Senin, 31 Juli 2017

Catatan Sahur

Pagi ini seperti biasa jam 03.00 saya sudah melek. Namun, karena lagi halangan, saya membiarkan diri saya bermalas-malasan dulu di tempat tidur. Sambil masih merem, saya nikmati kesenyapan malam. Sesekali suara tiang listrik dipukul terdengar dari kejauhan. Bunyi 'klinthingan' satpam membangunkan orang sahur, lewat depan rumah.
Jam 03.15, saya beranjak bangun. Setelah ke kamar mandi, cuci muka, saya melangkahkan kaki ke dapur, menyiapkan makan sahur. Tak banyak yang mesti saya masak. Rendang ayam yang aromanya sempat membuat seisi rumah menahan air liur siang-siang kemarin, masih separoh. Saya cukup menghangatkan, menumis sayur, menggoreng tahu-tempe, dan memotong buah-buahan.
Sementara saya di dapur, seluruh penghuni rumah masih lelap tidur. Sebelum tidur, si bungsu berpesan minta dibangunin jam 3, "biar bisa makan macam-macam" katanya. Namun, melihat tidurnya pulas, saya tunda bangunkan dia jam 3.
Malam ini, entah mengapa, suasana terasa begitu tintrim. Suasana yang membuat bulu kuduk saya rada merinding. Spontan, Saya lafalkan berbagai zikir untuk menenangkan diri. Namun pikiran saya justru mengembara liar tak terkendali. Bayang-bayang gadis muda tetangga saya,yang meninggal kemarin, menari-nari di pelupuk mata. Saya merasa seperti diamati. Beberapa kali Al Fatihah saya kirimkan untuknya, tak juga menghilangkan bayangan itu. Perasaan saya, makin tak karuan. "Ah, kenapa juga suami yang biasanya sudah bangun untuk sholat malam, masih belum keluar kamar?" Batin saya.
Kembali saya lanjutkan lafalkan zikir dan do'a perlindungan dari kejahatan makhuk. Do'a ini biasanya mujarab menghilangkan rasa takut. "A'udzubiikaliimatillahi taammati min syaari maa kholaq."
Dulu saat masih sering menjadi panitia jurit malam, do'a ini menjadi bacaan wajib yang dilafalkan bersama sebelum peserta berjalan sendiri lewat tengah malam. Maka, meski panitia menakut-nakuti dengan pocong, mereka bisa melalui dengan tenang. Hadeh, ingatan tentang pocong, membuat bayang-bayang itu makin lekat di pelupuk mata.
Akhirnya saya tak tahan. Saya biarkan penggorengan masih menyala. Saya lari ke kamar si bungsu. Saya goyangkan badannya agar cepat bangun, "dik, katanya minta dibangunin jam 3, ini sudah jam 3 lewat." Bisik saya. Si bungsu menggeliat sebentar dan membuka matanya. Tak perlu lama menunggu, si bungsu bangkit dari tempat tidur dan menemani saya di dapur. Perasaan saya menjadi tenang. Saya lihat, gorengan tempe di atas kompor sudah gosong. Ya sudahlah..😰
Jakarta,
Catatan hari ke 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Imam yang Tak Dirindukan

"Aku besok gak mau tarawih lagi, " gerutu si bungsu saat pulang tarawih tadi malam.  "Loh, kenapa?" Tanya Saya sambil ...