Kamis, 17 Januari 2013

Melawan Rasa Bosan

Dalam sejarah Islam diriwayatkan, ketika para sahabat pulang dari peperangan Rasulullah SAW menyampaikan bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu (diri sendiri). Meskipun beberapa ulama menjelaskan bahwa hadits ini dhaif, namun dalam konteks perjuangan melawan hawa nafsu agar tunduk dalam tuntunan Allah, hadits ini ada baiknya kita ikuti. Apalagi di zaman sekarang ketika perang dingin yang memerlukan jihad fisik sudah jarang terjadi dan  yang terjadi adalah godaan dunia yang bertubi-tubi, maka konteks jihadun Nafs rasanya relevan.

Diantara nafs buruk yang seringkali muncul  dalam diri kita dan harus kita lawan adalah sifat malas dan bosan. Dua jenis rasa ini saling mendukung satu sama lain dan pasti pernah kita alami. Tidak seperti jenis rasa lain yang jelas diketahui penyebabnya, rasa bosan dan malas kadang datang menyergap tanpa alasan yang jelas. Rasa bosan membuat kita malas melakukan apa saja. Dan jika memaksakan untuk melalukan aktivitas rutin hasilnya pasti asal-asalan bahkan bisa jadi tidak ada hasilnya sama sekali.

Dalam kondisi itulah saatnya kita berperang melawan diri sendiri.  Dan seperti dikemukakan dalam riwayat di atas, berperang melawan rasa bosan dan malas yang menghinggapi diri sendiri  perlu tekad yang kuat dan usaha yang ekstra. Aku sendiri sering melakukan perlawanan terhadap dua rasa yang mengganggu ini.  Biasanya aku lakukan dengan cara meluangkan waktu dengan melakukan hal-hal yang aku senangi. Bahkan ketika rasa bosan dan malas hadir di saat jam-jam sibukpun, aku ‘terpaksa’ melupakan segala kesibukan dan melakukan hal-hal ringan yang aku senangi misalnya membaca novel atau cerita fiksi, atau berbincang ringan dengan siswa atau sesama guru.

Seperti pagi itu, aku disergap rasa bosan yang amat sangat, bahkan untuk ngobrol saja malas. Untungnya hari itu tidak ada jadwal mengajar. Sejak duduk di belakang meja kerja dan menghidupkan laptop, aku tidak tahu dan tidak mau berbuat apa-apa rasanya. Barangkali teman-teman menyangka aku sedang sibuk karena tidak ada obrolan atau candaan seperti biasanya. Hingga jam 10.00 pagi, kondisi tidak juga juga berubah membaik. Ah, ini tidak bisa dibiarkan, ujarku dalam hati. Banyak pekerjaan harus diselesaikan. Akhirnya, aku putuskan untuk ke perpustakaan. Sepertinya enak, tiduran sambil membaca buku di perpustakaan. Siapa tahu ada bacaan ringan yang menginspirasi.

Setelah di perpustakaan, aku bertanya kepada teh Linda petugas perpustakaan, buku apa yang menurutnya menarik. Dia memberikan satu buku novel remaja karya Asma Nadia berjudul  “Serenade Biru Dinda”. “Ini menarik”, tanyaku setengah tidak percaya. Dalam kondisi normal, buku jenis ini sepertinya tak akan aku lirik. Bukan karena tidak bagus, tapi telalu ringan dan fiksi banget. Rasanya sudah bukan masanya. Namun menghargai teh Linda buku itupun aku ambil dan aku tambahkan dua buku lagi yaitu biografi Steve Jobs dan Bulughul Maram. Meski agak berlebihan aku bawa tiga buku yang bermacam-macam tema itu. Aku fikir, jika salah satu tidak menarik aku gampang menggantinya tanpa harus kembali ke jajaran rak buku. Setelah menemukan tempat yang nyaman dan agak tersembunyi, aku membaringkan diri di situ dan mulai membaca. Pertama aku buka novel itu dan mulai membacanya. Meski jenis bacaan ringan, Asma Nadia memang bisa menjadi jaminan sebuah buku yang enak dibaca.  Kalimatnya mengalir lancar dan alur ceritanya terkesan natural meski agak berlebihan. Tak terasa aku larut dalam bacaan itu, bahkan berurai-urai air mata. Hehe. Untung tempatku membaca tersembunyi jadi tidak ada yang tahu. Sesuai dengan judulnya, novel ini memang menyajikan kisah pilu tokoh utamanya. Namun dengan genre penulis Islam, Asma Nadia mengakhiri kisahnya dengan kembali ke Allah dan happy ending.

