Barangkali diantara kita pernah mendengar kisah-kisah tak terekspose di balik konflik Ambon maupun Poso. Yaitu cerita saling menyelamatkan diantara penduduk muslim dan nasrani yang sebagian besar tidak terlibat langsung pada akar permasalahan. Pada saat kunjungan saya ke kedua daerah tersebut, saya mendapat cerita bagaimana orang nasrani bisa selamat melalui daerah muslim dan sebaliknya orang Islam selamat melalui wilayah nasrani. Mereka bisa selamat karena mengenali simbol/sandi rahasia masing-masing. Pada saat memasuki daerah nasrani, setiap orang akan leluasa lewat jika bisa menunjukkan sandi/simbol. Demikian juga sebaliknya.
Fenomena yang sama terjadi pada Henri Tajfel, keturunan Yahudi Polandia yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi buat para Yahudi. Tajfel yang menjadi tentara Prancis dalam perang dunia ke II tertangkap dan dipenjara di Jerman. Pada saat diinterograsi oleh tentara Jerman, Tajfel tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang Yahudi, dan oleh karenanya dia selamat dari holocaust Nazi Jerman. Hal itu karena Tajfel sejak muda menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak menjalankan agama yang dianutnya.
Kedua fenomena tersebut menunjukkan bagaimana seseorang bisa celaka atau selamat karena identitas sosial yang dimilikinya. Tajfel, setelah selamat dan dibebaskan dari penjara akhirnya memilih belajar psikologi. Kisah nyata hidupnya menjadi landasan pemikirannya yang kemudian terkenal dalam psikologi sosial. Bersama rekannya Turner, Tajfel melakukan berbagai penelitian tentang perilaku sosial dalam suatu kelompok dan akhirnya mempopulerkan teori identitas sosial. Bagaimana seseorang diberikan stigma tidak saja sebagai diri sendiri tapi juga sebagai individu anggota dari suatu komunitas yang dia berada di dalamnya.
Identitas kelompok seperti kisah-kisah di atas, mau tidak mau memang melekat dalam diri kita masing-masing. Identitas sosial ada yang sifatnya given seperti identitas jenis kelamin, kelompok laki-laki atau kelompok perempuan, identitas ras/suku, dan lain-lain. Namun kebanyakan adalah karena pilihan. Seperti identitas berdasar agama, profesi, hobby, dan sebagainya.
Setiap individu tidak dapat dipisahkan dari identitas sosialnya. Hal itu karena, setiap kita pada dasarnya akan memilih komunitas yang sejalan dengan kepribadian kita masing-masing. Jika kita menilai positif suatu komunitas, maka kita akan senang hati bergabung dalam komunitas tersebut. Dan sebaliknya. Semakin positif nilai kelompok dalam pandangan individu, maka rasa memiliki terhadap kelompok tersebut semakin tinggi. Dan secara tidak langsung memunculkan kebanggaan atas kelompok.
Tepat sekali nasihat "siapa kamu adalah siapa temanmu". Mesti memilih dan memilah teman-teman yang baik dimana kita menjadi bagiannya. Karena, seperti kisah di atas, kelompok sosial bisa menyelamatkan atau sebaliknya mencelakakan kita.
Fenomena yang sama terjadi pada Henri Tajfel, keturunan Yahudi Polandia yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi buat para Yahudi. Tajfel yang menjadi tentara Prancis dalam perang dunia ke II tertangkap dan dipenjara di Jerman. Pada saat diinterograsi oleh tentara Jerman, Tajfel tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang Yahudi, dan oleh karenanya dia selamat dari holocaust Nazi Jerman. Hal itu karena Tajfel sejak muda menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak menjalankan agama yang dianutnya.
Kedua fenomena tersebut menunjukkan bagaimana seseorang bisa celaka atau selamat karena identitas sosial yang dimilikinya. Tajfel, setelah selamat dan dibebaskan dari penjara akhirnya memilih belajar psikologi. Kisah nyata hidupnya menjadi landasan pemikirannya yang kemudian terkenal dalam psikologi sosial. Bersama rekannya Turner, Tajfel melakukan berbagai penelitian tentang perilaku sosial dalam suatu kelompok dan akhirnya mempopulerkan teori identitas sosial. Bagaimana seseorang diberikan stigma tidak saja sebagai diri sendiri tapi juga sebagai individu anggota dari suatu komunitas yang dia berada di dalamnya.
Identitas kelompok seperti kisah-kisah di atas, mau tidak mau memang melekat dalam diri kita masing-masing. Identitas sosial ada yang sifatnya given seperti identitas jenis kelamin, kelompok laki-laki atau kelompok perempuan, identitas ras/suku, dan lain-lain. Namun kebanyakan adalah karena pilihan. Seperti identitas berdasar agama, profesi, hobby, dan sebagainya.
Setiap individu tidak dapat dipisahkan dari identitas sosialnya. Hal itu karena, setiap kita pada dasarnya akan memilih komunitas yang sejalan dengan kepribadian kita masing-masing. Jika kita menilai positif suatu komunitas, maka kita akan senang hati bergabung dalam komunitas tersebut. Dan sebaliknya. Semakin positif nilai kelompok dalam pandangan individu, maka rasa memiliki terhadap kelompok tersebut semakin tinggi. Dan secara tidak langsung memunculkan kebanggaan atas kelompok.
Tepat sekali nasihat "siapa kamu adalah siapa temanmu". Mesti memilih dan memilah teman-teman yang baik dimana kita menjadi bagiannya. Karena, seperti kisah di atas, kelompok sosial bisa menyelamatkan atau sebaliknya mencelakakan kita.