidupnya yang tak kusangka.
Setelah belasan tahun masa perkawinannya yang bahagia dan harmonis dan sudah memiliki tiga orang anak, tiba-tiba suaminya yang ustadz itu minta ijin menikah lagi. Sebagai seorang ustadzah panutan umat dan tentu saja memahami agama, ibu itu meski galau, mengikhlaskan suaminya menikah lagi. Pada saat hari pernikahan suaminya dia sendiri yang mempersiapkan segala hantaran dan mas kawin. Anak sulungnya yang masih SMP saat itu sempat bertanya untuk apa segala hantaran ini kepada uminya. Dan pernikahan kedua suaminya akhirnya berlangsung dengan keridhoannya.
Pada saat istri kedua suaminya melahirkan anak pertamanya, ustadzah ini ikut menunggui. Dia sendiri sedang mengandung sembilan bulan anaknya yang ke-empat. Subhanallah.  Semuanya nampak berlangsung dengan baik. Namun demikian kelahiran anak pertama dari istri keduanya ini dan kelahiran anak ke-empat dari ustadzah ini rupanya menjadi awal masa-masa penuh derai air mata bagi ustadzah. Anak ke-empatnya laki-laki, satu-satunya setelah tiga anak sebelumnya perempuan. Anak ini ‘dengan kehendak Allah’ menginginkan kedekatan dengan ayahnya lebih dari biasanya. Saat itu rasa keadilan  benar-benar diuji dan suaminya gagal memenuhi syarat keadilan bahkan terhadap anaknya sendiri. Ustadzah itu bercerita, seandainya saat itu suaminya bisa berlaku adil terutama terhadap anak-anaknya saya tidak akan mengajukan gugatan cerai.
Ustadzah itu, setelah masa tiga tahun, melalui perihnya ketidakadilan, akhirnya mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya.  Tentu saja suaminya menolak. Namun kegigihan ustadzah ini untuk memperjuangkan nasibnya di pengadilan, akhirnya berhasil. Perkawinan yang telah dirawatnya belasan tahun harus berakhir. Dia memilih bercerai dari suaminya. Keputusan ini membuatnya tidak saja dimusuhi oleh mantan suami dan keluarganya namun juga komentar miring masyarakat sekitar. Bagaimana mungkin seorang ustadzah mengguggat cerai suaminya yang juga ustadz. Begitulah komentar yang harus dia terima.
Dan kehidupan terus bergulir, beberapa lama setelah dia melalui masa iddahnya, seorang bujangan yang juga guru agama melamarnya. Dan diapun menikah lagi. Seperti do’a yang dia selalu panjatkan, seorang pengganti yang lebih baik. Dari pernikahannya yang kedua ini dia melahirkan tiga orang anak lagi. Sehingga jumlah seluruh anaknya tujuh orang. Dan kesemuanya dibesarkan dengan suami keduanya ini dengan baik. Bahkan anak pertama dan keduanya menikah dengan laki-laki yang dipilihkan oleh suami keduanya. Alhamdulillah perkawinan keduanya sakinah mawwadah wa rahmah. Kebahagiaan hakiki dia rasakan.
Di akhir ceritanya dia berpesan. Dik, (begitulah dia memanggilku), setiap rumah tangga harus melakukan peran dakwah. Jika suami yang berdakwah, maka istri mendukung dakwah suaminya. Jika suami tidak bisa berdakwah,  maka istri harus berdakwah dan suami mendukung dakwah istri.
 Lewat tengah malam ketika dia menyudahi ceritanya. Angin malam di udara Mekkah saat itu bertiup hangat. Ribuan orang masih tak henti berthawaf. Berputar mengelilingi Ka’bah, bergantian antara yang datang dan pergi, seperti roda kehidupan yang tak pernah berhenti berputar. Dan itulah gambaran hidup kita, seharusnya menjadikan Allah sebagai muara segala urusan. Suka- duka, sedih-kecewa, marah-gembira, ujian-musibah, semua dipergilirkan pada waktunya. Dan hanya kepada Allahlah kita pusatkan segala sesuatu.
Bu Imas, nama ustadzah itu, sudah memejamkan mata di lantai masjid. Aku sendiri masih terjaga, terkesan dengan kisah hidupnya. Wanita yang punya pendirian, gumamku dalam hati. Allah-lah yang telah memberinya kekuatan untuk memilih dan memutuskan jalan hidupnya.  Mengijinkan suaminya menikah lagi, menggugat cerai suaminya, dan menikah lagi tentu memerlukan kekuatan hati yang luar biasa. Namun, seperti thawaf, jika semua dikarenakan Allah, segalanya menjadi lebih mudah. Beliau sudah berthawaf jauh sebelum datang ke Ka’bah ini.  Ah, aku akan merindukan saat-saat seperti ini, melakukan perbincangan penuh makna di depan Ka’bah, di Masjidil Haram yang penuh berkah.

