Dalam sejarah Islam diriwayatkan,
ketika para sahabat pulang dari peperangan Rasulullah SAW menyampaikan bahwa
jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu (diri sendiri).
Meskipun beberapa ulama menjelaskan bahwa hadits ini dhaif, namun dalam konteks
perjuangan melawan hawa nafsu agar tunduk dalam tuntunan Allah, hadits ini ada
baiknya kita ikuti. Apalagi di zaman sekarang ketika perang dingin yang
memerlukan jihad fisik sudah jarang terjadi dan yang terjadi adalah godaan dunia yang
bertubi-tubi, maka konteks jihadun Nafs rasanya relevan.
Diantara nafs buruk yang seringkali
muncul dalam diri kita dan harus kita
lawan adalah sifat malas dan bosan. Dua jenis rasa ini saling mendukung satu
sama lain dan pasti pernah kita alami. Tidak seperti jenis rasa lain yang jelas
diketahui penyebabnya, rasa bosan dan malas kadang datang menyergap tanpa
alasan yang jelas. Rasa bosan membuat kita malas melakukan apa saja. Dan jika
memaksakan untuk melalukan aktivitas rutin hasilnya pasti asal-asalan bahkan
bisa jadi tidak ada hasilnya sama sekali.
Dalam kondisi itulah saatnya kita
berperang melawan diri sendiri. Dan
seperti dikemukakan dalam riwayat di atas, berperang melawan rasa bosan dan malas
yang menghinggapi diri sendiri perlu
tekad yang kuat dan usaha yang ekstra. Aku sendiri sering melakukan perlawanan
terhadap dua rasa yang mengganggu ini.
Biasanya aku lakukan dengan cara meluangkan waktu dengan melakukan
hal-hal yang aku senangi. Bahkan ketika rasa bosan dan malas hadir di saat
jam-jam sibukpun, aku ‘terpaksa’ melupakan segala kesibukan dan melakukan
hal-hal ringan yang aku senangi misalnya membaca novel atau cerita fiksi, atau
berbincang ringan dengan siswa atau sesama guru.
Seperti pagi itu, aku disergap
rasa bosan yang amat sangat, bahkan untuk ngobrol saja malas. Untungnya hari
itu tidak ada jadwal mengajar. Sejak duduk di belakang meja kerja dan
menghidupkan laptop, aku tidak tahu dan tidak mau berbuat apa-apa rasanya. Barangkali
teman-teman menyangka aku sedang sibuk karena tidak ada obrolan atau candaan
seperti biasanya. Hingga jam 10.00 pagi, kondisi tidak juga juga berubah
membaik. Ah, ini tidak bisa dibiarkan, ujarku dalam hati. Banyak pekerjaan
harus diselesaikan. Akhirnya, aku putuskan untuk ke perpustakaan. Sepertinya
enak, tiduran sambil membaca buku di perpustakaan. Siapa tahu ada bacaan ringan
yang menginspirasi.
Setelah di perpustakaan, aku
bertanya kepada teh Linda petugas perpustakaan, buku apa yang menurutnya
menarik. Dia memberikan satu buku novel remaja karya Asma Nadia berjudul “Serenade Biru Dinda”. “Ini menarik”, tanyaku
setengah tidak percaya. Dalam kondisi normal, buku jenis ini sepertinya tak
akan aku lirik. Bukan karena tidak bagus, tapi telalu ringan dan fiksi banget.
Rasanya sudah bukan masanya. Namun menghargai teh Linda buku itupun aku ambil
dan aku tambahkan dua buku lagi yaitu biografi Steve Jobs dan Bulughul Maram. Meski
agak berlebihan aku bawa tiga buku yang bermacam-macam tema itu. Aku fikir,
jika salah satu tidak menarik aku gampang menggantinya tanpa harus kembali ke
jajaran rak buku. Setelah menemukan tempat yang nyaman dan agak tersembunyi,
aku membaringkan diri di situ dan mulai membaca. Pertama aku buka novel itu dan
mulai membacanya. Meski jenis bacaan ringan, Asma Nadia memang bisa menjadi
jaminan sebuah buku yang enak dibaca.
Kalimatnya mengalir lancar dan alur ceritanya terkesan natural meski
agak berlebihan. Tak terasa aku larut dalam bacaan itu, bahkan berurai-urai air
mata. Hehe. Untung tempatku membaca tersembunyi jadi tidak ada yang tahu.
Sesuai dengan judulnya, novel ini memang menyajikan kisah pilu tokoh utamanya.
Namun dengan genre penulis Islam, Asma Nadia mengakhiri kisahnya dengan kembali
ke Allah dan happy ending.
Tak sampai satu jam aku telah
menyelesaikan buku itu. Subhanallah wal Hamdulillah, selesai membaca buku itu
tiba-tiba semangatku kembali pulih. Rupanya menangis dengan sebab apapun, saat
ini karena larut dalam bacaan, dapat mengembalikan semangat yang hilang. Rasa
bosan dan malas yang tak jelas asal-usulnya itu tiba-tiba menguap begitu saja.
Akhirnya setelah mengucapkan terimakasih kepada teh Linda, aku kembalikan
buku-buku itu di raknya, dan aku kembali bekerja. Alhamdulillah.
Rasa bosan dan malas adalah
ciptaan Allah maka pasti ada manfaatnya dalam porsinya yang pas. Rasa bosan dan malas dalam porsi yang pas,
sebenarnya menjadi semacam pertanda ada yang tidak sesuai dari apa yang saat
ini sedang kita alami. Bisa jadi, pekerjaan kita sudah tidak lagi menantang
sehingga pertanda kita harus memilih pekerjaan yang lain atau menambah porsi
tantangan. Atau, karena lingkungan kita sudah tidak lagi kondusif, dan
sebagainya. Jadi, rasa bosan dan malas
bisa menjadi pertanda baik untuk kita naik tingkat jika kita dapat menyikapinya
dengan benar.
Wallahu’alam