Tak sampai satu jam aku telah menyelesaikan buku itu. Subhanallah wal Hamdulillah, selesai membaca buku itu tiba-tiba semangatku kembali pulih. Rupanya menangis dengan sebab apapun, saat ini karena larut dalam bacaan, dapat mengembalikan semangat yang hilang. Rasa bosan dan malas yang tak jelas asal-usulnya itu tiba-tiba menguap begitu saja. Akhirnya setelah mengucapkan terimakasih kepada teh Linda, aku kembalikan buku-buku itu di raknya, dan aku kembali bekerja.  Alhamdulillah.

Rasa bosan dan malas adalah ciptaan Allah maka pasti ada manfaatnya dalam porsinya yang pas.  Rasa bosan dan malas dalam porsi yang pas, sebenarnya menjadi semacam pertanda ada yang tidak sesuai dari apa yang saat ini sedang kita alami. Bisa jadi, pekerjaan kita sudah tidak lagi menantang sehingga pertanda kita harus memilih pekerjaan yang lain atau menambah porsi tantangan. Atau, karena lingkungan kita sudah tidak lagi kondusif, dan sebagainya.  Jadi, rasa bosan dan malas bisa menjadi pertanda baik untuk kita naik tingkat jika kita dapat menyikapinya dengan benar.

Wallahu’alam








Minggu, 13 Januari 2013

Apakah karena Faktor Keturunan?

Seorang teman menceritakan kegalauannya melihat putrinya yang masih duduk di bangku kelas SMP sudah tertarik dengan lawan jenis. Meski hubungan mereka belum termasuk pacaran, namun dari kata-kata dan sikap sudah mengarah  ke pacaran.  Teman saya ini sudah hampir putus asa bagaimana menghadapi putrinya. Saya katakan, coba saja diajak dialog baik-baik apa, karena pada saat anak remaja, melarang saja tanpa penjelasan cukup berbahaya. Dengan setengah putus asa, teman saya ini berkata, apa perilaku anaknya karena faktor keturunan? Dia bercerita bahwa waktu SMP sudah mulai pacaran. Olalala...

Teman saya ini sudah menjalani kehidupan rumah tangganya secara Islami sejak awal pernikahan. Anak-anaknya di sekolahkan di sekolah Islam, dan di rumahpun orangtua memberi contoh pendidikan yang Islami. Segala jerih payah itu seolah tak ada artinya saat dia menghadapi kenyataan putrinya mulai berpacaran pada usia yang sama saat dia mulai berpacaran. Dan sepertinya, dia mulai meyakini bahwa perilaku putrinya dipengaruhi faktor keturunan.

Apakah perilaku/karakter seseorang dipengaruhi oleh faktor keturunan atau pendidikan/pembiasaan menjadi diskursus yang menarik hingga kini. Menurut saya kedua faktor tersebut memang berpengaruh hanya intesitasnya berbeda. Saya sendiri cenderung pada yang kedua, bahwa faktor pendidikan/pembiasaanlah yang dominan mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor genetik bisa saja menjadi dominan jika pendidikan yang diterima seseorang tersebut mendukung tumbuhnya perilaku yang sama dengan kedua orangtuanya. Dalam hal ini berarti pendidikan yang diterima seorang anak, sama persis dengan model pendidikan yang diterima ayah atau ibunya.