Wallahu’alam..




Kamis, 02 Mei 2013

Saat "Boy Band" Sholawatan

Siang itu udara sangat panas. Pendingin ruangan di kelas   menjadi  kurang berfungsi dengan baik, saking panasnya cuaca. Tiga puluh dua siswa kelas X-3 itupun sibuk mengipas-ngipas dirinya. Demikian juga aku yang saat itu mengajar di kelas itu, bersusah-payah mengatasi dua kondisi antara panas dan mengajar. Tentu saja aku tak akan memilih ceramah dalam suasana panas seperti itu. Saat itu kami sedang mengkaji dalil-dalil Al Qur’an tentang perbankan syariah.  Sebelum mendiskusikan makna ayat dan kaitannya dengan perbankan, aku minta siswa yang bacaan Qur’annya bagus untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an tentang perbankan syariah dengan suara nyaring. Kemudian, sesekali seluruh siswa aku minta mengikuti bacaan itu dengan suara nyaring pula. Kegiatan itu cukup menghidupkan suasana yang panas.

Melihat  konsentrasi siswa mudah terpecah antara pelajaran, cuaca panas dan rasa kantuk, di tengah jam pelajaran, aku memutuskan untuk memberikan ice breaker.  Aku pilih ice breaker yang melibatkan semua siswa yaitu permainan konsentrasi dan kegesitan. Dalam kondisi tetap duduk setiap siswa berperan sebagai pemburu dan ular.  Jari telunjuk dianggap sebagai ular, telapak tangan yang terbuka simbul pemburu. Dengan posisi berantai setiap siswa berperan sebagai pemburu sekaligus ular. Permainannya cukup mudah, aku akan bercerita tentang kisah perburuan manusia terhadap ular untuk menjadikan kulitnya sebagai asesoris. Siswa mesti menyimak cerita itu, karena ketika dalam cerita itu disebut kata ular maka kegesitan ular menghindar dan pemburu menangkap ular diuji. Peraturannya siapa yang tertangkap dia kalah dan siap dihukum sesuai permintaan pemburu. Pilihan hukumannya adalah menyanyi, bercerita, menghafal ayat, ceramah, atau membaca ayat Al Qur’an.

Permainan ini membutuhkan konsentrasi, kegesitan dan terutama kepiawaian guru dalam mengarang cerita yang bisa memancing ular dan pemburu bereaksi. Setiap sampai pada kata yang berawalan ‘u’ , aku menggunakan nada tertentu  yang memancing reaksi siswa. Di sini ketegangan mulai terasa. Siswa yang panic akan cepat-cepat bereaksi pada setiap kata yang berawalan ‘u’ disebut. Kelaspun mulai heboh. Dan, justru pada kata ‘ular’, aku mengucapkannya dengan santai dan dalam rangkaian cerita yang tak terduga. Sehingga hanya siswa yang benar-benar konsentrasi dan gesitlah yang berhasil berperan dengan baik. Siang itu, tertangkap tiga ‘ular’ yang kurang gesit menghindar. Dua siswi dan satu siswa.

