Selasa, 10 Juni 2014

Balada T*i Kucing

Ini adalah salah satu kisah di keluarga kami, yang saat mengingatnya kami bisa tertawa geli sendiri, namun ada pelajaran yang bisa dipetik. Bahwa segala apa yang ada di sekitar kita dapat menjadi pelajaran adalah benar adanya. Firman Allah; "bahkan tidak sehelai daunpun jatuh, kecuali atas ijin Allah". Kisah ini adalah kejadian nyata yang kami alami khususnya suami saya alami di rumah. Dan, suami saya khususnya mendapat pelajaran dari super bau tak sedap t*i kucing. Kisahnya begini.

Malam itu lepas Maghrib, suami baru pulang dari menunaikan shalat Maghrib berjama'ah di mushola dekat rumah. Sampai di rumah, suami meminta saya untuk menelpon anak pertama yang belum pulang. "Tolong bilang ke Aul agar hati-hati melalui jalan di depan rumah karena banyak bertebaran t*i kucing", begitu pesannya. Suami merasa perlu mengingatkan untuk berhati-hati, karena jika si "kuning" itu terlindas roda motor maka akan berceceran sepanjang garasi dan meninggalkan aroma "semerbak" yang luar biasa dan tahan lama. Sayapun segera menghubungi Aul dan menyampaikan pesan ayahnya. Selesai menelpon, kami beraktivitas seperti biasa, dan merasa tenang. Begitulah, karena di sekitar rumah kami banyak berkeliaran kucing liar dan piaraan tetangga, maka kamipun harus ikut menanggung akibatnya yaitu t*i kucing itu.

Selang beberapa waktu, terdengar deru motor Aul melalui jalan depan rumah. Entah mengapa terdengar ngebut dan terburu-buru. Refleks kamipun saling memandang, dan bertanya-tanya gerangan apa yang terjadi. Suami segera beranjak untuk membukakan pintu garasi. Dan ternyata apa yang dipesankan ayahnya agar berhati-hati, malah benar-benar terjadi. Roda motor Aul melindasi beberapa onggok t*i kucing dan menyebarkannya dari halaman samping hingga ke garasi. Aroma menyengat itu langsung menguar kemana-mana.

Tak tergambarkan ekspresi kesal suami menyaksikan hal itu. Dan terjadilah percakapan seru karena Aul sibuk membela diri. Whatever, aroma itu tak mungkin dibiarkan saja. Suami segera mengambil ember dan meminta Aul dan adiknya membatu membersihkan ceceran t*i kucing itu. Aul yang pulang sudah dalam kondisi lelah dan berasa mau muntah mencium aroma itu, menyatakan tak sanggup ikut membersihkan. Saya sebenarnya ingin diam saja tidak ikut campur. Namun mendengar semua itu saya keluar untuk menengahi dan menyampaikan bahwa hari sudah malam maka membersihkannya besok saja. Namun, suami bersikukuh untuk membersihkannya saat itu juga. Saya tak tega melihatnya capai sendirian, akhirnya turun tangan mengambil pel dan pembersih lantai. Selesai membersihkan lantai, suami mencuci motor Aul. Sungguh malam yang sibuk untuk hal yang sangat-sangat sepele t*i kucing. Selesai membersihkan semuanya,  kami semua diam. Suami tidak saja capai tapi juga lelah. Aul diam merasa bersalah tak tahu harus berbuat apa. 

Esok harinya, seperti biasa saya dan suami selalu memperbincangkan segala hal. Tentunya termasuk peristiwa t*i kucing itu. Tiba-tiba suami berkata, "saya salah, seharusnya saya langsung membersihkan t*i kucing itu, bukan cuma sekedar mengingatkan." "Akibatnya malah semakin banyak yang harus dibersihkan, juga rasa kesal", ujarnya melanjutkan. Saya mendengarnya sambil diam-diam menyimpan rasa geli mengingat peristiwa tadi malam. Kata suami, "t*i kucing itu sebenarnya bisa jadi simbol kemungkaran. Ketika melihat kemungkaran sikap seseorang ada 3; 1) melawan kemungkaran dengan perbuatan/perkataan; 2) sekedar mengatakan oh ini ada kemungkaran; atau 3) mendiamkan saja melihat kemungkaran. Sikap terbaik adalah yang pertama. Subhanallah, suami bisa menarik pelajaran bahkan dari barang yang menjijikkan.

Sejak itu, setiap ada ta* kucing di jalanan depan rumah maupun di halaman, suami langsung membersihkan. Bahkan, terkadang saat pulang dari kantor dan melihat t*i kucing ada di jalanan suami langsung membersihkan dengan sukarela. Tentu saja tidak sekedar tentang si kuning itu, dalam segala hal; got mampet, sungai meluap, sampah berserakan, suami langsung berinisiatif untuk berbuat. Ya, mulai dari kecil, dari yang dekat, dan mulai dari sekarang. Sekarang saya bisa tertawa mengingat balada t*i kucing di malam itu.

Wallahu'alam bii showab





Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...