Menjadikan faktor keturunan sebagai penyebab perilaku seseorang adalah ungkapan pesimistis. Seolah sifat/perilaku itu sudah takdir yang tidak dapat diubah. Jika ini yang diyakini, maka perilaku kita akan cenderung pasif. Kembali ke cerita teman saya di atas,saya sampaikan jika ingin mencari penyebab perilaku anak-anak kita, maka yang pertama harus disalahkan adalah diri sendiri. Benarkah orangtua sudah mendidik dengan baik? Sudahkah memenuhi kebutuhannya tidak saja fisik tapi juga psikis seperti kasih sayang, kenyamanan, rasa dibutuhkan dan diakui keberadaannya. Rupanya teman saya ini cukup pendiam jika di rumah. Dia bukan tipe yang senang berbincang, sehingga ketika di rumah, masing-masing sibuk dengan urusannya. Alhasil,  menurutnya, putrinya ini jika di rumah lebih asyik dengan handphonenya dibanding berbincang dengan saudara-saudaranya atau orangtuanya.

Mendengar penuturannya, saya katakan kepada teman saya itu bahwa dia harus hati-hati. Saya khawatir cowok yang dicintai putrinya pandai bicara, merayu, dan berkata-kata manis. Perasaan diperhatikan, dinomorsatukan, dipuji, dengan kata-kata manis, yang jarang dia peroleh di rumah telah mengisi kekosongannya selama ini. So, tidak ada gunanya memarahinya, karena sedikit banyak ini salah orang tua. Sebaiknya orangtua mulai meluangkan waktu untuk berbincang dengan anak, mengetahui keinginan-keinginannya, kegalauannya dan teman-temannya.

Lebih dari itu, orangtua harus memohon pertolongan Allah agar anak-anaknya dapat terhindar dari perilaku yang akan merugikannya.

Wallahu'alam

Kamis, 03 Januari 2013

Mimpi


Pagi ini selesai melakukan aktivitas pagi; memasak, baca koran, mandi dan shalat dhuha, aku mulai mengumpulkan buku-buku  tentang ekonomi Islam, materi yang akan aku ajarkan di semester ini. Sudah seminggu ini sebenarnya aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pembelajaran yang akan dimulai senin 7 Januari besok. Namun persiapan itu belum sampai ke buku-buku. Aku masih merapikan program semester, analisis kompetensi, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Segala administrasi  itu memakan waktu yang tidak sedikit.  Apalagi sudah setahun ini aku tidak mengajar ekonomi Islam. 

Namun demikian, aku tadi malam terbangun dengan mimpi yang aneh tapi nyata. Dalam mimpiku aku sedang mengajar tapi murid-muridku asyik dengan kegiatannya masing-masing, dan kondisi itu membuatku marah. Astaghfirullah. Mimpi itulah yang membuatku bersemangat untuk mempersiapkan materi pembelajaran dengan baik.  Akhirnya aku temukan empat buku tentang ekonomi Islam dan satu buku yang tidak ada kaitannya dengan ekonomi Islam namun menarik perhatianku. Buku itu berjudul Memories, dreams, reflections tulisan Carl Gustav Jung. Bagi yang pernah belajar psikologi nama Carl Gustav Jung tentu tidak asing lagi. Bersama seniornya Sigmund Freud dan Alfred Alder, menjadi pelopor dalam teori psikoanalisis. Buku lama C.G. Jung ini menarik perhatianku, karena seperti seniornya dan sekaligus gurunya Sigmund Freud, C.G. Jung juga konsen ke masalah-masalah alam bawah sadar salah satunya tentang mimpi. Mimpi yang dimaksud disini adalah pengalaman yang terjadi ketika kita sedang tidur.