Ketiga siswa tersebut diminta maju ke depan kelas dan memilih hukumannya.  Satu-satunya siswa putra yang tertangkap merupakan salah satu anggota ‘boy band’ di kelas itu. Yah, disebut anggota boy band, karena di kelas tersebut berkumpul sejumlah siswa yang memerlukan perhatian khusus karena ‘keaktifan’ sikapnya yang seringkali sulit dikendalikan dan mengganggu. Entah mengapa, teman-temannya meminta sang ‘boy band’ untuk khotbah. Permintaan yang aneh, batinku. Sang boy band tidak bersedia berkotbah, dia bilang mau menyanyi saja.  Cukup lama ketiga siswa ‘terhukum’ tersebut menentukan mau menyanyi apa. Berbagai permintaan bermunculan, mulai minta menyanyi lagu Korea, lagu  band Wali, Noah, Ungu, bahkan lagu nasional.

Penonton sudah mulai agak kurang sabar ketika sang boy band tiba-tiba memutuskan untuk menyanyikan sholawat Nabi. Akupun tak menyangka. Lalu remaja tanggung berpenampilan ‘boy band’ itupun mulai melantunkan sholawat nabi dengan suara bass-nya yang lumayan merdu. Dan yang lebih menakjubkan dia tidak melantunkan sholawat Nabi yang biasa kita nyanyikan. Aku  baru pertama kali mendengarnya. Syair sholawat Nabi berbahasa Arab yang cukup panjang itu dinyanyikannya dengan hafal dan lancar tanpa jeda.  Terus terang lantunan sholawat yang disuarakannya membuatku merinding.  Keindahan syair puji-pujian terhadap Rasulullah SAW itu dinyanyikannya dengan khusyu’, oleh siswa yang selama dikenal sebagai anggota ‘boy band’.

Begitu lantunan sholawat berakhir, tepuk tanganpun bergemuruh. Sang ‘boy band’ dan dua siswa yang mendampinginyapun kembali ke tempat duduk. “Subhanallah, ibu terpesona dengan shalawat yang kamu lantunkan”, ujarku. “Dan terus terang ibu tidak menyangka kamu punya hafalan sholawat lebih kaya dari yang ibu duga”, ujarku melanjutkan.  Lalu terjadilah dialog tentang sholawat tersebut; judulnya apa, dimana belajar, dsb. Dan subhanallah, ternyata di kelas tersebut mayoritas siswa putra tergabung dalam kelompok hadrah yang rutin latihan seminggu sekali. Oh pantas saja.

Akhirnya dengan sungguh-sungguh  aku meminta kelompok ‘boy band’ itu untuk menampilkan salah satu lagu favorit mereka. Merekapun tak keberatan dan maju ke depan kelas untuk melantunkan jenis sholawat Nabi yang lainnya. Subhanallah, melihat keseharian mereka dan perilaku yang biasa mereka tampilkan, sungguh tidak menyangka mereka adalah remaja-remaja yang bisa larut dalam kekhusyu’an lantunan sholawat. Akupun makin merinding dan bersusah payah menahan air mata yang mendesak keluar karena haru.

Siang itupun, cuaca panas seperti menguap begitu saja tak berasa. Dan aku mengakhiri  pembelajaran siang itu dengan satu lagi kesadaran bahwa memang setiap anak adalah unik. Dan pasti ada sisi positif yang dimiliki setiap siswa jika kita bersedia mengenalinya. Hari itu bertepatan hari pendidikan nasional 2 Mei, kami belajar bersama tentang aneka warna kehidupan dan pilihan-pilhannya. Bahkan satu orangpun, bisa menampilkan warna yang berbeda-beda. Perlu kesanggupan untuk tidak sekedar mengetahui dan menjustifikasi seseorang dari warna yang ditampakkannya. Sungguh manusia itu unik dan sekaligus misterius. Namun, keterbukaan fikiran dan hati kita untuk mau melihat lebih dari sekedar yang terlihat, membuat hidup ini menjadi lebih bermakna.

Subhanallah wal Hamdulillah

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...