Kamis, 01 Mei 2014

Refleksi Hardiknas 2014

Menjelang hari pendidikan 2 Mei 2014 ini dunia pendidikan di tanah air kembali dihentakkan oleh kasus tragis kekerasan seksual terhadap anak TK. Kita semua terhenyak, marah, dan pilu mengikuti perkembangan kasus tersebut. Anak usia TK yang seharusnya mengalami pendidikan yang menyenangkan justru menjadi korban oleh orang yang sehari-hari berinteraksi dengannya. Tentu tak bisa kita bayangkan trauma psikologis yang dialami anak tersebut, selain dampak penyakit yang harus dideritanya. Bagaimana kegeraman dan kepedihan hati orang tuanya yang tentunya telah berharap banyak dengan menyekolahkan anaknya di sekolah mahal, namun yang dialaminya justru sebaliknya.

Berbagai pertanyaan memenuhi benak kita; bagaimana kasus tragis ini terjadi di sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak? Lebih-lebih lagi di sekolah dengan fasilitas wooww sekaliber JIS yang bayarannya per bulan $2.500 atau sekitar Rp. 27.000.000,00. Secara fisik JIS tidak saja memiliki kelengkapan sarana prasara pendidikan kelas internasional, bahkan juga sistem pendidikan yang tentunya juga berkelas internasional. Bahkan, informasi yang saya peroleh, orang luar yang tidak berkepentingan langsung dengan pendidikan tidak mudah ke sekolah tersebut tanpa ada janji sebelumnya. Ini berarti, sistem keamanan di sekolah tersebut cukup rapi. Namun, kembali ke pertanyaan di atas,  ancaman itu ternyata berasal dari dalam lingkungan sekolah sendiri, oleh orang yang sama sekali tidak diduga akan melakukan kejahatan terhadap anak-anak.

Pendidikan yang Sesungguhnya

Konsep pendidikan menerapkan tiga ranah pendidikan yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif (didalamnya adalah pendidikan moral dan akhlak keagamaan atau dikenal dengan pendidikan karakter). Sekolah sebagai lembaga pendidikan mesti mengusung ketiga ranah ini dalam proses pendidikan di sekolah. Namun demikian secara umum ranah kognitif menjadi prioritas dan tolok ukur keberhasilan sekolah. Prosentase kelulusan, kemenangan dalam kompetisi akademik, diterimanya sisa di sekolah/universitas terbaik pada jenjang pendidikan sekolah selanjutnya menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah. Dan semua itu adalah domain kognitif. Orang tua-pun cenderung melihat keberhasilan pendidikan anak-anaknya dari angka-angka yang tertera di rapor. Maka tak jarang orang tua sibuk memasukkan anak-anaknya di lembaga bimbingan belajar untuk menambah jam belajar anak. Orang tua yang mampu berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit berbayar mahal seperti JIS dengan harapan anaknya memperoleh prestasi akademik membanggakan.

"Kesalahan" paradigma pendidikan yang kognitif minded tersebut terjadi dimana-mana. Sekolah-sekolah mahal semacam JIS cukup banyak bertebaran di tanah air. Bahkan sebelumnya sekolah-sekolah negeri-pun dengan label SBI (sekolah berstandar internasional) juga mengenakan  biaya pendidikan yang cukup mahal. Biaya pendidikan mahal tersebut untuk membiayai seluruh operasional pendidikan seperti gaji guru, belanja sarana/prasara sekolah, pemeliharaan sarpras, pemenuhan kelengkapan media pembelajaran dsb.

Secara tidak langsung pendidikan berbiaya mahal itu seperti menciptakan paradigma money oriented di sekolah. Hal itu terlihat dari adanya divisi marketing yang bertugas "menjual" nama sekolah. Bahkan seperti contoh kasus JIS di atas, sekolah memanfaatkan tenaga kebersihan outsourcing yang notabene tenaga kebersihan tersebut adalah pihak luar yang diijinkan memasuki dunia keseharian sekolah. Jika sekolah itu ibarat rumah bagi seluruh penghuni sekolah, dengan tenaga outsourcing maka sekolah membiarkan orang asing menginap di rumah kita.

Jika sekolah memahami bahwa pengelolaan sekolah itu berbeda dengan pengelolaan perusahaan, maka pengelola sekolah akan menjadikan semua elemen di sekolah sebagai wahana pendidikan bagi siswa. Siswa tidak hanya belajar dari guru-gurunya, tapi juga belajar dari petugas kebersihan, satpam, penjual makanan di kantin sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sekolah dapat memfasilitasi model interaksi siswa dengan semua pihak tersebut melalui kegiatan pembiasaan diri. Misalnya, dalam masa orientasi siswa baru, sekolah tidak hanya mengenalkan siswa dengan guru-gurunya tapi juga mengenalkan kakak-kakak kelasnya, satpam sekolah, petugas kebersihan sekolah, kantin, dll. Selanjutnya siswa dapat dilibatkan dalam program kebersihan sekolah serta penegakan disiplin dan tata tertib sekolah.

Pendidikan di sekolah itu tidak hanya saat proses belajar mengajar di kelas, namun selama jam sekolah dari pagi sampai siswa pulang adalah proses pendidikan. Oleh karena itu pengelola sekolah harus memastikan bahwa semua yang terlibat di sekolah (satpam, petugas kebersihan, petugas kantin, dll) adalah orang-orang yang bisa menjadi teladan berperilaku. Mereka adalah orang-orang yang secara intens harus dimenej oleh kepala sekolah agar jalannya seirama dengan visi misi sekolah. Mereka adalah bagian dari proses pendidikan di sekolah yang dituntut untuk berperilaku mendidik.

Di sekolah-sekolah reguler (sekolah negeri secara umum dan sekolah swasta berbayar murah), biasanya siswa mengenal baik satpam sekolah, petugas kebersihan sekolah bahkan pedagang kantin di sekolahnya. Di madrasah tempat saya mengajar, anak-anak mengenal dan memanggil satpam sekolah dengan panggilan 'pak'e' karena akrab. Anak-anak juga mengenal 4 petugas kebersihan kami yang sudah bertahun-tahun bekerja di sini.

Kondisi tersebut barangkali tidak akan ditemui di sekolah berbayar mahal seperti JIS. Jangankan mengenal petugas kebersihan atau satpam, nama-nama seluruh gurunyapun bisa jadi mereka tidak kenal.Pendidikan yang kognitif dan money oriented tersebut telah mengasingkan siswa dari lingkungannya. Siswa hanya dituntut belajar dan belajar materi pelajaran di kelas. Siswa tidak diberi kesempatan untuk belajar dari lingkungannya termasuk lingkungan terdekatnya yaitu sekolah. Sungguh sangat disayangkan, bisa jadi mereka akan menjadi anak-anak yang pandai secara akademik, namun jiwa mereka kering dan terasing.

Kasus JIS  menjadi tamparan yang keras bagi dunia pendidikan. Sudah seharusnya kita kembali berbenah dan berubah, sudah benarkah arah pendidikan kita.

Wallahu'alam





Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...