Aku sendiri termasuk pemimpi, alias sering bermimpi dalam tidur. Bahkan mengalami mimpi-mimpi yang menurutku spektakuler yang sulit ditafsirkan, namun juga mimpi-mimpi yang nyata seperti mimpiku tadi malam. Kadang ada orang yang lebih sering aku temui dalam mimpi dibanding di alam nyata. Beberapa mimpiku ada yang menjadi firasat sesuatu yang akan terjadi atau bahkan tidak berarti apa-apa. Aku sendiri lebih senang menganggap mimpiku  sebagai kembangnya tidur. Sepertinya indah sekali jika setiap tidur mengalami mimpi.

Berbeda denganku yang hanya menganggap mimpi sebagai kembangnya tidur, Jung menjadikan mimpi dan kejadian di alam bawah sadar menjadi kajian ilmiah yang melahirkan teori-teori dalam psikologi. Dalam buku setebal 568 halaman ini, Jung mengungkapkan fakta, hipotesis dan teori-teorinya.  Tentang mimpi Jung menulis “..biasanya kita membuang petunjukyang dikirim alam bawah sadar-melalui mimpi- misalnya , karena yakin permasalahan tersebut tidak mudah dijawab. Namun,  saya berargumen bahwa jika ada sesuatu yang tidak kita ketahui, maka kita harus menempatkannya sebagai permasalahan intelektual.” Itulah yang mendasari Jung untuk tidak berhenti mengkaji alam bawah sadar sebagai bagian dari ilmu psikologi. Bahwa gejala jiwa tidak saja dapat dianalisis melalui alam sadar yang tampak.

Tentang mimpi Jung menuliskan teorinya begini:
“Mimpi adalah sebuah pintu kecil yang tersembunyi di dalam ceruk jiwa paling dalam dan paling rahasia, terbuka untuk jiwa pada dunia malam kosmis, jauh sebelum munculnya kesadaran ego, dan akan menetap di jiwa, tak peduli seberapa jauh kesadaran ego akan memperluas dirinya. Semua bentuk kesadaran berdiri terpisah-pisah; namun di dalam mimpi, kita mengenakan segala kesamaan dari manusia yang lebih universal, lebih nyata, lebih abadi. Di sana ia masih menjadi keseluruhan, dan keseluruhan itu masih berada dalam dirinya, tak terbedakan dari alam dan terlepas dari segala ego. Dari kedalaman tempat menyatunya segala hal inilah muncul mimpi.”

Teorinya tersebut mungkin agak sulit dipahami. Namun demikian segala jerih payahnya meneliti alam bawah sadar layak kita apresiasi. Sebagian besar kita seperti yang disebutkan dalam argumentasinya di awal, lebih suka membuang apa-apa yang sulit dipahami.  Jung sendiri pernah mengesampingkan buku Freud yang berjudul “the interpretation of dreams”, karena belum bisa memahaminya.Freud dengan teori psikoanalisisnya membagi alam jiwa menjadi 3 yaitu alam sadar, alam bawah sadar, dan alam tidak sadar. Mimpi adalah bagian dari kehidupan di alam bawah sadar.

Bagiku sendiri, ternyata alam sadar dan alam bawah sadarku sama-sama sibuknya.

Wallahu'alam

Saat Ada Hati Yang Lain

 “Aku pengin ketemu, ada yang ingin aku ceritakan, tolong datang ya”, bunyi sms siang itu. Seorang teman lama, dulu kami pernah sangat akrab. Sempat beberapa lama kami loss of contact setelah masing-masing kami menikah dan pindah keluar kota. Suatu saat aku berkesempatan mengunjunginya dan menemukan keluarga yang dimataku bahagia. Ya, temanku ini memiliki anak-anak yang tidak saja cantik dan ganteng tapi juga pintar seperti kedua orang tuanya. Maka saat sore itu  ada waktu senggang aku sempatkan memenuhi permintaannya , sekaligus bersilaturahmi setelah lama tidak bertemu.

Setelah bercipika-cipiki, temanku itu langsung ke pokok persoalan yang membuatku terhenyak. “Sepertinya aku memang sangat mencintainya”, ujarnya menerawang. “Aku tak mungkin menceritakan ini kepada suamiku, dia sangat baik tak mungkin aku menyakitinya”, ujarnya nyaris seperti berkata kepada diri sendiri. “Tapi rasa ini sungguh menyiksa”, lanjutnya. Aku menahan diri untuk menyela pembicaraannya. Kubiarkan dia terus berkat-kata. “Tak sengaja kami bertemu, setelah bertahun-tahun terpisah. Kami pernah saling mencintai dulu, dank arena ego masing-masing diantara kami, kami berpisah tidak dengan baik-baik. Ada kesalahpahaman yang tidak tuntas. Dia pergi dengan marah, akupun terluka.” Ujarnya sendu.

“Aku merasa bersalah, rumah tangganya tidak bahagia”, katanya melanjutkan. Oh ternyata, mereka sudah banyak berkomunikasi,  batinku.  “Awalnya kami hanya hanya ingin saling bercerita setelah lama tak bertemu. Darinya aku tahu bahwa selama ini dia mencariku, ingin mengetahui keberadaan dan kabarku, tapi seolah kami selalu berselisih jalan.” Dia terus bercerita. “Aku mencintainya, sangat mencintainya.” Ujarnya kelu. “Aku tak sanggup menyimpannya sendiri, tolong aku’, ujarnya mengakhiri. “Aku tidak berbuat macam-macam, kami hanya bicara di telepon, sms, dan bbm, kami menghindari pertemuan”, katanya tanpa ditanya, seolah menangkap kerisauanku.

Aku melihat sinar duka dimatanya. Dia yang memiliki konsep ideal tentang sebuah keluarga, dan menjalani rumah tangga seperti konsep yang diidealkan kini dihadapkan pada situasi sulit; tanggungjawab di depan mata, dan hati  lain yang tanpa disadari  masih tersimpan rapi dalam lubuk hatinya yang terdalam dan kini hadir kembali. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja aku tak akan menjustifikasinya dengan dalil agama atau norma sosial bahwa itu dosa dan pengkhianatan. Dia yang berpendidikan dan menjalankan agama dengan patuh itu tak sanggup menahan rasa cinta yang tiba-tiba menyambar hatinya. Siapa yang menyangka akan menghadapi situasi ini. Oh Allah, bagaimana ini.

Aku prihatin dengan keadaannya. Aku juga khawatir jika hal ini akan mengusik kebahagiaan keluarganya. Akhirnya aku hanya bisa bilang, “serahkan pada Allah segala rasa itu, Dia  pemilik dan pencipta rasa cinta  tentu takkan menyia-nyiakan ciptaanNya. Serahkan dan mintalah petunjuk kepadaNya, dan biarlah Dia yang memutuskan. Insya Allah segala keputusanNya pasti baik dan melegakan.” Serahkan saja, dan jangan biarkan hatimu memihak”. Kamipun berpisah. Sambil berangkulan dia bilang “Jangan bosan membalas smsku, sepertinya aku akan banyak curhat lewat sms”.

Sepanjang jalan aku tak berhenti memikirkannya.  Apa yang terjadi dengan temanku, mungkin saja juga terjadi pada pasangan-pasangan yang lain. Aku tahu, temanku tak akan meninggalkan keluarganya, sebesar apapun rasa cinta pada hati yang lain itu menggodanya. Tetapi menjalani hidup dengan menyimpan hati yang lain tentu tidak membahagiakan. Aku mengenal suaminya, dia laki-laki yang baik berpendidikan dan tanggung jawab. Dari tampilan luar semua orang menilai mereka pasangan serasi dan keluarga yang bahagia. Aku tak henti bertanya, mengapa kehadiran sekilas cinta di masa lalu bisa mengoyak batinnya. Apa yang salah, dan bagaimana menyikapinya.

Meskipun temanku itu tidak menceritakan hal ini kepada suaminya, apakah suaminya tidak tahu. Aku yakin, suaminya merasakan perubahan itu, meski mungkin tidak terlalu jelas penyebabnya. Dan seandainya suaminya akhirnya tahu, aku berharap suaminya akan memahami kondisi temanku. Memahami bahwa sebelum menikah dengannya ada masa lalu yang tidak tuntas. Bahwa tidak semua pasangan suami istri menikah dengan seseorang yang pernah menjadi cinta pertamanya. Kesadaran ini diperlukan sehingga dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan seperti ini.

Mengapa keharmonisan rumah tangga yang telah dibinanya sekian tahun seolah pupus oleh kehadiran cinta lamanya? Bisa jadi selama ini, mereka sibuk dengan pekerjaan, anak-anak, dan dunianya masing-masing, tak sempat merawat tumbuhan cinta yang sempat mekar di awal-awal pernikahan.  Sudah berapa lama tidak saling memuji dan mengungkapkan kata-kata cinta. Sehingga kehadiran cinta pertamanya membuatnya kembali terkenang pada keindahan cinta masa lalu. Jadi kesalahan bisa saja terletak pada kedua belah pihak yang tidak merawat apa yang sudah diamanahkan.

Dengan kesadaran itu, alangkah baiknya jika suami mau membantu temanku itu menuntaskan masa lalunya. Dengan perhatian dan kasih sayang suaminya aku yakin temanku akan berhasil keluar dari kemelut cinta lamanya. Sebaliknya, jika suaminya tidak bisa memahaminya, dan justru memarahinya dan menuduhnya khianat, aku khawatir segalanya akan berakhir buruk. Oh, semoga ini tidak terjadi.

Perasaan cinta itu seperti halnya perasaan-perasaan lain memang sulit dihindari, tapi  bisa dikendalikan.



Wallahu'alam



Rabu, 02 Januari 2013

Evaluasi dan Resolusi


Kemeriahan pesta telah usai, meninggalkan lelah dan sampah yang berserakan tak tentu arah. Dimana-mana di seluruh dunia   melakukan pesta serupa menyambut tahun baru, seolah waktu akan berhenti bergulir jika tidak disambut. Dan ketika detik-detik pergantian tahun akhirnya bergulir segera disambut meriah oleh dentuman mercon dan nyala kembang api. Semua yang berpesta bersorak-sorai, berdesakan, meniup terompet dan hingar bingar lainnya. Mengapa kegembiraan itu begitu meluap sedang waktupun tetap berdetak sama, dan malampun masih menyelubungi diri dengan misterinya.

Alhamdulillah, sejak remaja dan mulai menangkap fenomena kemeriahan pesta tahun baru, aku tak pernah tertarik untuk bergabung didalamnya. Apalagi sekarang, disaat usiaku sudah tidak remaja lagi. Tentu saja aku tak hendak menyalahkan mereka yang berpesta. Setiap orang memiliki pilihan-pilihan hidupnya masing-masing. Aku sendiri memilih tidur cepat, agar bisa bangun lebih awal untuk memanfaatkan waktu-waktu utama di sepertiga malam terakhir. Aku tak mau ketinggalan qiyammullail pertama di tahun 2013 seperti orang-orang yang berpesta itu tak hendak melewatkan detik pertama tahun 2013. Maka, ketika sebagian besar orang berpesta berangkat tidur, aku terbangun membasuh muka dan tangan dengan wudhu pertama di tahun 2013.

Di momen-momen yang dianggap istimewa ini, alangkah baiknya jika kita sedikit meluangkan waktu untuk merenung, mengevaluasi diri, bermuhasabah, menghitung-hitung lebih banyak amalan baik atau buruk yang telah kita lakukan di satu tahun yang telah lewat. Evaluasi diri baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Untuk urusan dunia, apa saja yang pernah kita harapkan, apa yang telah kita lakukan untuk mencapainya, dan apa hasil yang kita terima. Dari itu, kita dapat menemukan apa yang kurang dan apa yang lebih dari usaha kita. Apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu dipertahankan dan apa yang perlu dibuang.

Untuk urusan akhirat, mari kita menghisab diri. Bagaimana amalan wajib kita, sholat, zakat, puasa, menuntut ilmu, menghormati orang tua dan guru, dsb. Apakah kita lakukan semua itu sekedar memenuhi kewajiban, atau dengan kekhusyu’an semata untuk mendekatkan diri kepada Allah? Bagaimana dengan amalan-amalan sunnah? Sudahkah aktivitas harian kita mencontoh Nabi, Rasulullah Muhammad SAW.  Apakah kata-kata yang keluar dari mulut kita berguna atau sia-sia bahkan menyakitkan orang lain? Berkatalah yang baik atau diam, kata Nabi. Apakah kita sudah menghormati tetangga, tamu dan keluarga. Apakah kita sudah manafkahi diri dan keluarga dengan rejeki yang halal? Bagaimana sedekah kita, bantuan kita kepada orang lain yang membutuhkan apakah hanya ketika diminta atau dengan sengaja dan sukarela kita berikan. Dan sebagainya.

Lebih dari semua itu, apakah kita selalu ingat Allah dalam setiap denyut nafas kita, dalam setiap hal yang kita lakukan, dalam duduk dan terbaring kita, dalam suka-duka kita, dalam sempit dan lapang kita, dalam senyum dan marah kita. Apakah kita kembalikan segala urusan kepada Allah, Zat yang maha Kasih dan tak pernah pilih kasih. Tuhan yang Maha Kuasa menentukan segala sesuatu. Ridhokah kita atas segala keputusanNya? Penuh harap atau berputus-asakah kita atas rahmatNya. Berprasangka baikkah kita kepadaNya atas misteri hidup yang terkadang mengoyak jiwa. Sudahkah kita serahkan segala rasa ini kepadaNya pemilik segala rasa. Tahun baru seharusnya menjadi momen kesadaran untuk tidak menyia-nyiakan waktu.

Dari hasil evaluasi itu, mari kita songsong hari dengan kesadaran baru untuk selalu berbuat dan berkata yang manfaat. Dan agar lebih konsisten dan terarah ada baiknya resolusi awal tahun itu dituliskan. Ini akan menjadi pengingat akan target-target yang akan kita capai. Target utama dan terutama tentunya adalah menjadi manusia yang senantiasa hidup dalam bimbingan Allah SWT. Target ini membuat kita rela diatur olehNya. Bersyukur ketika mendapat karunia, bersabar ketika ditimpa musibah. Segala kejadian tidak ada yang sia-sia bagi orang beriman. Selain itu, ada baiknya kita tuliskan target-target yang konkret dan bisa diukur pencapaiannya.

Dan karena tujuan dari semua tindakan kita adalah kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, maka kita perlu panduan untuk merengkuhnya. Al Quran surah Al Mu’minuun (surah 23) ayat 1-11 dapat menjadi panduan mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Bismillahirrahmanirrohiim 
1.       Sungguh beruntung orang-orang yang beriman
2.       (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya
3.       dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna 
4.       dan orang yang menunaikan zakat 
5.       dan orang yang memelihara kemaluannya 
6.       kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya 
mereka tidak tercela 
7.       tetapi barangsiapa mencari dibalik itu (zina, dsb), maka mereka itulah orang yang melampaui batas
8.       dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya 
9.       serta orang yang memelihara shalatnya 
10.   mereka itulah orang yang akan mewarisi 
11.   (yakni) yang akan mewarisi sorga (firdaus). Mereka kekal di dalamnya

Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.





Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...